Chapter 10

1062 Words
Ratih terkejut. Dia segera menundukkan kepalanya dan terus meminta maaf, "Maaf, maaf. Aku tidak sengaja." "Kamu menangis karena masih punya perasaan padanya?" Suara dingin terdengar dari atas kepalanya. Suara itu sangat familiar, aromanya juga sangat…Tidak! Ratih segera mengangkat kepalanya dan menatap Tengku Ammar dengan kaget. Untuk sesaat, dia terdiam. "Kami tidak pergi berkencan," balas Ratih tanpa sadar. "Hmph, aku melihat semuanya." Tengku Ammar mendengus. Sudut mulut Ratih berkedut. Apa yang dia lihat? Bahkan orang bodohpun tahu bahwa dia hanya menumpang. "Kami benar-benar tidak pergi berkencan. Nyonya Aziz memintanya untuk mengantarku pulang. Dia berharap aku bisa membujuk Abdul agar Mariam bisa mendapatkan surat nikah di kantor catatan sipil." Ratih menjelaskan dengan sabar. Namun setelah menjelaskannya, dia merasa aneh. Mengapa dia harus menjelaskan hal ini kepada Tengku Ammar? Apa hubungan lelaki ini dengan dia? Mereka hanya pernah terlibat one night stand, bukan pacar apalagi suami istri. “Benarkah?” Tengku Ammar mengangkat alisnya. Orang ini adalah atasannya, jadi meskipun dia tidak mau menjelaskan apapun, dia tetap mengangguk. Lebih baik meninggalkan kesan yang loyal dan jujur ​​pada atasan agar atasan melihat potensinya. Tengku Ammar mencibir dan berkata dengan ringan, "Sebaiknya kamu tahu diri. Bagaimanapun, dia sekarang adalah saudara iparmu." "Boss, jangan khawatir. Saya selalu sadar diri. Tapi Boss, mengapa Anda ada di sini? Apakah ada yang Anda butuhkan dari saya?" Ratih bertanya dengan heran. Lingkungan kumuh dan tua seperti yang disewanya seharusnya bukan tempat yang akan didatangi Tengku Ammar. Jelas bukan suatu kebetulan mereka bertemu di sini! “Ya, aku di sini untuk menemuimu.” Tengku Ammar mengangguk. "Mengapa anda mencariku? Apakah ada yang salah dengan pekerjaanku?" Ratih bertanya dengan cepat. Dia sedikit gugup, takut Tengku Ammar akan menarik kembali kata-katanya. Dan dia akan di lempar kembali ke kantor cabang. "Ini bukan tentang kinerjamu. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku tidak suka makanan pedas, makanan asam, atau makanan manis. Seleraku lebih ringan, jadi kamu bisa cari tempat penjual makan siang yang sesuai seleraku." Ratih terdiam. "Boss... apakah kamu di sini hanya untuk memberitahuku tentang selera makan siangmu besok?" Ratih bertanya dengan bingung. Bukankah itu bisa dibicarakan besok pagi? Lagi pula dari mana pria ini tau bahwa dia tinggal disini? "Yah, aku tidak ingin hidangan pertama yang kamu siapkan menjadi tidak enak karena kamu memesan hidangan yang salah," kata Tengku Ammar dengan serius. Sudut mulut Ratih berkedut. Apakah itu berarti dia akan jadi tukang masak seterusnya? "Ho Ho, aku mengerti. Terima kasih sudah memberitahuku." Meskipun dia sangat kesal di dalam hatinya, dia tetap memperlakukan Tengku Ammar dengan baik di permukaan. Nanti dia akan mencari cara untuk naik level jabatan. Bukankah perut membuka pintu rezeki? Namun, ketika Tengku Ammar mendengar kata-katanya, dia mengerutkan kening. Perasaan yang tidak diketahui muncul di hatinya. Matanya menjadi gelap saat dia bertanya, "Kamu tahu? Apa yang kamu tahu? Apa kamu selama ini memata-mataiku?" "Tentu saja tidak. Mana mungkin aku berani memata-matai orang kaya sepertimu. Aku hanya akan mengingat selera anda bahwa anda tidak makan makanan pedas, asam, atau manis. Kamu suka makanan ringan. Aku sudah mengingat semuanya." Ratih buru-buru mengulangi apa yang baru saja dia katakan. Sudut matanya berkilat jahat, barangkali dia perlu menyuguhkan sayur rebus atau sambal terasi untuk pria ekslusif ini. "Apakah menurutmu aku sedang tidak punya pekerjaan, jadi aku datang ke sini untuk memberitahumu hal kecil ini?" Tengku Ammar tiba-tiba dalam suasana hati yang buruk, dan nadanya menjadi tidak sabar. Ratih menatapnya dengan linglung. Dia tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba marah. Dia bertanya dengan hati-hati, "Apakah kamu datang ke sini dengan sengaja atau kebetulan lewat?" Tengku Ammar tidak bisa berkata apa-apa. "Aku belum pernah melihat wanita sebodoh dan setolol dirimu." Tengku Ammar memarahi dengan keras. Dia mengulurkan tangan untuk mengusap rambut Ratih dengan keras. Sebelum dia sempat bereaksi, dia berbalik dan pergi. Rambut Ratih diacak-acak olehnya tampak seperti hantu perempuan yang kehilangan arah. Saat dia bereaksi, Tengku Ammar sudah pergi. Dia menatap jalan yang gelap dengan linglung. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasakan sedikit aneh di hatinya, tetapi dia tidak tahu apa yang aneh. Tengku Ammar masuk ke dalam mobil dengan wajah cemberut. Dia sedang dalam suasana hati yang buruk. Imran menatapnya dengan heran. Ketika dia keluar dari mobil, matanya penuh dengan kelembutan. Mengapa dia kembali dengan wajah dingin dan marah setelah mereka bertemu? “Boss, apakah Anda akan pulang sekarang?” Imran bertanya ragu-ragu. Bahkan ia sendiri juga bingung mengapa Boss nya datang ke kawasan ini hanya untuk memberitahukan hal sepele yang tidak penting. Tengku Ammar mengangguk dengan dingin. Ia bersandar di mobil. Meskipun matanya terpejam, otaknya berputar cepat. Tiba-tiba, dia membuka matanya dan mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Abdul. “Di mana kamu?” tanya Tengku Ammar dingin. Abdul berkata cepat, "Aku sedang dalam perjalanan. Paman, ada apa?" "Datanglah ke rumahku setengah jam lagi. Aku akan menunggumu." Tengku Ammar menutup telepon setelah selesai berbicara. Abdul tertegun. Saat dia bereaksi, dia sudah menutup telepon. Dia menginjak pedal gas dan bergegas menuju rumah tua keluarga Syah Alam. Dia tidak menyangka bahwa saat dia tiba, pengurus rumah tangga mengatakan kepadanya bahwa Tengku Ammar belum kembali. “Tuan Muda Wan, minumlah tehnya dan tunggu!” Pengurus rumah tangga secara pribadi memberikan secangkir teh kepada Abdul. Abdul mengucapkan terima kasih dan menunggu sambil minum teh. Setelah sekitar dua puluh menit, Tengku Ammar akhirnya kembali. Abdul segera meletakkan tehnya, berdiri tegak dan berkata, "Paman." "Hmm." Tengku Ammar hanya bergumam, seolah-olah dia tidak merasa bersalah karena terlambat. “Paman, apa yang bisa saya bantu?” Abdul bertanya dengan hormat. “Bagaimana hubunganmu dengan istrimu?” tanya Tengku Ammar. “Hah?” Abdul tertegun, seolah tidak menyangka akan mendapat pertanyaan ini. Dia menjawab dengan malu, "Tidak apa-apa! Kami baru saja melangsungkan pernikahan, tetapi kami belum mendapatkan surat nikah.” "Karena pernikahan sudah dilangsungkan, mari kita ambil surat nikahnya. Namun, sebelum kamu mendapatkan sertifikat, lakukan pengesahan pisah harta oleh notaris untuk menghindari masalah yang tidak diinginkan di kemudian hari." Tengku Ammar berkata perlahan. Abdul tidak mengerti mengapa pamannya tiba-tiba peduli dengan pernikahannya, tetapi dia tidak bisa menolak karena pria ini sudah membahasnya. "Baiklah. Aku akan melakukannya secepatnya." Keesokan harinya, Mariam menerima telepon dari Abdul, yang mengatakan bahwa dia ingin mendapatkan surat nikah dari Kantor catatan sipil, tetapi dia harus melakukan pengesahan pisah harta oleh notaris. Meskipun Mariam marah tentang pengesahan pisah harta, dia tetap sangat senang karena lelaki itu akhirnya bersedia mengurus buku nikah. Nyonya Aziz ingin menelepon Ratih dan meminta Ratih untuk mengambil passport itu saat dia senggang, namun Tuan Aziz Sam menghalanginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD