Setelah dua tahun dia memutuskan untuk tidak terlalu banyak peduli dengan urusan orang lain termasuk wanita. Entah kenapa sekarang dia mulai peduli dengan urusan orang lain dan kini kepeduliannya membuahkan hadiah yang tidak dia sangka senyuman tulus dari seorang gadis.
Tapi bukan masalah hadiah senyuman itu yang membuatnya jadi bingung. Tapi apa yang dia rasakan dalam debaran jantungnya. Sesuatu yang sudah dia lupakan rasanya tapi kini mendadak muncul di hadapannya. Hanya dengan senyuman itu dia bisa merasakan debaran yang tak biasa dalam dirinya.
Dia tak memiliki wajah seorang model dengan body standard wanita, tapi dia memiliki senyuman yang menawan. Apa dia selalu senyum seperti ini kepada setiap pria yang menolongnya? Ada perasaan tak suka membayangkan hal itu.
Astaga, baru kali ini Rasyid bertemu wanita dan dia sudah membuat pikiran Rasyid mengarang dan mengacaukan kinerja otaknya. Tersadar dari lamunannya, dia melihat wanita itu sudah tidak ada di depan Rasyid.
Rasyid mengedarkan pandangan ke sekitar ternyata dia sudah menuntun wanita hamil itu berjalan ke lift. Rasyid memutuskan untuk mengikutinya. Kini mereka bertiga ada di dalam lift, angka 17 menyala dan Rasyid menekan angka 19.
“Terima kasih atas bantuan Anda tuan, jika Anda tidak datang, kakak ini tidak akan bisa masuk sini,” ucap wanita itu. Ada rasa penasaran siapa namanya tapi Rasyid enggan bertanya.
“Apa kau mengenal wanita ini?” tanya Rasyid yang ga seharusnya ditanyakan. Dia dengan entengnya menggeleng. “Aku hanya melihatnya kesakitan tadi dan minta diantar kemari daripada ke rumah sakit.”
Rasyid cukup kaget mendengar apa yang wanita itu katakan, jadi dia menolong orang yang tidak dia kenal. Bagaimana bisa dia melakukan hal semacam itu? Beneran otaknya tidak habis pikir dengan tingkah wanita ini.
Ting.
Pintu lift terbuka menunjukkan angka 17 dan dia langsung berlalu dengan wanita hamil itu. Rasyid masih memandangnya dengan seksama, sampai tersadar jika dia belum tahu namanya. Saat pintu lift akan tertutup Rasyid menahannya dengan tangannya dan keluar lift.
“Hey, siapa namamu?” tanya Rasyid agak berteriak. Dia berhenti dan menoleh, “Ga usah tau, kan kita ga akan ketemu lagi.”
Rasyid dibuat bengong dengan ucapan wanita itu sekaligus ada rasa kesal di hatinya. Bagaimana bisa dia ditolak dengan mudahnya oleh wanita yang tak masukk kategori baginya. Di saat semua wanita langsung memberikan nomor telepon bahkan tubuh mereka untuk Rasyid, tapi wanita ini malah menolaknya mentah-mentah.
Rasyid berniat melangkah untuk menyusulnya, tapi ponselnya berbunyi dan perhatian Rasyid teralihkan. ‘Sial, awas aja jika telpon ini ga penting,’ geram Rasyid. Dengan rasa kecewa Rasyid mengangkat panggilan itu dan ketika panggilan berakhir dia sudah tak melihat wanita itu dimanapun. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali penthousenya dengan rasa kesal.
“Kemane aje Bos, naik ke lantai 19 aja lama banget,” keluh Dika saat melihat Rasyid baru masuk penthouse. “Berisik,” sahut Rasyid sarkas membuat Dika langsung diam.
Rasyid langsung masuk kamarnya yang ada di lantai 2 penthouse ini. Dari sana dia bisa melihat langit Surabaya yang berwarna jingga karena matahari akan segera terbenam. Menemani Rasyid menikmati senja disana, dia berjalan ke kulkas yang ada di kamar.
Rasyid mengambil sekaleng soda, kembali berjalan ke balkon menatap ramainya Surabaya dengan langit senja. Rasyid menyesap minuman itu dan memejamkan mata.
‘Siapa dia? Siapa namanya? Kenapa aku merasa aneh bertemu dengannya, apa aku terlihat buruk sampai dia tak melihatku sama sekali.’ Rasyid menghembuskan nafas lelah karena memikirkan masalah ini.
“Hanya dia satu-satunya orang yang tak menatapku sedangkan semua wanita merasa aku ini lelaki sempurna,” monolog Rasyid menegak sodanya cepat hingga terasa ada gelenyar aneh di mulutnya.
Rasyid berjalan ke ranjang, meletakkan soda di nakas dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Entah karena lelah atau memang ranjang yang empuk, dia terpejam sampai langit berubah gelap.
“Bangun Bos, waktunya makan malam ini,” samar Rasyid mendegar suara Dika memanggil namanya. Perlahan Rasyid membuka mata dan benar dia melihat Dika yang sudah melipat tangannya di d**a.
“Jam tujuh Bos, makan dulu baru tidur lagi,” tegurnya dan Rasyid langsung duduk. Rasyid kembali melihat Dika dan dia sudah rapi meskipun pakai baju santai. “Bisa order burger ga?” pinta Rasyid dan Dika mengangguk, “Aku order dulu kalo gitu.”
Rasyid turun dari ranjang langsung ke kamar mandi dan ganti baju santai, dia hanya menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit aja. Di ruang makan dia sudah melihat ada burger pesanannya tadi.
Rasyid melihat Dika dan Edgar duduk santai di sofa ruang tengah, mendadak Rasyid teringat peristiwa beberapa jam lalu, dia menghampiri keduanya di sofa dan duduk di samping Edgar.
“Apa kamu tadi sempat lewat lobby?” tanya Rasyid yang membuat Edgar langsung menggeleng. Rasyid diam dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Dika yang melihat hal yang janggal tak ayal membuat jiwa keponya meronta.
“Kenapa memangnya?” tanya Dika balik dan Rasyid menggeleng. Dika yang paham tabiat Rasyid langsung menawarkan ide brilian. “Mau dicek pakai rekaman cctv lobby?” usul Dika membuat Rasyid langsung duduk tegak.
“Kejadiannya sekitar siang hari sebelum aku masuk ke lift,” ucap Rasyid cepat tapi kemudian dia sadar jika dia sedang ditatap dengan pandangan penuh tanya oleh kedua orang kepercayaannya.
“Apa?” tanya Rasyid cuek dan menormalkan ekspresinya. “Siapa yang harus kita cek Bos,” Edgar langsung menohok membuat Rasyid jadi diam. Bukan karena dia tidak bisa menjawab tapi jika dia mengatakan dengan jujur pasti Dika akan meledeknya habis-habisan.
Rasyid langsung memerintah, “Ga perlu, ga penting.” Pria itu langsung bangkit dari duduknya dan berjalan ke ruang kerjanya. Dika dan Edgar saling berpandangan, mereka bingung dengan sikap Rasyid yang tak biasa. ‘Jika tidak penting kenapa bertanya, tak seperti biasanya,’ batin Edgar tapi dia hanya bisa menatap kepergian tuannya tanpa bisa bertanya.
Di ruang kerjanya Rasyid langsung melakukan akses ke rekaman cctv yang digunakan di gedung itu. Rasyid tak kesulitan melakukannya karena dia adalah pemilik gedung itu. Karena itulah dia bisa memiliki penthouse yang hanya berjumlah tujuh buah dalam gedung itu dan terletak di lantai 18 dan 19.
Dia memutar rekaman cctv dan berusaha memindai wajah gadis itu tapi sayangnya dia gagal melakukannya karena kondisi pengambilan gambarnya kurang jelas. Rasyid yang mendadak kesal langsung melempar mousenya begitu saja.
“Ngapain sih berdiri di situ kan ga bisa di cek wajahnya,” gerutu Rasyid sambil menjambak rambutnya. Dia menundukkan kepalanya dan nampak berpikir.
“Kenapa aku jadi emosi karena ga bisa tahu soal dirinya,” gumam Rasyid menyadari kebodohannya. Dia menghembuskan napas dan kembali menegakkan tubuhnya.
“Kendalikan dirimu, Rasyid Ar Madin.”
*****
Ada yang galau dan gemas nich,,hehehhe...
Siapa kira-kira yang bikin Rasyid jumpalitan kaya begini hayo??
Wkwkwkwkwk,,,
Mau dilanjut apa enggak ini ya kira-kira??
Atau bikin drama lagi?