Chapter 11

1080 Words
“Apakah kamu benar-benar akan memberikannya padanya?” Tuan Aziz Sam berkata dengan marah. Dengan di tahannya passport ini, mereka akan lebih leluasa bertindak. Lagipula, masih ada hutang yang belum lunas. "Saya sudah berjanji padanya". “Ngomong-ngomong, Miriam sudah mendapatkan buku nikah. Itu hanya Passport. Kita tidak membutuhkannya lagi." “Lalu bagaimana dengan hutangnya?” Kening nyonya aziz berkerut, dia benar-benar lupa tentang itu. “Baiklah, kita tahan dulu sampai dia melunasi hutang itu.” Putus mereka kemudian. Ketika Ratih tahu bahwa dia dimanfaatkan, dia sangat membenci keluarga ini sampai ke tulang ekor. Ratih tidak puas dengan beberapa restoran, jadi dia meminta Lina untuk membantunya memikirkan solusi. Akan tetapi, keduanya hampir sama saja, jadi mereka tidak dapat menemukan solusi yang lebih baik. Mereka tidak pernah makan di restoran mewah, jadi dia sedikit bingung dengan selera para pria ekslusif ini. Tiba-tiba Abdul meneleponnya. Dia tidak ingin menjawab panggilan Abdul. Tetapi dia berpikir bahwa Abdul dari kalangan berada jadi dia mungkin punya solusi, dengan enggan dia menjawab telepon pria itu. Namun, dia tidak menyangka bahwa Abdul akan bicara dengan nada penuh kasih sayang yang membuatnya jijik. "Ratih, aku sudah melakukan permintaanmu kemarin, hari ini kami mendapatkan surat nikah di kantor catatan sipil." Ratih merasakan hawa dingin menjalar di tulang punggungnya. Dia menggertakkan giginya dan berkata, "Baguslah." Abdul berkata sambil tersenyum kecut, "Apa kamu masih marah?" "Untuk apa aku marah? Kita sekarang adalah orang asing.” Ratih mencibir. "Kita masih bisa berteman seperti dulu?" Abdul bertanya dengan hati yang sakit. Dia menyesal telah bersikap ceroboh malam itu sehingga memberi celah bagi Miriam untuk menjebaknya. "Tentu saja Aku tidak bisa," tolak Ratih dengan tegas. Abdul menghela napas dan berkata perlahan, "Begini saja, Aku ingin mentraktirmu makan malam. Anggap saja ini sebagai… makan malam terakhir kita!” Ratih mencibir. Lelaki ini benar-benar tidak tahu malu. Siapa yang mau makan malam dengan suami orang? Namun, saat ia berpikir tentang makan, ia teringat sesuatu dan segera bertanya, "Ngomong-ngomong soal makan, ada yang ingin kutanyakan padamu. Aku punya boss dan dia agak pemilih. Bisakah kamu merekomendasikan restoran yang bagus untukku? Dia tidak suka makanan pedas, asam, atau manis. Dia suka makanan yang hambar. Ya… Sebaiknya lingkungan restorannya lebih elegan dan bersih.” "Orang macam apa ini! Sangat pemilih," kata Abdul dengan ketidakpuasan. Ratih berkata, "Jika kamu punya tempat, rekomendasikan kepadaku. Jika tidak, lupakan saja." "Aku akan segera mengirimkan alamatnya ke ponselmu. Cukup menyebutkan namaku untuk masuk. Ini adalah restoran pribadi. Orang lain harus membayar keanggotaan untuk masuk." Abdul berkata dengan cepat. "Terima kasih," kata Ratih dan segera menutup telepon, dia segera menerima pesan teks dari Abdul. Ada alamat, nama, dan nomor keanggotaannya. Ratih akan memesan menu makan siang dari restoran ini, namun ketika dia mengirim pesan pada Imran menanyakan apakah restoran ini cocok dengan selera Boss. Tengku ammar malah mengatakan bahwa ia akan makan direstoran itu dan Ratih juga harus ikut agar dapat mempelajari resep dari restoran tersebut. Ia masih berfikir positif, orang-orang kaya memang punya kebiasaan aneh. Jadi dia harus menyesuaikan diri. Kuliahnya akan berakhir pertengahan tahun depan, jadi dia sudah harus melunasi hutang agar bisa segera pulang. Ratih tiba di restoran lebih awal dari waktu yang disepakati dan berada di ruang pribadi yang sudah di pesan sebelumnya. Dia mengira orang sibuk seperti Tengku Ammar akan datang sangat terlambat. Namun dia tidak menyangka lelaki itu akan datang sesuai jadwal. Tidak kurang semenitpun atau lebih semenit pun. Tepat sekali. Ratih berdecak kagum. “Boss, silakan duduk.” Ratih segera berdiri dengan penuh perhatian dan melayaninya selayaknya koki kelas atas. Ekspresi Tengku Ammar masih sama, dingin dan acuh tak acuh. Lelaki ini bahkan tidak menatapnya. Namun, dia memuji tempat ini dan berkata, "Hmm, lingkungan di sini tidak buruk." Ratih berharap lelaki ini akan berkata lebih banyak seperti mempromosikannya ke posisi yang lebih tinggi namun itu hanya mimpi di siang bolong. Lelaki ini terlalu pelit bicara. “Terima kasih, Boss.” Ratih segera berkata dengan sopan. Mata Tengku Ammar menjadi gelap saat dia bertanya perlahan, "Lalu bagaimana kamu akan berterima kasih padaku?" Meski itu terdengar lembut, tapi jika keluar dari mulut lelaki ini, kehangatan dari keta-kata ini hilang sama sekali. Itu lebih terdengar seperti rentenir yang sedang menagih hutang. “Hah?” Ratih tertegun dan menatapnya dengan bingung. Tengku Ammar berkata, "Bagaimana kamu akan berterima kasih kepadaku?" Dia masih bicara tanpa melihat lawan bicaranya. Ia hanya mengambil secangkir teh lalu minum dengan elegan. "Aku …!" Ratih berpikir dalam hati, Apakah lelaki ini akan minta kompensasi sekarang? Jika yang dia bicarakan adalah masalah uang, Ratih bahkan tidak punya uang menyewa rumah sekarang. Ruang privatnya tidak besar. Restoran privat ini juga tidak terlalu besar. Namun, lingkungannya elegan, dan ruangan pribadi sekecil itu terasa sangat indah. Ada pula aroma dupa yang memabukkan di udara. Keduanya duduk berhadapan di meja persegi panjang. Karena meja itu terlalu sempit, lutut mereka hampir saling bersentuhan dari waktu ke waktu. Tengku Ammar menatapnya dan tiba-tiba mengulurkan tangan untuk menyentuh matanya. Ratih terkejut. Dia menatapnya dengan linglung tetapi tidak berani bergerak. Tengku Ammar mengusap matanya sebentar lalu melepaskannya dan bertanya perlahan, "Ada kepanikan di matamu. Apa yang kamu takutkan?" Ratih meratap dalam hatinya, Aku takut padamu! Mengapa kau mengulurkan tangan untuk menyentuhku tanpa alasan? Namun, dia tidak berani mengatakannya dengan lantang. Dia berkata dengan malu, "Tidak apa-apa, aku hanya berpikir... saat ini aku sedang tidak punya uang. Meskipun aku ingin membalas budimu, aku tidak bisa melunasinya sekarang." "Apa aku terlihat seperti orang miskin sekarang?" Tanya Tengku Ammar dengan dingin. "Eh, bukan itu maksudku." "Jadi maksudmu, kamu tidak ingin membalas budiku lagi?" tanya Tengku Ammar dengan nada mendesak. Ratih menundukkan kepalanya dan ingin menangis, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Dia benar-benar bingung sekarang sebenarnya lelaki ini sedang membicarakan tentang apa. Ratih akhirnya berkata, "Boss, Bagaimana jika aku mentraktirmu makan malam disini. Makanan ini tidak murah. Apakah itu cukup?" "Apa menurutmu kepolosanku hanya seharga makanan disini?” Mata tajam Tengku ammar menatap Ratih dengan tidak senang. “Malam itu, kamu memanfaatkanku sebagai penawar racun gratis. Kamu bahkan menggigit lenganku. Aku sudah bersusah payah menjaga kesucianku, tapi kamu menghancurkannya.” Ia berceramah panjang lebar. Ratih sangat malu hingga telinganya memerah. Membahas tentang betapa liarnya dia malam itu benar-benar adalah topic yang buruk. “Kalau begitu, apa yang harus saya lakukan untuk membayar hutang?” Ratih bertanya dengan wajah pasrah. Mengapa sebulan terakhir ini hidupnya begitu sial? Apa dia tanpa sadar pernah menginjak kuburan? Mata dalam Tengku Ammar menangkap ekspresi putus asa dari tatapan gadis di hadapannya. “Aku sangat puas malam itu.” Tengku Ammar tiba-tiba berkata dengan penuh emosi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD