CH.20 Arrangement

1841 Words
Rasyid memeriksa laporan yang dibawa oleh Dika dan Edgar. Dia melihat jika Ar Madin mengalami krisis manajemen dimana banyak top management dan anggota komisaris mengundurkan diri tanpa sebab yang pasti seolah perusahaan mereka akan mengalami kebangkrutan. “Dan semuanya mendapatkan uang gratis entah darimana sebesar jutaan dollar agar mundur dari jabatan di Ar Madin Group,” ujar Rasyid memastikan. Edgar dan Dika mengangguk bersamaan. “Kita ke Dubai sekarang, nanti aku ngomong ke Oman urusan ini jadi pertemuan kita ke Jerman ditunda,” perintah Rasyid membuat keduanya bergegas mempersiapkan urusan ke Dubai. “Apalagi sekarang yang mau kamu perbuat Marques, di saat Bassil sudah tenang sekarang kamu mengusik Ar Madin,” geram Rasyid mengeraskan rahangnya. Rasyid berjalan ke ruangan Adrian. “Ad, semua urusan di sini sudah beres kan? Aku harus kembali ke Dubai, ada urusan Ar Madin yang harus aku selesaikan,” ucap Rasyid dan Adrian mengangguk mantap. “Hati-hati di jalan Bro,” kata Adrian dan Rasyid meninggalkan ruangan itu. Dia teringat harus menghubungi Oman untuk menunda pertemuan mereka di Jerman. “Halo Man, kayanya kita ga bisa ketemu lusa di Jerman, aku ada urusan di Dubai soal Ar Madin,” jelas Rasyid. Oman langsung paham dan dia juga mengatakan urusan media yang dia kelola juga mengalami masalah. Rasyid sudah kembali ke rumahnya yang ada di dekat kantor Bassil. Dia berada di balkon rumahnya. “Kenapa aku jadi mencurigai Marques melakukan semua ini. Kejadian ini terjadi secara bersamaan untuk kita Bro dan itu tidak masuk akal,” kata Rasyid. “Kamu benar, paling hebat dampaknya, aku, kamu dan Reno seakan dia tahu siapa yang membantumu dalam hal ini karena itu dia mencoba meruntuhkan kita satu per satu,” timpal Oman. “Kita ikuti arusnya Bro, kita beresin masalah kita masing-masing, sampai semuanya agak tenang, baru kita pikirkan rencana apa yang harus kita susun untuk menghadapi dia,” kata Rasyid. Panggilan itu berakhir dan Rasyid bergegas ke kamarnya untuk persiapan ke Dubai malam ini juga. Satu jam kemudian Dika mengatakan jika penerbangannya sudah siap. Malam harinya mereka berangkat ke Dubai dan Rasyid memutuskan untuk tidur di pesawat. Dika yang baru kembali dari toilet berniat untuk kembali tidur, tapi dia bingung dengan kondisi Rasyid yang mendadak berkeringat padahal pendingin ruangan di kelas bisnis pesawat ini menyala. Dika mendekati Rasyid dan mencoba membangunkannya. Samar dia mendengar rintihan Rasyid membuatnya memegang dahinya khawatir Rasyid demam atau semacamnya. Tapi suhu badan Rasyid normal lalu kenapa dia seakan mengigau. “Ra, Rara,” lirih Rasyid membuat Dika mengerutkan dahinya. “Siapa Rara?” gumam Dika. Tak tahan dengan semua misteri ini dia membangunkan Rasyid dan pria itu kaget. “Kita dimana?” reflek Rasyid. Dika menghela napas, “Kita ada di pesawat mau ke Dubai, ingat?” sindir Dika. “Rara mana? Dia pergi kemana?” tanya Rasyid masih linglung. Dika menatap temannya bingung, “Siapa Rara? Aku baru tahu kamu punya cewek namanya Rara,” kata Dika. Rasyid mengusap wajahnya seakan sadar jika sedari awal Rara memang tak ada di sini. Jadi apa yang dia lihat tadi adalah mimpi. Rasyid menghela napas lega sekaligus bingung kenapa dia sampai bermimpi seperti itu. “So, who is she?” desis Dika penuh kekepoan tingkat tinggi. Rasyid kembali menarik selimutnya dan tidur seakan tak peduli dengan pertanyaan Dika mengenai siapa Rara. Sahabatnya itu sampai menggoyangkan tubuhnya kencang tapi dia masih kekeuh tak peduli. “Awas lu, aku bakal cari tahu sendiri,” ancam Dika dan kembali memejamkan mata. Rasyid yang merasa suasana sudah aman memandang keluar jendela yang hanya terlihat gelap dan sesekali terlihat kilatan cahaya, tapi entah cahaya apa. ‘Apa terjadi sesuatu padamu atau aku yang terlalu merindukanmu sampai kamu datang dalam mimpiku,’ batin Rasyid dengan debaran dalam hatinya yang membuat sesak di dadaa. Ketiga pria itu sampai dini hari waktu Dubai setelah mereka menempuh perjalanan hampir tujuh jam. Supir Rasyid sudah standby di bandara dan mereka langsung pulang ke rumah Rasyid. Hari menjelang siang Rasyid bersiap untuk ke kantor Ar Madin yang ada di pusat kota Dubai. Dika dan Edgar sudah siap di teras rumahnya dan berdiri di samping mobil Rasyid. Kali ini Edgar sendiri yang mengendarai mobilnya dan Dika duduk di samping Edgar. Sekitar sepuluh menit mereka berkendara, ada satu mobil yang nampak mencurigakan dan mengemudikan dengan cara yang buruk. Edgar yang waspada terus mengawasi gerak gerik mobil itu. “Bos sepertinya kita sedang dibuntuti,” kata Edgar membuat fokus Rasyid teralihkan dan melihat jalanan. “Siapa mereka?” tanya Rasyid. Belum sempat Edgar menjawabnya mobil mereka sudah dipepet sampai Edgar oleng dan mobil itu berhenti mendadak membuat jalan mereka terhalang. “Vangke, siapa sih mereka,” geram Rasyid yang berniat turun tapi ditahan oleh Dika. “Biar Edgar yang maju, bahaya kalo kamu keluar, pasti nyawa kamu yang diincar,” kata Dika. Edgar sudah mengambil satu sennapan kesayangannya yang disimpan di jok bawah. Dia menyelipkannya di sabuk belakang punggungnya. Rasyid dan Dika melihat baku hantam yang terjadi dan mendadak ada banyak orang yang melakukan pengeroyokan kepada Edgar. Tak tahan dengan kondisi ini, Rasyid keluar dan menarik Edgar dari sana. Dika langsung duduk di kursi supir dan melajukan mobilnya di samping Rasyid. “Cepat masuk!” teriak Dika membuka kaca mobilnya. Rasyid membantu Edgar untuk masuk mobil tapi naas Rasyid terkena tembakan di lengan yang membuatnya merintih tapi untungnya mereka berhasil kabur, di saat yang sama polisi  datang ke lokasi kejadian. “Ras, kita ke rumah sakit dulu baru ke kantor, you’re bleeding,” kata Dika tapi Rasyid hanya diam saja. “Ed, abis ini kamu kudu cek siapa yang berani lakukan ini sama Rasyid, cari mati banget dia itu,” kesal Dika dan Edgar mengangguk patuh. Luka tembak Rasyid langsung diobati begitu mereka sampai di rumah sakit Ar Madin Medical Center. Tak berapa lama keluarganya datang dengan wajah panik. “Cucuku, apa kamu baik-baik saja,” kata Nenek Isna yang langsung memeluk Rasyid. “Rasyid gapapa Nek, sudahlah jangan berlebihan begini, malu dilihat orang,” protes Rasyid. Nenek Isna melepas pelukannya dan tertawa pelan. Mama Rasyid hanya mencium pipi Rasyid lembut. “Siapa yang melakukan ini?” tanya Mama Sophia kepada Rasyid. Dika sigap dan menjawabnya, “Edgar masih menyelidikiya Nyonya, karena kejadian ini tidak kita perkirakan sama sekali,” kata Dika. “Beberapa waktu lalu Papa kamu, sekarang kamu, Mama rasa pelakunya orang yang ingin Ar Madin tinggal nama aja,” keluh Mama Sophia membuat Rasyid bertanya. “Papa juga mengalami kejadian ini?” tanya Rasyid dan nenek Isna mengangguk. “Ada pertukaran bisnis apa kamu sampai membahayakan keluarga semacam ini,” cecar Nenek Isna. Rasyid diam sejenak lalu dia ingat ucapan Kendra beberapa waktu lalu. “Tidak mungkin ini karena dia,” lirih Rasyid yang didengar oleh nenek Isna. “Dia siapa?” tanya Nenek Isna penasaran tapi kemudian Rasyid menggeleng. “Biar Rasyid yang urus ini Nek, ga usah dipikirin,” kata Rasyid. Dokter menyampaikan jika Rasyid boleh langsung pulang, karena lukanya tidak parah dan kembali lagi tiga hari kemudian. Rasyid bergegas keluar dari rumah sakit mendengar hal itu karena dia kurang suka hawa rumah sakit. Atas permintaan ibunya dia diminta untuk tinggal di mansion Ar Madin. Tak ingin membuat keributan dia menurut kali ini meskipun sepanjang jalan telinganya harus kebal mendengar ceramah panjang lebar soal jodoh dan pewaris. Satu hari setelah kejadian itu, Rasyid mendapati ada setelan jas baru di kamarnya saat dia kembali dari ruang kerja di mansion itu. Atas ceramah nenek dan ibunya dia tidak boleh meninggalkan mansion dengan alasan keamanan. “Masuk,” jawab Rasyid karena dia mendengar ketukan pintu. Nenek Isna muncul dari balik pintu. Bagi orang awam mungkin nenek Isna adalah wanita yang sudah tua dan tidak bisa melakukan apapun. Tapi tidak bagi keluarga Ar Madin, Nenek Isna ibarat Ibu Suri kerajaan yang artinya dia masih memegang kekuasaan dan pemegang keputusan dalam trah Ar Madin. Bukan karena ayah Rasyid atau Rasyid tidak dipercaya, tapi memang semua orang segan kepadanya dan cenderung menurut dengan keputusan yang Nenek Isna buat. “Pakailah jas itu saat jamuan makan malam hari ini. Dan tidak ada pertanyaan ataupun bantahan. Datang ke ruang makan jam 7 malam, itu artinya waktumu dua jam lagi, okay,” ucap Nenek Isna tak memberi kesempatan Rasyid untuk bicara karena beliau keburu pergi. “Astaga perasaanku tak enak soal ini,” gumam Rasyid dan mengambil ponsel yang dia letakkan di meja. “Dik, dimana?” tanya Rasyid. “Di kantor WB, kenapa emangnya?” tanya Dika balik. “Edgar mana?” tanya Rasyid balik. Dika menghela napas, “Dia ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian yang menimpa kamu bersama pengawal Tuan Alfin untuk kasus penyerangannya juga,” kata Dika. “Siapa pelakunya?” tanya Rasyid penasaran. “Tidak ada jejak yang menunjukkan siapa orang ini, Oman sudah tahu masalah ini dan lagi menyelidiki semuanya,” kata Dika. Rasyid hanya bisa menghela napas mendengar hal ini. “Ada jamuan makan malam di rumah, pikirin donk gimana cara kabur dari sini, feelingku ga enak nih,” rengek Rasyid mendadak. Dika yang mendengar rengekan Rasyid bukan prihatin malah tertawa. “Tenang aja sih, ga bakal diadili kamu soal hamilin anak orang juga,” ledek Dika puas. Rasyid langsung mengumpat tanpa ampun mendengar apa yang Dika katakan. “Malah aneh kalo ada yang ngaku itu anakku, secara semuanya udah aku steril duluan sebelum aku coblos,” kilahnya dan keduanya terbahak mendengar ini. “Coba kamu cek ada penerbangan atas nama Laila dalam beberapa hari terakhir ke Dubai ga? Ga tau kenapa feelingku ke sana ini mikirnya,” keluh Rasyid. Dika hanya diam mendengarnya. “Salah Laila apa sih, sampe kamu segitunya nolak dia,” ujar Dika mendadak dengan nada yang tak biasa membuat Rasyid bingung. “Sejak kapan jadi mellow gini lu urusan sama Laila,” kata Rasyid cepat. “Buruan aku tunggu laporanmu,” perintah Rasyid menutup telponnya. Meskipun enggan Rasyid tetap bersiap dan tepat jam tujuh lewat lima meit dia baru keluar dari kamarnya. Dika mengirim pesan satu jam kemudian jika Laila baru datang ke Dubai dua hari lalu setelah tugas pameran busananya di London. “Nah, ini dia yang ditunggu datang,” sambut Nenek Isna cepat dan memanggil Rasyid untuk mendekat. Pria muda itu hanya mencium pipi Nenek, ibunya dan duduk di samping ibunya meskipun kursi di samping ayahnya kosong. Tepat sesuai dugaannya kali ini acara makan malam bersama keluarga Laila. Dia lelaki normal dan matanya tak bisa bohong jika malam ini Laila terlihat cantik dan anggun khas wanita bangsawan. Rasyid memejamkan matanya dan mencoba mencari rasa yang sama seperti yang dia rasakan saat melihat Asmara, tapi sayangnya rasa itu tak muncul. Dia menghela napas dan semakin yakin jika tak ada perasaan apapun yang meliputi dirinya untuk Laila kali ini. “Lihatlah betapa serasinya mereka,” ucap nenek Isna semangat. “Bagaimana jika kita resmikan saja hubungan mereka,” kata Nenek Isna membuat kedua pria dan wanita ini menoleh. Laila hanya menghela napas seolah tahu endingnya bakal begini beda dengan Rasyid yang nampak kesal dan marah. “Tenang saja, ini bukan soal pernikahan kalian, tapi kalian akan bertunangan dulu dan Nenek sudah putuskan dua bulan dari sekarang kalian akan bertunangan.” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD