CH.2 Looking for Serenity

1500 Words
Dika menepuk kembali punggung Rasyid dan dia bangkit dari duduknya meninggalkan Rasyid sendirian di balkon itu. Helaan nafas berat yang keluar membuat suasana semakin sunyi dan sarat luka. Rasyid memandang hamparan Teluk Persia di hadapannya. Semenjak Rasyid memutuskan kerja di Dubai, sebenarnya keluarga Ar Madin memiliki rumah di kota tersebut tapi Rasyid ingin tinggal dirumahnya sendiri. Meskipun rumah yang ditempati tidak begitu besar jika dibandingkan dengan mansion Ar Madin, tapi rumahnya sesuai dengan keinginan hatinya dan seleranya. Tak lama dia berbalik dan memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumah dia melihat Dika sedang santai sambil menonton televisi. “Aku tau ini bukan saatnya membicarakan hal yang tak perlu, tapi aku merasa kamu terlalu berlebihan jika terus termenung menghadap Teluk Persia saat kamu mengalami kegalauan,” ujar Dika menohok bagi Rasyid. Dia mengambil air minum dari dispenser yang ada di dekat ruang tv. Rasyid meneguk segelas air itu dengan cepat sampai tandas. “Kamu kira aku memandang Teluk Persia karena aku galau?” Rasyid memicingkan mata mengejek Dika. “Lalu kalau bukan karena galau kenapa kamu begitu menghayati melihat laut itu?” Dika tak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya semenjak dua tahun lalu ini. “Ada hal yang perlu aku kejar dalam hidup ini, jadi aku memandang laut itu untuk memastikan seberapa jauh aku bisa menggapainya,” balas Rasyid sok serius. Dika tersenyum paham, “Iya benar aku setuju dengan ungkapanmu tapi aku rasa tujuanmu yang jelas sekarang adalah mencari pasangan demi mendapatkan pewaris kedua Ar Madin.” Rasyid yang mendengar perkataan Dika langsung memukul kepala Dika, “Sialan, kenapa mesti bahas hal ga mutu kaya gitu. Ampe mulutmu berbusa pun kamu akan tau jawabannya.” Dika terkekeh geli, “Belum tau aja kamu rasanya kalo udah jadi bucin, aku doain kamu jadi bucin biar tau rasa sama yang namanya cinta.” “Sumpahmu ga akan berlaku buatku Andika Ramawan,” kekeh Rasyid jumawa. “Let’s see Mr. Ar Madin.” Dika hanya tersenyum dan memainkan ponselnya. Rasyid berlalu dari hadapan Dika dan berjalan ke lantai tiga rumahnya. Rumah dengan luas sekitar 200 meter persegi memiliki 3 lantai yang dibangun menghadap laut di Teluk Persia yang merupakan letak Uni Emirat Arab sendiri, dimana UEA yang terkenal dengan pulau reklamasinya. Di lantai tiga ada kolam renang berukuran sekitar empat kali dua meter dengan kedalaman satu hingga satu setengah meter. Airnya berwarna biru agak kehijauan dengan atap portable yang bisa dibuka dan ditutup. Di samping kolam renang ada gazebo kayu yang berukuran sedang, spot outdoor kecil dengan permadani dan bean bag, dan satu ruangan gym yang biasanya dia gunakan bersama Dika dan Edgar. Melihat suasana perkotaan di malam hari juga bisa dilakukan di sisi lain dari lantai ini. Sedangkan di lantai 2 memiliki balkon yang jadi tempat favoritnya, di balkon tersebut ada hamparan permadani, sofa empuk, bean bag di ujung balkon yang langsung tembus ke ruang keluarga di bagian dalam. Kamarnya sekaligus kamar utama ada di kiri ruang keluarga dengan balkon yang lebih kecil dari balkon favoritnya, namun tetap memiliki sepasang kursi rotan dan meja untuk bersantai. Selain kamar utama, masih ada tiga kamar lagi di lantai dua dengan luas yang hampir sama, fasilitas lengkap dengan kamar mandi dalam dan walk in closet. Tak lupa juga satu ruang kerja yang ada di sebrang kamar Rasyid. Di lantai satu, masih ada dua kamar tamu, dapur bersih dan kotor, ruang makan yang cukup untuk enam orang, ruang tengah dan ruang tamu, taman samping dan taman belakang, garasi yang muat untuk delapan mobil terletak di basement rumah Rasyid. Karena rumahnya yang sifatnya privat, jadi asisten rumah tangga yang membantunya dengan rumah sebesar itu tidaklah banyak hanya sekitar enam orang asisten rumah tangga. Tapi buat Rasyid itu cukup selama mereka membersihkan rumah dan menyediakan makan dengan baik. Kesan privat makin terlihat dengan gerbang rumahnya yang menjulang tinggi di jaga oleh dua penjaga hasil didikan Edgar, tampak depan rumah ini hampir sama dengan rumah pada umumnya hanya saja saat masuk terasa ornament khas Timur Tengah menghiasi rumah ini. Hampir semua tempat di rumah ini terdapat akses cctv kecuali semua kamar di ruangan ini yang bisa mengakses cctv hanya Rasyid. Selama ini Rasyid hanya bersama Dika dan Edgar saat melewati masa remajanya termasuk saat ini Dika dan Edgar juga tinggal di rumah itu. Rasyid mendirikan perusahaan World Biz hasil dari uang saku yang selama ini diberikan oleh orang tuanya, merintis karier di perusahaan miliknya sendiri dari bawah. Deru napas Rasyid terengah setelah dia melalui satu sesi tahapan gym yang dilakukannya selama tiga puluh menit. Semenjak mimpi buruk yang menghampirinya sore tadi dia merasa gelisah dan tak tenang. Sampai suara adzan terdengar sayup-sayup di telinganya dan sedikit menenangkan hatinya. Lalu Rasyid menyadari sesuatu jika selama ini dia tak pernah bersujud kepada Allah atas semua yang dia dapatkan saat ini. Lekas dia mengambil ponselnya dan memesan tiket ke Mekkah. Setelah mendapatkan tiketnya, dia menyalin tiket itu dan dikirim ke Dika. Tak lama muncul telepon dari Dika. “Dimana lu?” tanya Dika keras sampai Rasyid harus menepikan ponselnya. “Lantai 3 bro,” tanpa basa basi lagi Dika langsung menutup telponnya dan tak lama dia muncul di lantai 3 rumahnya. “Ada urusan apa lu ke Mekkah mendadak?” tanya Dika to the point. Rasyid langsung menatap Dika santai dan mengambil handuk keringatnya. “Mencari ketenangan,” jawab Rasyid santai. Dika menghela napas, “Ga bisa minggu depan? Kan minggu ini jadwalmu udah full.” Jawaban Dika membuat Rasyid menggeleng, “Geser aja jadwal minggu ini ke minggu depan, mumpung aku deket ke Mekkah jadi aku sempetin, ntar kalo udah ke Eropa lebih repot lagi.” “Ditemenin ga?” tanya Dika dan Rasyid menggeleng. “Aku aktifkan GPS aja jadi kalian bisa mantau tapi please aku mau sendiri dulu.” Dika mengangguk mantap dengan ucapan Rasyid. *** Pagi ini Rasyid sudah bersiap ke bandara dan bertolak ke Mekkah untuk berkunjung ke rumah Allah. Bagi Rasyid ini adalah pengalaman pertamanya ke Mekkah benar-benar untuk dirinya sendiri. Selama ini dia kemari hanya karena menemani ayah dan ibunya atau neneknya, tapi kini dia berangkat sendiri dan memiliki tujuan sendiri dalam hidupnya. Dia memilih hotel yang hanya berjarak 500 meter dari Masjidil Haram. Setelah meletakkan barang bawaannya dia mulai mengganti pakaiannya dengan baju koko dan peci. Dia berjalan ke Masjidil Haram tapi entah apa yang dia pikirkan atau dia rasakan, mendadak badannya kaku dan air matanya menetes. “Tenanglah Rasyid, ini hanya soal perasaanmu bukan apa-apa, all is well,” ucap Rasyid menguatkan diri. Dan dia kembali melangkahkan kakinya sampai di halaman masjid. Dia tak segera masuk, tapi hanya diam saja di sana sampai adzan dhuhur berkumandang dengan lantang dari masjid tersebut. Langkah Rasyid menjadi lebih ringan dan dia melangkahkan kakinya ke dalam masjid dan mengikuti sholat berjamaah. Setelah itu, dia memilih tempat yang agak sepi dan dia kembali mengulang sholat yang entah sholat apa yang dia jalani. Bagi Rasyid, dia hanya ingin bersujud dan bersujud kepada Allah atas apa yang dia dapatkan dari semua ini. Sampai entah sholat yang ke berapa akhirnya tubuhnya lemas dan mendadak tangisnya pecah. Tiga hari awal dia hana bisa menangis setiap bersujud kepada Allah. Dia tak memiliki tujuan apapun dalam sujudnya kali ini, bagi Rasyid dia hanya bersujud dan bersujud. Dia percaya tanpa mengungkapkan kebenaran pun Allah akan tahu apa yang dia rasakan. Hampir seminggu dia berada di Mekkah dan perlahan dia mulai mendapatkan kembali ketenangan dalam dirinya. Dan dia kembali merenungkan apa yang dia alami dan bertekad untuk melupakan Nima lalu melanjutkan hidupnya. ‘Ya Allah, aku bukanlah hambaMu yang baik, tapi dalam sujudku kali ini aku ingin menjadi hambaMu yang baik meskipun jalannya tidak mudah. Bantulah aku untuk mengikhlaskan kepergian Nima dan mudahkanlah aku untuk menemukan jalan keluar dari semua kejanggalan yang aku rasakan.’ Rasyid berdoa dalam hati. ‘Jodoh, mati, rezeki semua sudah kamu atur sedari roh bertiup dalam rahim ibuku. Tapi aku percaya semua ketetapan itu masih bisa aku ubah dengan usahaku dan ridho serta rahmatMu. Untuk itu bantulah aku melewati semua cobaan ini dan bantu aku untuk melanjutkan hidupku dengan mengikhlaskan kepergian Nima ke pangkuanMu. Aku percaya dengan rencana indahMu yang akan datang tepat di saat aku membutuhkannya bukan menginginkannya,’ tetesan air mata Rasyid keluar dalam doa yang dia panjatkan. ‘Jika aku bisa kembali ke sini, aku berharap itu karena takdirMu yang indah dan bersama dengan orang yang sudah Engkau pilihkan untukku. Aku percaya jika aku tak bisa kembali ke sini, itu artinya aku masih harus mencari orang yang tepat untuk bersamaku.’ Rasyid menutup doanya. ***** Bab yang mengharukan ga sih buat kalian? Kalo ga terharu juga gapapa sih, hehehe.. Entah kenapa aku jadi terharu aja menulis bab ini meskipun aku ga detil menggambarkan prosesnya, tapi kan memang ada orang yang datang ke Mekkah itu hanya sekedar untuk mencari ketenangan. Tapi kalau aku salah kalian boleh kok komen di sini, mungkin ga seharusnya aku nulis gini, boleh banget karena aku menerima kritikan dan hujatan kalian. Siap-siap buat menerima banyak drama dan konflik di cerita ini. See you Stay Tune Love
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD