Rasyid menggeser kursinya cepat, dia tanpa permisi langsung pergi dari sana setelah mendengar keputusan sepihak dari Neneknya. Laila yang melihat reaksi Rasyid minta ijin untuk menyusulnya dan semuanya mengangguk.
“Dia masih susah diatur Ibu, kenapa Ibu harus melakukan hal ini,” keluh Alfin ayah Rasyid dan Nenek Isna jadi kesal mendengarnya.
“Kalian saja orang tuanya tidak bisa mengaturnya bagaimana lagi caranya untuk bisa dapat pewaris kalau dia tidak dipaksa,” seru Nenek Isna.
Sedangkan kedua orang tua Laila hanya diam saja. Ibu Laila kemudian mengeluarkan pendapatnya. “Sebenarnya kami tidak ingin memaksa anak-anak untuk melakukan ini terutama demi bisnis. Bagaimana jika kita biarkan mereka melakukan pekerjaan bersama yang membuat mereka jadi dekat satu sama lain,” usul Ibu Laila.
Mama Sophia setuju dengan apa yang diusulkan oleh Ibu Laila, karena itu dia akan bicara lagi dengan Rasyid soal kerja sama yang mungkin terjadi diantara keduanya, mengingat keduanya ada di bidang yang berbeda.
“Anggap saja semua ini tak pernah terjadi,” ucap Laila saat melihat Rasyid di halaman belakang mansion mereka. Rasyid bergeming mendengar suara itu.
Laila berdiri di samping Rasyid dan memandang pria itu, hanya wanita bodoh yang menganggap Rasyid tidak menarik bagi wanita. Dia saja yang tak tahu bagaimana perasaannya kepada Rasyid dengan jelas mengagumi penampilannya.
“Ini kan bukan kali pertama Nenek dan keluarga kita mengadakan perjodohan, selama aku dan kamu tidak menerima semua ini, anggap saja ini tak pernah terjadi,” kata Laila santai.
Rasyid menghembuskan napas kasar, “Kapan mereka akan berhenti melakukan ini?” keluh Rasyid. Laila ikut menghela napas, “Entahlah, apapun alasan yang aku berikan tak mengubah kenyataan aku harus dijodohkan dengan pria angkuh macam dirimu,” ledek Laila.
Rasyid tertawa mendengarnya, “Kamu itu hanya aku anggap sebagai adikku, dari kecil kamu selalu merengek kepadaku, bagaimana aku bisa menganggapmu sebagai wanita,” gantian Rasyid meledek.
Laila yang mendengar itu ada sedikit rasa kecewa tapi dia tak bisa membantah hal itu. Mungkin itulah yang selama ini Rasyid rasakan kepadanya. Dan kenyataan itu makin menggoresnya saat dia lebih memilih Nima daripada dirinya.
Tapi Laila menyadari perasaan Rasyid saat pria itu kehilangan Nima untuk selama-lamanya. Setidaknya jika mereka jadi saudara hubungan yang mereka miliki tidak ada kata ‘mantan’ yang selalu jadi momok bagi setiap pasangan.
“Apa kamu mau membantuku kali ini?” pinta Rasyid yang membuat lamunan Laila buyar. Laila menatap Rasyid bingung, tak biasanya pria ini meminta bantuannya.
“Untuk?” tanya Laila.
“Aku akan berikan apapun kepadamu, tapi jangan sampai perjodohan ini terjadi,” pinta Rasyid dengan pandangan lurus ke depan.
“Aku akan berusaha semaksimal mungkin,” kata Laila bijak.
Rasyid menatap Laila. “Meskipun nantinya kamu mencintaiku, tapi aku yakin tidak akan ada cinta seorang pria untukmu, yang ada hanya cinta kakaknya kepada adiknya. Deal?” tegas Rasyid.
Laila berdecih pelan, “Aku baru tahu jika pewaris utama Ar Madin punya percaya diri yang tinggi soal ini. Kamu tidak akan tahu bagaimana hatimu itu bekerja Ras, bagaimana jika nantinya kamu yang jatuh cinta kepadaku,” sindir Laila.
Rasyid menggeleng cepat. “Aku bisa pastikan tidak akan terjadi, karena ada orang lain yang lebih menguasainya daripada kamu,” ucap Rasyid terus terang.
Laila membulatkan matanya. “Benarkah? Apa aku mengenalnya?” tanya Laila tak sabar.
Rasyid berbalik dan meninggalkan wanita itu begitu saja. Laila yang penasaran langsung mengejar langkah lebar Rasyid. “Hey, tunggu dulu katakan padaku dia siapa,” seru Laila sambil menggandeng lengan Rasyid.
Rasyid menghentikan langkahnya, “Bukan urusanmu!” tegas Rasyid menghentakkan cekalan tangan Laila. Wanita itu langsung mengerucutkan bibirnya sebal.
“Ah ya, aku lupa bilang satu hal sama kamu,” kata Rasyid menghentikan lagi langkahnya. Laila yang penasaran menyusul Rasyid dan memandang pria itu dengan penuh tanya.
“Beberapa waktu lalu aku ke Semarang dan bertemu Aldo,” jeda Rasyid untuk melihat reaksi Laila. Wanita itu diam menegang. “Dia lagi proses bercerai sama istrinya, aku rasa ini kebetulan dan keberuntungan untuk kita,” goda Rasyid sambil mengedipkan matanya.
Rasyid meninggalkan Laila yang masih bengong dengan ucapannya. Tiba-tiba dia kepikiran untuk menggoda sepupunya itu. Dia merogoh ponselnya dan mengirim pesan.
Rasyid [Laila kaget tapi sorot matanya bahagia tahu kamu bakal cerai.]
Rasyid tersenyum sendiri membayangkan reaksi Aldo membaca pesannya ini sampai dia tak sadar ada Dika di sana.
“Katanya ga enak tapi abis makan malam malah senyum-senyum bahagia,” sindir Dika membuat Rasyid kaget. “Bukan urusanmu!” kalimat andalan Rasyid dan dia hendak naik ke lantai dua ke kamarnya.
“Eh, tunggu, ada yang mau aku bahas soal kerjaan sama kamu,” kata Dika membuat Rasyid menghentikan langkahnya. “Ayo di balkon kamar aja,” kata Rasyid dan Dika menurut.
“Mr. Erick minta ketemu lagi sama kita sekaligus ada perayaan anniversary perusahaannya. Kayanya sih dia cocok sama kinerja kita selama ini,” kata Dika.
“Kapan?” tanya Rasyid santai. “Empat hari lagi,” kata Dika santai dan dia mengangguk setuju. “Abis dari sana kita bisa ke Jerman kayanya Oman mulai dapet titik terang soal masalah yang ada di sini,” jelas Dika. Rasyid hanya berdehem tak membantah.
Dika masih diam disitu tapi Rasyid tahu jika ada yang ingin dia katakan. “Apa lagi?” tanya Rasyid. Dika menyodorkan tablet dan Rasyid melihatnya.
Save The Date
Our Wedding
Asmara & Devio
Desain undangan yang sederhana, namun masih nampak elegant, berwarna biru muda, tertulis tanggal pernikahan mereka berdua. Dan itu terjadi sebulan lagi.
“Apa kamu akan ke sana untuk –“ pertanyaan Dika terhenti karena mendadak tablet itu dilempar dari balkon oleh Rasyid menjadi hancur berkeping-keping.
Dika kaget dengan reaksi Rasyid dan melihat tablet yang tak berbentuk itu. Asisten Rasyid hanya menelan ludahnya tak bersuara, selama puluhan tahun baru kali ini dia melihat Rasyid dengan sisi yang berbeda.
“Besok beli tablet yang bagus jangan yang mudah pecah,” ucap Rasyid santai dan keluar dari kamarnya dengan bantingan pintu. Dika hanya menggeleng tak percaya dengan apa yang diucapkan Rasyid.
“Tablet harga milyaran pun bakal ancur kalo lu lempar dari atas begini Kamvvret,” cibir Dika yang mengikuti langkah Rasyid keluar kamar.
Dika celingukan mencari kemana perginya Rasyid, karena tak menemukannya Dika memutuskan untuk pergi dari sana. Tepat di teras mansion dia melihat Veneno hitam melintas. Dika paham jika Rasyid keluar membawa mobil hitamnya maka tujuannya hanya satu Street Race.
Dika menelpon Edgar, “Ed, Rasyid keluar bawa Venenonya cepat kawal dia,” perintah Dika dan Edgar menyanggupinya.
“Dibilang ga cinta, tapi baper, astaga ribet amat Bos Dubai ini,” keluh Dika dan keluar menyusul Rasyid sebelum nanti terjadi keributan.
Street Race adalah tempat yang jauh hiruk pikuk kota karena itu dia dijadikan ajang untuk sosialita para kawula muda dari segala kalangan di sore sampai dini hari sebelum matahari terbit.
Area ini sering mengadakan modifikasi mobil, balap liar sampai taruhan segala macam benda yang dimiliki oleh empunya. Rasyid tentu saja menjadi anggota VIP di komunitas ini. Dan tempat ini selalu jadi bahan pelampiasannya saat dia kesal.
“Seribu dollar untuk dua lap menang dariku,” kata Rasyid melihat ada orang yang bersiap untuk balapan. Joki mengambil alih dan mengganti satu pemain dengan Rasyid. Kedua balap dua lap sampai akhirnya Rasyid yang menang.
Lawannya hendak membayar seribu dollar tapi Rasyid menolaknya dan dia justru pergi begitu saja. Edgar yang melihat kondisi bosnya dari kejauhan hanya mengawasi apa yang Rasyid lakukan. Puas dengan balapan di sana Rasyid pergi ke salah satu club.
Rasyid minum banyak alkohol sampai dia mulai oleng. Dika melihat kelakuan Rasyid itu dan menepuk punggung Rasyid. “Ada samsak tinju di ruang latihan Edgar kenapa mesti mabok gini,” tegur Dika.
“Kenapa lahir cewek bodoh macam Asmara di dunia ini,” kata Rasyid membuat Dika menghela napas. “Kataku rebut dia kalo memang mau merebutnya, kenapa malah jadi orang galau ga jelas gini,” kata Dika kesal.
Tak lama Rasyid ambruk tak sadarkan diri. Dika menelpon Edgar dan minta pengawal untuk membawanya pulang. Sepanjang jalan di mobil, Rasyid terus mengigau dan meracau tak jelas membuat Dika dan Edgar saling pandang.
“Dulu sama Nona Nima ga sampai kaya gini Bang,” komentar Edgar membuat Dika hanya mengangkat bahunya. “Dia emang udah ada hati, cuma gengsi mau ngaku, tunggu aja dia bakal bucin beneran itu,” sahut Dika.
“Kapan kita kasih tahu Boss soal kenyataannya mengenai Nona Asmara ini,” tanya Edgar. Dika menatap Edgar, “Kamu sudah pastikan semuanya termasuk soal perjanjian Marques dengan Priandita itu?” tanya Dika tapi Edgar menggeleng.
“Saya masih mencarinya Bos, tapi lihat Bos yang model gini saya jadi kasian,” kata Edgar.
Dika menghembuskan napas, “Ga usah elu pikirin, ntar juga lupa dia, kita sodori kerjaan aja kan beres,” kata Dika.
***
Sudah satu minggu ini Rasyid berada di Spanyol, lini bisnis yang dia miliki hampir sama dengan Itali yaitu kebun anggur. Tentu saja dengan tipe anggur dan rasa yang berbeda.
Tapi kali ini dia di Spanyol selain menyambangi pekerjaannya di sini dia bertemu dengan Mr. Erick salah satu rekan bisnisnya terkait dengan kerja sama mereka di Dubai.
“Saya puas dengan kinerja Anda Mr. Ar Madin, kebetulan saya ada rencana untuk melakukan investasi kembali di bisnis property yang ada Indonesia. Bagaimana menurut Anda?” tanya Mr. Erick.
Rasyid sebenarnya enggan tapi demi profesionalitas dia berusaha bersikap biasa saja. “Apa itu tidak terlalu serakah Mr. Erick. Dubai belum menampakkan hasilnya tapi Anda ingin investasi lagi?” kata Rasyid jujur.
“Apa ini artinya kamu menganggapku ceroboh,” tukas Mr. Erick membuat Rasyid terkekeh. “Saya tidak memikirkan hal itu, tapi jika Anda berpikir demikian bisa jadi itu benar,” sahut Rasyid tak mau kalah.
Muncul seorang wanita yang membuat mata pria fokus pada kemewahan sekaligus keseksian wanita itu. Rasyid hanya melihatnya sekilas dan tahu tipikal wanita macam apa yang ada di hadapannya.
“Perkenalkan dia Sherly, penanggung jawab masalah proyek di Indonesia. Apa Anda keberatan jika nantinya dia yang akan mendampingimu?” ucap Mr. Erick ramah.
Tapi bagi Rasyid itu adalah malapetaka karena dia paham apa yang dia maksud dengan ucapan Mr. Erick itu. Rasyid menghela napas saat pria itu duduk di dekatnya dengan membusungkan ddaadanya.
“I’m not sure, tapi melihat penampilannya dia tidak akan bekerja dengan baik kecuali hanya pamer lekuk tubuhnya,” sindir Rasyid membuat Sherly melotot dan Mr. Erick bungkam.
Dika yang mendengar ucapan mereka terkikik geli, sepertinya Erick tak tahu cara main Rasyid. Jika dia berpikir Rasyid akan tergoda dengan wanita macam itu harusnya dia sadar jika itu tidak mungkin.
Rasyid memang senang gonta ganti pasangan tapi bukan berarti dia bisa sembarangan menjadikan wanita itu penghangat ranjangnya.
“Tapi aku hargai usahamu, kita lihat saja bagaimana dia bekerja nantinya,” kata Rasyid dengan tatapan yang sulit diartikan.
Keduanya mengakhiri sesi pembicaraan bisnis ini. Rasyid meminta Dika untuk mengurus semuanya dengan Sherly. Awalnya wanita itu menolak sampai Rasyid mengatakan dengan tegas.
“Jika kamu kerja denganku pastikan dirimu mandul baru aku bisa menuruti kemauanmu,” desis Rasyid dengan tatapan mengintimidasi.
Sherly seakan menemukan dua pria kejam dalam hidupnya. Tapi demi nyawanya dia tak ingin menyerah begitu saja. Sherly terpaksa menuruti keinginan Rasyid dan Dika menjadwalkan mereka untuk bertemu di Indonesia empat hari lagi.
“Kamu ga jadi ke Jerman?” tanya Dika membuat Rasyid menggeleng. Oman bilang dia harus ke Dubai ada keperluan jadi nanti dia bakal info ke kita kapan ketemu dan itu ga harus di Jerman sih,” kata Rasyid.
“Terus ngapain kamu ke Indonesia?” tanya Dika tak mengerti karena dia yakin bukan karena urusan kerjaan dengan Sherly.
“Liburan,” jawab Rasyid cepat.
***
Rasyid berjalan menyusuri mal untuk mencari tempat makan siang yang Sherly katakan. Tapi sepasang matanya menangkap sosok yang familiar dalam pikirannya. Tak ingin kehilangan jejak dia mengejar sosok itu tapi keramaian pengunjung membuatnya hilang fokus dan kehilangan jejaknya.
“Sial, aku yakin banget kalo itu dia, kemana lagi perginya,” kata Rasyid. Dia melihat ada satu lambang kafe yang sama seperti yang Sherly katakan. Meskipun kesal akhirnya dia masuk ke kafe itu.
“Apa kamu ga pake mata –“
*****