CH.3 First Meet

1704 Words
Dika menjemput Rasyid di bandara setelah hampir satu minggu dia tidak bersama sahabatnya itu. Meski agak aneh tapi dia melihat Rasyid nampak lebih bugar daripada sebelumnya. “Apa perlu kamu tiap bulan ke Mekkah biar nampak lebih sehat,” ledek Dika membuat Rasyid berdecak. “Yah, kirain pulang dari Mekkah udah jadi lembek, masih aja kaku kaya kanebo kering,” kembali Dika tak kapok menggoda Rasyid. Keduanya sudah duduk anteng di mobil dengan Edgar yang ada di kemudi. Mobil melaju perlahan di jalanan Dubai yang terkenal dengan kesibukan lalu lintasnya. “Apa ada sesuatu menarik yang ingin kamu ceritakan kepadaku?” tanya Dika dengan mode kepo maksimal. Rasyid hanya menggeleng dan menarik salah satu sudut bibirnya. “Semua tampak biasa saja dan menenangkan,” jawab Rasyid yang mendapat decakan dari Dika. “Kapan aku berangkat ke Indonesia?” tanya Rasyid membuat Dika menoleh. “Kenapa mendadak mau ke Indonesia, sudah berubah pikiran?” tanya Dika balik. Rasyid menggeleng pelan, “Bagaimanapun utang harus tetap dibayar bukan?” jawab Rasyid. “Tapi jika memang tidak ada jadwal yang mengharuskan aku ke Indonesia, kamu bisa membuat jadwal ke Indonesia dua minggu lagi,” pinta Rasyid. Dika mengambil tablet dan dia melihat jadwal Rasyid yang memang sudah dia susun rapi di sana. “Sepertinya memang kamu harus membayar hutangmu,” kekeh Dika membuat Rasyid penasaran. “Kenapa?” tanya Rasyid tak mengerti. “Dua minggu lagi ada pesta perayaan Mr. Johnson dan kamu mendapat undangannya untuk menghadiri pestanya,” jawab Dika sambil tersenyum menggoda. “Bagus, moment yang tepat,” sahut Rasyid santai dan dia mengambil ponselnya di tas yang sudah dia simpan selama berada di Mekkah. Dia mulai membaca satu per satu email yang masuk dan dia berhenti pada satu email yang menarik perhatiannya. [Kepada : Mr. Rasyid Ar Madin Dengan sangat menyesal kami ingin memberitahukan jika kasus kecelakaan yang menimpa Nona Nima di Paris, tiga hari lagi akan ditutup oleh Pengadilan Tinggi. Alasan penutupan kasus ini dikarenakan kurangnya bukti yang menunjukkan ada tindak criminal selain kecelakaan tunggal oleh pengemudi sekaligus korban itu sendiri. Demikian informasinya, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tertanda : Kepolisian Paris.] “Ga mungkin, bukti apalagi yang mereka maksud,” geram Rasyid sampai menarik perhatian Dika. “Ada apa?” tanya Dika yang tak mengerti apa yang Rasyid gumamkan. “Baca email kamu dari kepolisian Paris, mereka menutup kasus kecelakaan Nima karena dianggap kurang bukti. Bukti apalagi yang kurang sedangkan sudah jelas banget rem dan kondisi mesin mobil Nima tak sinkron,” keluh Rasyid kesal. “Pasti ada yang ga beres ini,” ucap Dika kemudian setelah dia membaca email tersebut. “Bukankah kasus itu masih bisa aktif sampai lima tahun jika memang dirasa keluarga korban merasa keberatan dengan apa yang terjadi,” kata Dika memastikan dan Rasyid langsung mengangguk. “Biar aku ajukan keberatan ke kepolisian,” balas Dika tapi Rasyid menggeleng. “Kayanya kita mesti pakai cara lain buat ungkap semua ini,” kata Rasyid memandang keluar jendela tapi tangannya mengepal sempurana menahan amarah. “Apa maksudmu?” tanya Dika tak mengerti. “Edgar, carikan aku informasi soal The Shadow, aku yakin dia bisa membantu kita dalam hal ini,” ucap Rasyid mendengar hal itu Edgar menatap spion mobil yang ada di tengah dan mengangguk sedangkan Dika sedikit paham sekaligus khawatir. “Bukankah The Shadow itu jaringan mafia, kenapa kamu mesti nyeburin dirimu ke dalam kubangan hitam semacam itu,” protes Dika yang kali ini dia kurang setuju dengan pemikiran Rasyid. “Sesekali kita perlu jalan-jalan ke daerah hitam untuk tahu seperti apa kehidupan mereka, lagipula The Shadow bukan mafia tapi dia jaringan informasi yang dipercaya intelegen seluruh dunia karena keakuratan informasi yang bisa dia dapatkan,” jelas Rasyid. “Kaitannya dengan kasus Nima?” tanya Dika masih tak mengerti. “Informasi The Shadow pasti lebih banyak dari kepolisian kita tinggal mencari cara untuk membuka akses informasi itu, jika perlu kita terlibat di dalamnya,” kata Rasyid dengan pandangan mata yang sulit diartikan. *** Dika menggoyangkan tubuh Rasyid pelan untuk membangunkan sahabatnya itu. Pria muda itu menegakkan tubuhnya dan melakukan sedikit peregangan setelah menempuh perjalanan hampir tujuh belas jam yang melelahkan meskipun dia ada di kelas bisnis. Mereka turun dari pesawat dan tak lupa seorang pramugari mengucapkan selamat kepadanya sambil menyelipkan sebuah kertas di tangannya. Rasyid hanya diam dan berlalu dari sana, sesampainya di gedung terminal tanpa melihat isi kertas itu dia langsung membuangnya di tempat sampah. “Padahal pramugari tadi cantik lo, ga kayak cewek yang lain kelihatan gampangan,” ucap Dika sok tahu. Rasyid menoleh, “Cewek yang bener tidak akan memberikan nomor telponnya cuma-cuma tanpa diminta,” skak Rasyid membuat Dika terkekeh karena yang dikatakan Rasyid memang benar. Keduanya melihat penampakan Edgar yang sudah menunggu di pintu kedatangan. Dalam kondisi santai memang Rasyid selalu meminta Edgar untuk berangkat satu hari lebih awal agar dia bisa menjemputnya ke bandara. Sebenarnya pengawal Rasyid cukup banyak tapi bagi dia hanya Edgar yang boleh berinteraksi  lebih banyak dengannya. “Kita ke makam Nima dulu,” pinta Rasyid dan Edgar mengangguk paham. Menempuh perjalanan hampir satu jam akhirnya mereka tiba di makam Nima. Rasyid turun dari mobil dan dia langsung merasakan hempasan angin yang menerpa wajahnya. Perlahan dia berjalan ke tempat peristirahatan terakhir Nima dan pikiran Rasyid kembali lagi pada kenangannya bersama Nima sekilas sembari memegang sebuket mawar putih. Flashback tentang Nima. “Kamu tau ga kenapa aku suka mawar putih?” tanya Nima kepada Rasyid waktu itu saat mereka ada di toko bunga. Jelas saja Rasyid menggeleng, dan dia tersenyum, “Mawar putih itu melambangkan ketulusan, sebesar apapun rasa dan cinta yang dimiliki seseorang jika itu bukan ketulusan, tentu saja itu tidak ada artinya.” Rasyid mengelus kepalanya lembut, “Tidak ada orang yang akan punya cinta yang besar jika dia tidak tulus bukan? Jika tidak tulus yang dimiliki itu bukan cinta tapi ambisi.” Nima setuju dengan apa yang Rasyid katakan, dia mengangguk lalu tersenyum mendengar perkataan pria yang dicintainya itu. Flashback End. Dika memegang pundak Rasyid dan melirikkan tatapannya ke arah makam Nima. “Selesaikan sekarang dan jalani hidupmu ke depan dengan baik,” ucap Dika bisa Rasyid rasakan ada ketulusan di sana. Rasyid menghela nafas, “Hai Nima, apa kabar?” dia diam sebentar, “Maaf aku lama tak mengunjungi dan tak mendoakanmu,” suara Rasyid tertahan. “Aku tak siap menghadapi perpisahan denganmu di saat aku mulai menyadari arti kehadiranmu dalam hidupku,” suaranya kini mulai putus-putus. Dika mendengarnya langsung mengelus punggung Rasyid perlahan. “Aku harap kamu tak marah kepadaku karena aku tak mengatakan apapun kepadamu. Saat dimana kamu pulang, aku sudah menyiapkan kejutan untuk melamarmu secara pribadi dan aku ingin mengatakan –” perkataan Rasyid terpotong karena suaranya tercekat. Dia merasakan ada bulir bening di sudut matanya, Rasyid mengusapnya perlahan, menghembuskan nafas untuk mencari oksigen yang dirasakan tiba-tiba menghilang. “Aku mencintaimu Nima, maafkan aku yang terlambat menyadarinya dan menyesali kamu tak bisa mendengarnya secara langsung,” ucap Rasyid dengan butiran air mata yang menetes. Akhirnya ada kelegaan dalam diri Rasyid setelah mengatakan hal yang selama ini dia pendam. Meskipun ada rasa sedih karena dia terlambat menyadari dan mengatakannya. Dika benar, Rasyid merasakan penyesalan yang selama ini menyesakkan dadanya menghilang tanpa jejak. ‘Terima kasih Nima dan maafkan aku, bagaimana pun kamu tetep menjadi bagian dari masa lalu yang tak mungkin aku lupakan,’ batin Rasyid lega dan segera masuk ke dalam mobil. Perjalanan ke penthouse menghabiskan waktu hampir satu jam. Dika sudah mengingatkan jadwal Rasyid untuk besok. “Jangan lupa ya Bro, besok ke acara Mr. Johnson jam 7 malam,” Dika mengingatkan dan Rasyid mengangguk. “Semua keperluan bajumu untuk ke pesta Mr. Johnson udah siap di penthouse kamu,” Dika memberikan informasi sedangkan Rasyid kembali mengangguk. “Tapi sorry Bro aku ga bisa ikut, aku ada urusan,” kata Dika nyengir membuat Rasyid curiga. “Urusan apaan?” Rasyid akhirnya bersuara karena penasaran. “Ada deh, soal masa depan ini,” gelak Dika sambil menepuk bahu sahabatnya itu. Rasyid menggeleng pelan, “Ga jelas banget.” Saat tiba di area penthousetnya dia minta turun di lobby dulu daripada di basement. Dika akhirnya menuruti permintaan itu, sampe di lobby Rasyid melihat ada sedikit keributan disana. Entah dorongan darimana, Rasyid yang biasanya tidak suka mencampuri urusan orang lain bahkan tak ingin terlibat dengan urusan orang lain kini mendadak ingin tahu keributan yang terjadi. Salah satu penjaga keamanan melihat kedatangan Rasyid dan dia menggeleng untuk memberikan kode kehadirannya bisa diabaikan. Rasyid melihat seorang wanita mungkin berumur sekitar 26 tahun sedang berdebat dengan pihak keamanan penthouse. “Kalau saya tau dimana unitnya saya tidak mungkin nanya Bapak, tapi ini orangnya minta diantar kesini, dia bilang orang yang dia cari ada disini,” jelas wanita itu dengan muka kesal. “Tapi Nona, disini tidak boleh ada tamu sembarangan masuk tanpa dijemput oleh pemilik unit,” ujar pihak keamanan itu. Rasyid masih diam memperhatikan wanita itu yang masih bersikeras untuk masuk. “Ada apa ini?” tanya Rasyid penasaran. “Siang Tuan Ar Madin, bukan masalah besar, hanya ada seorang wanita yang hamil mengaku tunangannya tinggal disini tapi tidak tau unit mana yang ditempati,” jelas petugas keamanan dan Rasyid melihat wanita yang dari tadi berdebat. Mereka sejenak saling menatap, Rasyid bisa melihat tatapan kesal dan amarah disana. Dia tak terlihat seperti wanita yang sedang dihamili oleh tunangannya. Tapi tunggu kenapa Rasyid harus peduli dengan wanita ini. “Bukan aku yang hamil, tapi wanita itu,” ucapnya seakan tau apa yang Rasyid pikirkan sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di lobby. Rasyid melihat wanita yang duduk disana, perutnya memang buncit. “Apa kamu tau nama lelaki itu?” “Raditya Wicaksana,” sahut wanita itu. Rasyid melirik petugas keamanan yang terlihat menunduk berarti dia tahu dimana unit itu berada. “Beritahu unitnya, aku yang tanggung jawab,” ujar Rasyid dan petugas itu terbelak kaget. Saat Rasyid menoleh kepada wanita itu dan dia tersenyum manis sekali sesaat membuat jantungnya berdebar. ‘Hey, ada apa denganku,’ batin Rasyid bingung. Dia memegang tangan Rasyid dengan senyum yang tersungging sempurna, sekejap membuat laju otak dalam kepalanya berhenti. “Terima kasih Tuan, saya harap kebaikan Anda akan dibalas oleh Tuhan,” Rasyid bisa mendengar ucapannya itu tulus masih dengan senyum yang mengembang. Rasyid masih diam mencerna keadaan ini. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD