Rasyid tak mengerti kenapa kondisi itu jadi aneh menurut Kendra. “Aneh kenapa?” tanya Rasyid tak mengerti. Kendra memijat pelipisnya.
“Marques bukan tipikal orang yang mengumbar pekerjaannya, jadi kita kalian menemukan dengan mudah pelakunya itu artinya dia ingin kalian tahu kalo dia yang mengacaukan semua ini,” kata Kendra.
Oman berpikir sejenak, “Jadi maksudmu dia sengaja melakukan ini bukan untuk tujuan pekerjaan atau apapun itu,” tanya Oman memastikan dan Kendra mengangguk.
“Ada kaitan apa kalian dengan Marques?” tanya Kendra sambil mengambil minuman di hadapannya.
“Nima, Nima Fukuda,” ucap Rasyid lirih.
Kendra seakan familiar dengan nama itu, “Nima, Nima, ada hubungan apa kamu dengan keluarga Fukuda?” tanya Kendra nampak kaget.
“Dia dulu tunangan Rasyid sebelum kecelakaan di Paris menewaskannya dua tahun lalu,” jelas Dika membuat Kendra terhenyak.
“Apa dia Nima yang tumbuh bersama Marques?” tanya Kendra dan Oman mengangguk. “Dari yang aku tahu Marques memang berasal dari keluarga Fukuda, dan itu masuk akal kenapa Marques mengenal Nima,” kata Oman.
“Dendam karena Nima, itu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Marques,” gumam Kendra. Rasyid yang tak mengerti semua ini mendesak Kendra.
“Ada apa ini sebenarnya?” tanya Rasyid.
“Marques memiliki satu wanita yang sangat dia jaga selama ini, kalau tidak salah namanya Nima. Dia adalah orang terdekat Marques setelah kedua orang tuanya tiada. Tapi tak ada yang tahu apa yang terjadi sampai Nima meninggalkan Marques dan itu membuat pria itu makin kesal dan kejam kepada semua orang,” kata Kendra.
“Tapi ada satu berita yang mengatakan jika ingin menemui Marques, maka Nima adalah perantara yang baik. Karena itu semua orang memburu Nima sampai dia dikabarkan meninggal dalam kecelakaan,” kata Kendra.
Rasyid membulatkan matanya, “Jadi selama ini Nima jadi tameng Marques, bukan pria itu yang dendam kepada Nima dan membunuhnya?” desak Rasyid.
Kendra memicingkan matanya mendengar ucapan Rasyid. “Kabar darimana itu?” tanya Kendra. “Menurutku itu tak mungkin karena Nima adalah orang yang dicintai Marques sebelum wanita itu memutuskan pergi dari kehidupan Marques,” jelas Kendra.
Rasyid jadi paham bagaimana kehidupan Nima sebelum bertemu dengannya. Dan ini merupakan satu fakta yang sebenarnya tak bisa dia terima.
“Jika Nima meninggal bukan karena kecelakaan maka pelaku yang mungkin adalah musuh Marques yang tahu rahasia identitas Nima. Karena tak semua orang tahu Nima itu perantara Marques, setelah Merischa,” ucap Kendra pelan.
Semua menatap Kendra yang ekspresinya berubah ketika dia menyebutkan nama Merischa. Dika yang penasaran bertanya tanpa sungkan kepada Kendra.
“Apa benar jika Marques menembak adiknya sendiri?” tanya Dika membuat Kendra pucat. “Berhati-hatilah Marques tidak akan diam. Dia akan mencari segala kelemahan kalian meskipun itu kecil dan tidak masuk akal bagi kalian,” pesan Kendra bersiap pergi dari sana.
“Ahh, satu lagi, jadi kalian belum mengatakan kepadaku informasi apa yang sudah kalian akses dalam waktu dekat ini?” tanya Kendra berbalik menatap semua pria di sana.
“Informasi seperti apa yang kamu maksud?” tanya Oman.
“Apapun itu, sekecil apapun itu, bisnis, keluarga, teman, termasuk kekasih kalian. Marques akan mencari semua itu untuk dijadikan alat menghancurkan kalian secara perlahan,” kata Kendra berlalu dari sana.
Sepanjang perjalanan pulang Rasyid memikirkan kata terakhir Kendra sebelum pergi. Sesampainya di rumahnya yang ada di belakang Bassil dia berdiri di balkon rumahnya memandang kebun anggur miliknya.
“Sejak pulang bertemu Kendra kamu lebih banyak diam,” tegur Dika membawa dua kaleng soda dan menyodorkan satu kaleng kepada Rasyid.
“Oman mana?” tanya Rasyid dan Dika menunjuk dengan dagunya terlihat Oman dan Edgar duduk bersama sibuk dengan laptop masing-masing.
Rasyid berjalan ke dalam rumahnya dan duduk di depan Oman dan Edgar. Dehemannya membuat kedua orang itu menaruh perhatian, sedangkan Dika yang mengikuti langkahnya duduk di samping Rasyid.
“Jika yang dikatakan Kendra ini benar, maka kita harus bagi tugas dan menyebarkan pengawal untuk mengawasi semua orang yang ada di sekitarku,” kata Rasyid serius.
Oman menutup laptopnya dan menghela napas, “Kamu benar, barusan Reno nelpon, Abra lagi kena kasus dan terancam asetnya disita oleh Interpol Jerman,” kata Oman.
Rasyid menyandarkan tubuhnya di sofa dan memijat keningnya. “Kenapa dia cepat sekali bergerak,” keluh Rasyid. Dia menegakkan kembali tubuhnya, “Kamu bantu Reno biar urusan ini kita bertiga yang urus,” kata Rasyid.
Oman mengangguk setuju. “Aku dengar Reno akan ke Jerman, kayanya kita bertiga perlu ketemu buat bahas semua ini. Kasih aku waktu buat menyelidikinya dan kita ketemu di Jerman nantinya, gimana?” usul Oman dan Rasyid setuju.
Hari itu juga Oman kembali ke kediamannya dan meninggalkan Rasyid yang masih di Bassil. Dinginnya malam dan semilir angin perkebunan membuat Rasyid menikmati suasana itu sambil menikmati coklat hangat di tangannya.
Edgar menghampirinya, “Saya sudah membuat semua kemungkinan yang bisa Marques cek dan susupi Bos,” lapor Edgar.
Rasyid menoleh dan meminta Edgar untuk duduk di kursi yang masih kosong. Edgar menyodorkan tablet dan melihat banyak lingkaran dan garis yang dibuat Edgar.
“Sederhananya lah adalah,” tanya Rasyid karena dia pusing sendiri melihat hal itu.
“Kendra benar, ada data yang kita akses dan secara otomatis akan masuk dalam database milik Marques, salah satu cara yang dia gunakan untuk membobol dana Bassil. Dan untuk mendapatkan dana itu kembali saya dan Bang Dika sudah menghubungi pihak terkait untuk bisa membantu kondisi ini termasuk keluarga Sasmita yang ahli dalam masalah keuangan,” jelas Edgar.
Rasyid mengangguk paham, “Hasilnya adalah?” tanya Rasyid langsung. “Paling lama dua bulan dana itu sudah kembali ke rekening Bassil tanpa kecuali dan Marques tidak mendapatkan apapun kecuali yang sudah disetor oleh orang yang bekerja sama dengannya,” kata Edgar.
“Good,” puji Rasyid ada sedikit kelegaan dalam dirinya masalah keuangan ini sudah beres. Tapi reaksi Edgar masih nampak ingin menyampaikan sesuatu. “Ada yang lain?” tanya Rasyid curiga.
“Hukuman yang harus kita berikan kepada tikus pengerat itu,” ucap Edgar menggantung. Rasyid hanya menaikkan alisnya bingung, “Kenapa harus tanya kepadaku, kan kamu tahu harus berbuat apa, aku percaya kepadamu jadi tak usah ragu,” ucap Rasyid.
Edgar mengangguk paham. Setelah rapat yang sempat diadakan oleh Adrian beberapa waktu lalu saat Rasyid tiba di Bassil, para tikus itu tidak sadar jika Rasyid sudah mengetahui semuanya. Secara perlahan, uang yang diterima oleh mereka raib dan berpindah tangan.
Edgar sudah mempelajari cara seperti itu dari beberapa temannya yang paham soal hacker. Untuk mengurangi kecurigaan Edgar mengeluarkannya dalam jumlah kecil tapi secara terus menerus sampai jumlah yang dia inginkan.
Dalam saat yang bersamaan, kesulitan financial juga melanda keluarganya yang membuat mereka terpuruk. Bukti penggelapan yang sudah diumumkan Adrian melalui hasil penyelidikan Rasyid membuat mereka tak bisa berkutik dan dikeluarkan secara tidak hormat tanpa uang pesangon.
Cobaan yang beruntun itu secara tak langsung membuat keduanya miskin mendadak hingga mereka mengalami depresi dan gangguan mental lainnya dan berakhir di rumah sakit jiwa.
Dua bulan berjalan, kerugian Bassil bisa diminimalkan dan kepercayaan koleganya kembali muncul. Dari laporan yang Edgar berikan Asmara juga dalam kondisi yang baik-baik saja hanya saja dia sedang mempersiapkan pernikahannya.
“Dik, malam ini kita ke Jerman, aku mesti ketemu Reno, kata Oman ada yang harus kita bahas di sana nantinya,” pinta Rasyid dan Dika segera memesan tiket untuk Rasyid.
“Setelah dari sana, kita balik ke Indonesia ya,” kata Rasyid tapi Dika memiringkan kepalanya.
“Lah, bukannya kamu ada jadwal ke Dubai buat ketemu sama orang tuamu,” kata Dika sambil membuka kembali jadwal yang sudah dia susun untuk Rasyid.
“Aku tahu, tapi aku enggan bertemu dengan mereka. Temanya pasti tak jauh dari kata perjodohan dengan wanita lain atau Laila,” kata Rasyid jengah.
Dika menghela napas lelah, “Setidaknya kamu mesti setor muka dulu lah, kalo enggak bisa berabe hidupmu, bukan masalah harta tapi soal kebebasanmu sendiri yang selama ini kita sama-sama tahu apa yang bisa dilakukan keluargamu soal itu,” saran Dika.
Rasyid menjambak rambutnya frustasi. “Kenapa sih mereka ga bisa duduk diam aja dan menerima apa pilihanku nantinya dan bukan memaksanya sekarang,” seru Rasyid kesal.
“Tell them like that,” timpal Dika.
Ponsel Rasyid berdering di saat dia ingin membantah ucapan Dika. Rasyid melihat nama yang ada di sana adalah Nenek Isna. Dia menghembuskan napas kasar. Meskipun enggan dia tidak bisa mengabaikan neneknya begitu saja.
“Iya Nek,” jawab Rasyid enggan.
“Aku dengar kamu lagi di Italia, lusa datang ke Dubai, ada yang harus diselesaikan di sini. Nenek tidak menerima alasan apapun, kamu harus datang,” kata Nenek Isna.
“Urusan apa lagi Nek, Rasyid tahu semua Grup Ar Madin baik-baik saja,” kata Rasyid berusaha menahan kesal.
“Baik-baik saja gimana, ada orang yang berusaha menjual saham kita begitu saja tanpa ayahmu ketahui, sekarang ayahmu butuh kamu untuk mendampinginya,” jelas Nenek Isna lebih kesal dari Rasyid.
Rasyid sedikit bingung dengan apa yang Neneknya katakan. “Sejak kapan kejadiannya?” tanya Rasyid tak mengerti.
“Beberapa hari ini, aku rasa ayahmu tidak ingin memberitahumu tapi dia sedang mencari orang untuk menyelidiki ini,” timpal Nenek Isna.
Rasyid menebak satu nama dibalik semua ini tapi dia masih diam. “Rasyid akan bantu cari tahu, tapi Rasyid ga janji untuk bisa datang ke Dubai soal ini,” ujar Rasyid.
Nenek Isna menghela napas.
“Jangan menghindar, takdirmu memang bersama dengan Laila, jadi mau lari sekencang apapun kamu, Nenek akan tetap menjodohkanmu dengan Laila. Setuju atau tidak itu bukan urusanku,” ancam Nenek Isna dan langsung menutup telponnya.
Rasyid memejamkan mata meredam emosinya. Dika yang melihat hal ini menepuk punggung Rasyid. Pria itu menoleh dan menghela napas.
“Tolong cek juga apa ada masalah sama Ar Madin Grup, Nenek bilang tadi ada yang menjual saham Ar Madin tanpa ayah ketahui,” kata Rasyid. Dika mengangguk paham.
Dika meninggalkan Rasyid sendirian di sana. Pria itu mengotak atik ponselnya dan melihat salah satu foto di sana. Tatapan kesal, marah, penasaran, iba, campur aduk bersama dengan sorot mata tajam itu.
“Kenapa aku merasakan debaran yang berbeda hanya dengan melihat senyumanmu ini.”
******