Kenyataan Pahit

1310 Words
Sebelum bayangan tubuh putranya benar-benar menghilang di ujung ruangan, Nyonya Widya bertanya dengan berseru, "Kamu mau ke mana? Apa kamu akan mengunjungi wanita sialan itu ke rumah sakit?!" "Aku tidak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib, karena menelantarkan istri sampai mati di rumah sakit!" "Cih! Sialan itu!" Nyonya Widya bergegas menyusul putranya keluar sambil tidak berhenti memaki. *** "Maaf, Tuan, pasien baru saja tertidur setelah minum obat. Kondisinya sedikit mulai membaik setelah melewati masa kritis yang begitu hebat." Seorang perawat yang berjaga di ruangan Vira, segera menerangkan tentang kondisi wanita itu. Akan tetapi jawaban yang disampaikan Yudha membuat perawat itu tercengang. "Aku tidak bertanya! Dan itu tidak penting bagiku. Aku datang hanya ingin memastikan jika dia memang belum mati!" "Mengapa Tuan berkata seperti itu? Bukankah Nyonya ini adalah—" "Ruangan ini terlalu bagus buat dia! Pindahkan pasien ini ke ruang perawatan kelas 3, bila perlu ke kelas 4 kalau ada." Nyonya Widya yang baru saja masuk langsung memotong perkataan perawat itu. Tentu saja hal itu semakin membuat perawat tersebut melongok tidak percaya. "Terbuat dari apa hati mereka ini? Mengapa begitu pedas sekali mulutnya?" Perawat bertanya dalam hati dengan heran. "Maaf Tuan, Nyonya, tapi untuk biaya perawatan pasien—" "Ini kartu nama saya. Kamu bisa telepon saya untuk masalah pembayaran." Yudha mengulurkan sebuah kartu nama kepada perawat tersebut. Setelah itu ia kembali berkata, "Suruh pasien ini pulang sendiri, kalau nanti dia sudah sembuh." "Jangan lupa, pindahkan ke kelas yang paling murah!" timpal Nyonya Widya penuh penekanan. Selesai berbicara, wanita paruh baya itu segera mengajak Yudha untuk meninggalkan ruangan tersebut. Perawat itu hanya bisa diam sambil melongok memandangi kepergian dua orang bermulut tajam itu. "Baru kali ini aku ketemu manusia seperti itu, orang lain yang bayar biaya pengobatan, kok mereka yang sibuk suruh pindah kelas," gumam perawat tersebut sembari melangkah keluar. Begitu pintu ditutup, Vira tiba-tiba membuka kedua matanya. Tidak ada yang tahu jika sejak tadi wanita itu tidaklah tertidur. Dia mendengarkan semua, bahkan sudut matanya telah basah karena air mata. *** Hampir satu bulan lamanya, Vira dirawat di rumah sakit. Selama itu pula, tidak ada dari pihak keluarganya yang datang menjenguk. Baik dari keluarga Pratama maupun dari keluarga Wiryawan. Hanya satu orang pria yang senantiasa menjenguknya setiap hari. Siapa lagi kalau bukan Adrian, orang yang telah menabraknya. "Kamu sudah mau pulang, tapi keluargamu tidak ada yang menjenguk sama sekali. Malang sekali nasibmu." Pria itu terus saja mengoceh sambil membantu Vira membereskan barang-barangnya. Jangan salah, selama Vira dirawat di rumah sakit Adrian lah yang mengurus semuanya. Termasuk membeli barang-barang yang dibutuhkan oleh Vira dan tentunya dia menyuruh perawat yang dia sewa untuk menemani Vira selama di rumah sakit. "Apa kamu juga akan pulang sendiri? Nggak ada yang menjemput?" "Aku tidak mengharap jemputan, karena aku bisa pulang sendiri," jawab Vira datar dengan wajah tanpa ekspresi. Adrian mengangguk-angguk seolah mengerti. Dia kemudian menoleh ke samping, melihat Vira sambil bertanya, "Apa mungkin kamu ini anak buangan? Sebab itu mereka tidak peduli kepadamu." Vira yang hendak memasukkan baju ke dalam tas langsung menghentikan gerakannya. Dia terdiam sejenak, matanya melihat ke bawah tanpa berkedip. Seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. "Kamu benar," jawabnya singkat. "Tapi aku bukan hanya anak buangan, aku juga istri yang tidak diinginkan dan menantu yang tidak dianggap." Wanita itu kembali memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. "Waduh!" Adrian terkejut. Ia lantas memutar tubuhnya ke arah lain sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Mengapa bisa seperti itu? Dalam hati ia berkata, "Pria gila mana yang tidak menginginkan istri secantik ini?" Adrian berdehem kecil, lalu kembali melihat wanita yang berdiri di sampingnya. "Lalu kamu akan pulang ke mana kalau begitu?" Adrian bertanya penasaran. Dia berharap jika Vira akan berkeluh kesah dan menangis di hadapannya, dengan begitu dia akan punya kesempatan untuk menarik simpati wanita itu. Sayangnya, sejak Vira sadar pasca operasi wanita itu sangat hemat berbicara. Dia akan menjawab jika ditanya, dan akan terus diam jika tidak ada yang mengajaknya berbicara. "Pulang ke rumahku sendiri." Mendengar jawaban Vira, Adrian pun mencoba menawarkan bantuan, meskipun ia tahu jika hasilnya bakalan di tolak, tapi mencoba itu lebih baik daripada tidak sama sekali. "Kalau begitu, bagaimana jika aku yang mengantarmu pulang?" "Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Vira menjawab tanpa pikir panjang. Adrian hanya bisa meringis, tidak tahu lagi harus berkata apa. Tapi, bukan Adrian namanya jika sampai kehabisan akal. "Malam itu saat aku menabrakmu, apa kamu baru saja pulang dari pesta? Melihat riasan dan juga penampilanmu seperti itu, aku sempat mengira jika kamu adalah wanita malam, maaf." Detik itu juga Adrian melihat perubahan di wajah Vira. Ekspresinya wajah yang tidak biasa. Dingin dan menakutkan. Dia mengira kalau wanita itu tersinggung dengan pertanyaannya. Tapi jawaban yang keluar dari mulut Vira justru membuat Adrian tercengang. "Justru sepertinya aku lebih rendah dibanding dengan wanita malam." Saat mengatakan itu wajah Vira terlihat sedih dan juga marah secara bersamaan. Adrian tertegun. Dia merasa jika wanita di sampingnya itu menyimpan sejuta kesedihan dan penderitaan di dalam hatinya. Adrian ingin kembali bertanya, namun saat melihat Vira menyusut air mata di sudut pipinya, tiba-tiba saja lidah pria itu menjadi kelu. *** Bruk! Vira meringis kesakitan sambil mengusap bokongnya yang baru saja mencium lantai dengan keras. Dia tidak sengaja menabrak seseorang di lorong rumah sakit, tapi karena kondisinya yang masih lemah akhirnya Vira sendiri yang terhempas ke belakang. "Kamu tidak apa-apa?" tanya seorang pria paruh baya yang tadi ditabrak oleh Vira. Orang tersebut tampak khawatir, ia lantas membungkuk sambil mengulurkan tangannya, membantu Vira yang hendak berdiri. "Saya tidak apa-apa, Om. Terima kasih. Maaf, saya tadi tidak sengaja menabrak Oom." Vira berucap lirih seraya menatap pria paruh baya yang berdiri di hadapannya. Saat pandangan mata mereka bertemu, pria paruh baya yang tidak lain adalah Tuan Hadinata itu terlihat mengerutkan alisnya. "Bola mata ini ... bentuknya, dan caranya menatap, mengapa sangat mirip sekali?" "Om!" Tuan Hadinata tersentak kaget ketika Vira memanggil sambil melambaikan tangan di depan wajahnya. "Oh, i-iya! Tidak apa-apa. Oom justru kuatir kamu yang kenapa-napa." Tuan Hadinata terlihat gugup saat berbicara. Namun, sejurus kemudian pria itu tersenyum ramah. "Apa kamu habis menjenguk orang tua atau saudaramu yang sakit?" Tuan Hadinata bertanya sambil diam-diam terus mengamati wajah Vira. "Wajahnya begitu tirus dan pucat, matanya sangat cekung dan sorot mata itu menyiratkan banyak penderitaan." "Enggak Oom, saya yang sakit dan sekarang mau pulang," jawab Vira dengan sopan. "Pulang sendiri?" Tuan Hadinata kembali bertanya sambil celingukkan ke sana kemari seperti sedang mencari sesuatu. Vira mengangguk lemah sambil mencoba tersenyum. "Saya sudah biasa sendiri Oom," katanya. Entah mengapa hati Tuan Hadinata terasa sedih mendengarnya. Apalagi melihat senyum terpaksa di wajah wanita itu. "Kalau begitu terima kasih Om, saya permisi." Vira mengucapkan kata pamit lalu buru-buru pergi dari hadapan Tuan Hadinata. "Oh, iya, hati-hati," ucap Tuan Hadinata memandangi kepergian Vira sampai bayangan tubuh wanita kurus itu menghilang di ujung lorong. Saat Tuan Hadinata hendak berbalik, seseorang sudah lebih dulu menepuk bahunya, membuat ia terkejut. "Lihatin apa sih, Paman?" Adrian bertanya sambil mengikuti arah pandangan Tuan Hadinata. "Bikin kaget saja kamu!" Tuan Hadinata terlihat kesal, kemudian dia bertanya, "Bagaimana? Apa wanita itu sudah dibolehkan pulang hari ini? Dia masih ada di kamarnya 'kan?" "Terlambat! Wanita itu sudah pulang duluan! Paman sih, kenapa baru sampai?" Wajah Tuan Hadinata terlihat sedikit kecewa mendengar jawaban Adrian. "Kenapa kamu nggak mengulur waktu menunggu sampai Paman datang?" Adrian membuang nafas kasar, lalu melihat pria yang berdiri di depannya. "Sudah kepanjangan mengulur waktunya Paman, sampai sudah kehabisan waktu," sahut Adrian seperti menahan geram. "Tapi aku yakin, aku kayak nggak asing sama mata dan sama cara wanita itu menatap. Tapi aku lupa itu mirip dengan siapa." Adrian mengusap-usap dagunya seperti orang yang sedang berpikir keras. "Ciri-ciri wanita itu?" Tuan Hadinata bertanya dengan tidak sabar. "Tinggi semampai, kurus kering, mata bulat dan sangat cekung, wajah tirus dan pucat, dia mem—" "Tunggu!" Tuan Hadinata memotong dengan cepat. "Apa dia memakai dress bunga-bunga di bawah lutut, dan membawa tas berwarna coklat?" "Nah! Itu Paman tahu!" "Habis ketemu tadi ya?" Haish!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD