"Halo, ada apa?"
Dia tidak menyangka Nyonya Aziz akan meneleponnya sebelum dia sempat menyelesaikan masalah.
Nyonya Aziz berkata dengan marah,
"Pulanglah malam ini. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."
Ratih bertanya-tanya apakah ini ada hubungannya dengan utangnya? Dia belum punya uang, gajinya masih akan dibayar bulan depan.
Ratih menolak,
"Aku sangat sibuk. Aku tidak punya waktu." Penyesuaian di kantor baru sedikit melelahkan. Menjadi petugas kebersihan diruangan presdir bahkan lebih penuh tekanan. Segalanya harus tepat waktu dan bersih tanpa noda.
"Ratih, Apakah kamu sudah melupakan utang ibumu?" Nyonya Aziz mengancam.
Ratih menggertakkan giginya dan berkata,
"Jangan selalu mengancamku dengan hal ini. Aku akan membayar biaya pengobatan ibuku segera."
"Lalu kamu tidak menginginkan passport itu lagi?"
"Tentu saja aku menginginkannya."
"Hmph, kalau kamu mau, pulang saja. Kalau tidak, terserah kamu." Nyonya Aziz berkata dan menutup telepon.
Diruang tamu keluarga Aziz Sam, Mariam menangis dan berkata,
"Ibu, kami hanya melangsungkan pernikahan. Kami bahkan tidak mendapatkan surat nikah. Jika dia ingin menceraikanku, dia bahkan tidak perlu memberitahuku. Dia cukup mengumumkannya di koran. Setelah menikah dia makin lama makin dingin padaku. Aku benar-benar takut dia akan menceraikanku."
Tuan Aziz Sam berkata dengan marah,
"Kita seharusnya mendapatkan surat nikah terlebih dahulu, baru melangsungkan pernikahan. Jika mereka benar-benar bercerai, kita bahkan tidak akan mendapatkan bagian dari harta warisan."
"Bu, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah dia tidak bisa menceraikanku," kata Mariam dengan cemas.
Tuan Aziz Sam berkata dengan marah,
"Aku juga sudah berbicara dengan ibu Abdul tentang masalah ini, tetapi wanita tua itu tidak mau mengalah. Dia juga tidak mau membiarkanmu tinggal bersama keluarga Wan. Kurasa dia jelas tidak setuju dengan pernikahan ini. Tapi apa sebenarnya yang salah? Bukankah semuanya baik-baik saja ketika mereka membicarakan pernikahan? Mengapa setelah pernikahan, seluruh keluarga mereka tampaknya telah berubah?”
"Ayah, apakah menurutmu itu karena Abdul masih belum bisa melupakan wanita jalang itu?" Mariam mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi kebencian.
Tuan Aziz Sam mencibir dingin,
"Jangan khawatir. Keluarga Wan itu keluarga macam apa? Bagaimana mungkin mereka menerima wanita yang tidak bersih? Bahkan jika Abdul tidak bisa melepaskannya, Keluarga wan tidak akan pernah menerima wanita seperti itu."
"Tetapi …"
"Ibumu sudah meneleponnya dan memintanya untuk pulang malam ini. Kamu juga harus segera menelepon Abdul." Mata Tuan Aziz Sam dipenuhi dengan kekejaman.
Ratih mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Setelah sekian hari, dia kembali lagi ke tempat yang dia benci ini.
Mariam-lah yang membukakan pintu. Begitu melihatnya, dia melompat kegirangan dan berkata,
"Akhirnya kau kembali. Aku sangat merindukanmu."
Ratih menghindarinya dengan jijik,
"Kamu tidak perlu bersikap munafik seperti itu. Apakah Abdul ada di sini? Tidakkah kamu merasa lelah mengenakan topeng munafik seperti itu sepanjang hari?”
"apa yang kau bicarakan? Terlepas dari apakah Abdul ada di sini atau tidak, aku akan memperlakukanmu sama saja." Mariam sangat bermuka tebal sehingga dia tidak bergeming sama sekali karena sarkasmenya.
Ratih meremehkannya. Dia hanya tahu bahwa Nyonya Aziz yang berkulit tebal dan tidak tahu malu. Dia tidak menyangka Mariam bahkan lebih buruk. Seperti Ibu, seperti anak.
“Apa yang kamu inginkan?” Tanya Ratih tak lagi membuang kata-kata.
Nyonya Aziz menghela napas.
“Bantu aku untuk membujuk Abdul agar segera mendaftarkan pernikahan di catatan sipil.” Ujarnya tanpa malu-malu.
“Mengapa harus aku?” Ratih mendelik kaget.
“Karena jika kamu yang bicara, abdul akan mendengarkannya.” Jawab Nyonya Aziz dengan wajah muram.
“Dia bahkan sudah mencampakkanku, bagaimana dia bisa mendengarku?” Bantah Risya tidak senang. Sebisa mungkin ia tidak ingin lagi bertemu lelaki itu. Rasanya ada bagian kekecewaan yang tidak bisa di hapus dari sana.
“Aku tidak peduli dengan alasanmu. Passportmu ada disini. Jika kamu tidak menyelesaikan tugas terakhir ini, aku tidak akan mengembalikannya.” Jawab Nyonya aziz dengan keras kepala.
Ratih menggertakkan gigi dengan kesal. Sungguh sial bisa bertemu majikan kejam seperti ini dan terjerat dengan mereka. Sekarang, bahkan untuk mencari pekerjaan dengan posisi yang lebih baik pun dia kesulitan. Passportnya di tahan orang-orang ini. Melaporkan ke kedutaan juga percuma, mereka pasti akan menggunakan alasan hutang untuk menekan pihak lain.
"Kamu sudah di sini. Abdul akan segera datang. Jangan lupa bicarakan itu." Nyonya Aziz keluar dan berkata.
“Di mana passportnya?” tanya Ratih.
"Tentu saja aku akan memberikannya kepadamu setelah aku menyelesaikan tugas ini." Nyonya Aziz tidak bodoh.
Saat mereka sedang berbicara, terdengar ketukan di pintu. Abdul telah tiba.
Ketika Ratih dan Abdul bertemu lagi, mereka ternyata tidak lagi memiliki dendam satu sama lain.
Anehnya, Ratih dulu sangat mencintainya, sehingga dia pikir dia tidak akan bisa hidup tanpa pria ini. Sekarang setelah mereka bertemu lagi, hatinya menjadi tenang tanpa gelombang apa pun.
“Ratih, mengapa kamu ada di sini?” Abdul bertanya dengan suara rendah.
Ketika Mariam melihat cara bicara Abdul pada Ratih, dia tidak bisa menahan rasa cemburu. Dia ingin bergegas dan mencabik-cabik wajah Ratih.
Namun, ibunya telah memperingatkannya untuk tidak bersikap impulsif.
"Dia kembali untuk mengambil passport."
"Apa kamu akan segera pulang?” Tanya Abdul dengan sedikit kesedihan di matanya.
Bahkan jika dia tidak mengatakannya, Mariam dengan mudah dapat menebaknya.
Benar saja, Mariam langsung berkata,
"Abdul, sudah larut malam. Tolong antar dia. Tidak aman jika dia pulang sendirian.” Abdul terkejut dan menatapnya dengan tak percaya. Mengapa orang-orang ini mendorong Ratih padanya?
Mariam segera menarik Ratih sambil tersenyum dan berkata genit,
"Aiya, katakan saja ya. Bukankah hatimu saat ini sedang berdebar-debar?"
Medengar itu Ratih ingin sekali membantah dan mencekik gadis ini, namun dia menahannya dengan susah payah.
"Baiklah, aku akan mengantarmu." Abdul melirik Ratih. Melihat bahwa dia tidak keberatan, dia pun setuju dengan suara rendah.
"Hati-hati di jalan." Mariam mengantar mereka pergi sambil tersenyum. Namun, saat mobil melaju pergi, senyumnya perlahan menghilang berubah menjadi tatapan membunuh.
Setelah Ratih masuk ke mobil, dia memberi tahu Abdul sebuah alamat.
Abdul mengantarnya dan mendapati bahwa lingkungan itu sebenarnya sudah sangat tua. Mobil pun tidak bisa masuk.
“Mengapa kamu tinggal di sini?” Abdul mengerutkan kening.
Ratih mencibir,
"Aku tidak seberuntung istrimu. Dia memiliki orang tua yang mencintainya diluar nalar. Aku harus mengandalkan diriku sendiri dan mengobati ibuku. Tempat ini sudah sangat bagus."
"Ratih, apakah kamu membenciku?" Abdul bertanya.
Ratih tersenyum pahit,
"Mengapa kamu masih menanyakan hal semacam ini sekarang? Apa gunanya?"
"Tapi aku benci diriku sendiri." Abdul berkata dengan sedih,
"Kamu tidak tahu betapa aku sangat menyayangimu. Ketika aku melihat bekas ciuman di tubuhmu, aku sama sekali tidak bisa mengendalikan emosiku. Itulah sebabnya aku … Kamu tidak berbohong padaku, kan? Kamu pasti punya kesulitan, tapi aku tidak mendengarkan penjelasanmu … "
“Abdul.” Ratih memotongnya dengan dingin dan berkata dengan kesal,
"Kamu sudah menikah. Jangan katakan apapun yang tidak berarti seperti itu. Itu sudah berlalu. Alasan mengapa aku memintamu untuk mengantarku hari ini adalah karena aku diminta oleh seseorang untuk membujukmu. Karena kamu telah menikah dengan Mariam, kamu harus segera mendapatkan surat nikah dari kantor catatan sipil! Tentu saja, saya tidak punya hak bicara dalam hal ini. Terserah Anda mau mendengarkan atau tidak.”
Setelah itu, Ratih membuka pintu dan keluar dari mobil.
"Ratih." Abdul memanggil dengan cemas.
Mata Ratih memerah dan dia terus berjalan maju dengan tegas.
Dia hampir berjalan memasuki permukiman secepat yang dia bisa. Matanya dipenuhi air mata, sehingga dia tidak dapat melihat jalan di depannya dengan jelas. Akibatnya, dia secara tidak sengaja menabrak dinding daging yang keras.