Kritis

1312 Words
Vira semakin menunduk dalam. Tubuh kurus itu gemetar, air mata yang menetes menunjukkan kelemahan dan penderitaan yang tidak bisa di lukiskan dengan kata-kata. Melihat Vira hanya diam membisu, Nyonya Widya jadi kesal. Dia ingin wanita itu membalas perkataannya agar dia punya alasan untuk menyakiti tubuh wanita itu. "Kamu sekarang juga pergi ke kediaman keluarga Wiryawan! Katakan kepada mereka untuk datang dan meminta maaf kepada keluarga Pratama atas apa yang sudah kamu perbuat!" Vira yang mendengar terkejut, dengan spontan dia berkata, "Ibu tidak bisa meminta hal seperti! Ini tidak ada hubungannya dengan keluarga Wiryawan." Plak! Vira terhuyung. Sebuah tamparan kembali mendarat di pipinya. Tamparan yang begitu keras sampai telinganya terasa berdengung. Jangan ditanya seberapa merah pipinya saat ini. "Kamu pergi ke sana sekarang! Saya nggak peduli ini ada hubungannya dengan keluarga Wiryawan atau tidak!" Selesai berbicara, Nyonya Widya kemudian memanggil petugas keamanan, dia memberi perintah untuk menyeret Vira keluar dari rumah. "Bawa dia keluar dan tutup gerbangnya!" Petugas keamanan begitu patuh, meskipun sebenarnya mereka tidak tega melakukannya. Vira yang sudah lelah memilih diam, membiarkan dua petugas itu membawanya keluar. "Kamu baru boleh kembali jika keluarga Wiryawan sudah meminta maaf atas kesalahan yang kamu perbuat malam ini!" kata Nyonya Widya. Dia memandangi kepergian menantunya sambil tersenyum puas. Vira sudah tidak perduli dengan apa pun yang di katakan ibu mertuanya. Dia terus melangkah pergi meninggalkan rumah mewah itu. Menyusuri jalan raya yang mulai sepi. Dia berjalan seperti mayat hidup. Tidak punya arah tujuan, hanya mengikuti langkah kaki kemana akan pergi. Akan tetapi kesadarannya seketika kembali tatkala melihat seekor anak kucing yang hendak menyebrang jalan, sedang dari arah berlawanan sebuah mobil melaju dengan kencang. Tanpa pikir panjang Vira berlari ke tengah jalan menyelamatkan anak kucing tersebut. Sementara pengendara mobil yang sudah kehilangan kendali tidak mampu lagi menghentikan laju kendaraannya. Brak! Tubuh Vira terpental jauh sebelum akhirnya terhempas di atas aspal dengan tubuh bersimbah darah. *** "Korban kecelakaan, dokter! Pasien mengalami pendarahan di kepala!" "Siapkan ruang operasi! Sudah diketahui golongan darahnya?" "AB positif, dokter." Dokter terdiam sesaat sebelum kembali bertanya, "Stok di bank darah?" "Hanya ada satu kantong, dokter." "Hubungi walinya!" Malam itu, suasana UGD di salah satu rumah sakit swasta kembali terlihat sibuk. Setelah sebuah mobil ambulans menurunkan seorang korban terluka parah, perawat dan dokter jaga kembali dituntut bekerja secara profesional, di tengah rasa kantuk dan lelah yang mereka rasakan. Selanjutnya kesibukan dan ketegangan terjadi di ruang operasi. Pasien banyak kehilangan darah, sayangnya hanya ada satu kantong darah yang berhasil didapatkan. Kondisi pasien semakin kritis, kerja tim dokter tidak bisa maksimal oleh keterbatasan darah yang tersedia. "Pasien akan kehilangan kesempatan hidupnya jika tidak segera mendapatkan transfusi darah!" Dokter berbicara di sela-sela kesibukannya di meja operasi. "Penanggung jawab sementara pasien ini, sedang berusaha mencari di tempat lain, dokter," jawab seorang perawat menyembunyikan kecemasannya. "Kita butuh cepat! Kalau bisa sekarang juga!" "Dokter! Detak jantung pasien melemah!" "Siapkan alat pacu jantung!" Di saat tim dokter bekerja mati-matian untuk menyelamatkan nyawa pasien, di tempat lain seorang pria juga terlihat sedang sibuk menelfon ke sana kemari. "Aku tidak mau tahu! Dapatkan golongan darah itu sekarang juga!" Pria itu berteriak sebelum akhirnya mematikan sambungan teleponnya. Dari ujung lorong, tampak seorang pria paruh baya melangkah tergesa ke arahnya. Di belakang pria itu ada beberapa orang yang mengikuti dengan sikap waspada. Plak! "Aduh!" Pria itu mengaduh kesakitan, tatkala pria paruh baya yang baru datang memukul kepalanya dengan keras. "Kamu masih sehat begini, lalu apanya yang dioperasi?" Pria paruh baya itu bertanya sambil berkacak pinggang, menatap kesal pria bertubuh jangkung yang berdiri di hadapannya. Dia adalah Tuan Hadinata, salah satu orang paling berpengaruh di negeri ini. Dia tidak hanya kaya raya tapi juga dermawan. Sosoknya jarang tampil ke publik, juga kehidupan keluarganya pun tidak pernah diekspos, oleh sebab itu banyak orang yang tidak tahu tentang dirinya dan keluarganya. Bahkan saat dia keluar rumah pun jarang sekali orang yang mengenalinya. Sedang pria bertubuh jangkung yang berdiri di depan Tuan Hadinata adalah keponakannya yang bernama Adrian. "Paman pasti salah dengar, bukan aku yang dioperasi, tapi orang yang aku tabrak." "Apa?!" Tuan Hadinata berseru kaget. "Bagaimana bisa kamu menabrak orang saat mengendarai mobil? Apa kamu lalai saat mengemudi? Kamu menyetir sambil mabuk? Sambil bermain ponsel? Hah?!" Berbagai pertanyaan yang dilontarkan Tuan Hadinata membuat kepala Adrian semakin bertambah pusing. Pria itu mengacak rambutnya frustasi. Dengan wajah putus asa Adrian lalu bercerita, "Bukan seperti itu, Paman. Waktu itu malam sudah larut, jalanan pun sepi. Tapi tiba-tiba saja wanita itu muncul entah dari mana, dia berlari ke tengah jalan di saat aku melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Sudah pasti aku nggak bisa mengerem lagi." "Lalu buat apa kamu membawa mobil dengan kecepatan tinggi? Kamu pikir kamu itu punya stok nyawa lebih dari satu? Jadi kalau kamu mati bisa hidup lagi?" Adrian memutar bola mata ke atas mendengar perkataan pamannya. "Tanyakan saja itu pada putra kesayangan Paman, dia yang menyuruhku untuk cepat-cepat datang menjemputnya ke bandara," terang Adrian dengan wajah cemberut. Paman dan keponakan itu terus saja berdebat, tidak ada yang mau mengalah. Mereka baru berhenti saat seorang perawat datang menghampiri. "Tuan Adrian, pasien dalam keadaan kritis, dokter ingin berbicara empat mata dengan Anda." Tanpa banyak bicara Adrian segera menarik tangan sang Paman untuk mengikutinya bertemu dokter. Dia tidak peduli jika Tuan Hadinata terus mengoceh di belakangnya. Begitu tiba di ruangan dokter Erlangga, kehebohan kecil langsung terjadi. Ternyata dokter Erlangga dan Tuan Hadinata saling kenal, mereka dulu adalah teman kuliah. Selesai melepas rindu dan bertanya kabar satu sama lain, dokter Erlangga pun mulai menceritakan kondisi pasiennya saat ini. "Saya nggak mau tahu, Di, pokoknya keponakan kamu ini harus bisa mendapatkan donor darah sekarang juga, kalau enggak wanita itu akan kehilangan kesempatan hidup." Dokter Erlangga berkata dengan wajah serius, dia menatap dalam Adrian dan Tuan Hadinata bergantian. Tuan Hadinata memutar leher ke samping, dia melihat Adrian lalu bertanya, "Sudah sampai mana kamu mencari donor darah? Mengapa nggak dapet juga sampai sekarang?" Dengan spontan Adrian menjawab, "Saya sudah mencari sampai ke kutub utara, Paman, tapi anak buahku belum juga mendapatkan hasil." Plak! Tuan Hadinata kembali memukul kepala keponakannya dengan geram. "Kamu mencari apa sampai ke sana? Beruang kutub? Atau s**u beruang?" Adrian hanya meringis sambil mengusap-usap kepalanya yang habis kena tempeleng. Tuan Hadinata lalu membawa pandangannya ke arah dokter Erlangga. "Memangnya apa golongan darah pasien itu, Ngga?" tanya Tuan Hadinata. "AB plus." "Kamu sama saja, Ngga! Mengapa nggak bilang dari tadi?" Tuan Hadinata terlihat kesal. "Bilang apanya?" Tanya dokter Erlangga dengan wajah polos. "Golongan darahnya lah, apalagi?!" "Kan kamu nggak nanya!" kilah dokter Erlangga sambil tertawa cengengesan. Tuan Hadinata mendengus kesal, ia kemudian berkata, "Kamu ya, nggak ada berubahnya dari dulu. Ayo cepat! Segera ambil darahku. Jika sampai pasien kehilangan nyawanya, bukan keponakanku yang aku tuntut, tapi kamu!" Dokter Erlangga mencebik, lalu bangkit dari duduknya sambil mengomel. "Kamu juga nggak berubah, masih seperti dulu suka mengancam. Mentang-mentang horang kaya!" Sambil menahan tawa, Tuan Hadinata mengekor di belakang dokter Erlangga. Sebelum keluar dari pintu dia menoleh ke belakang lalu berkata kepada Adrian, "Cari tahu siapa wali dan keluarga wanita itu. Sampai Paman keluar dan kamu nggak mendapatkan informasinya, maka kamu yang akan menggantikan wanita itu di atas meja operasi." *** "Aargh! Mengapa nggak mati saja wanita sialan itu!" Nyonya Widya berteriak frustasi sambil melempar benda yang ada di sekitarnya. Yudha yang sedang duduk di sofa sambil memijit pelipisnya hanya bisa diam melihat kemarahan ibunya. Hari ini seseorang dari rumah sakit menelpon, mereka meminta pihak dari keluarga pasien atas nama El-Vira untuk segera datang. "Apa Ibu lupa, jika sampai wanita itu meninggal maka kita akan kehilangan sebagian harta kekayaan kita. Apa Ibu rela?" "Tentu saja nggak!" sahut Nyonya Widya dengan cepat. "Sepeser pun Ibu nggak akan rela memberikan harta keluarga Pratama kepada wanita pembawa sial itu!" Yudha membuang nafas kasar lalu melihat ke arah Ibunya yang masih setia berdiri di tengah ruangan. "Saat ini, nggak ada yang bisa kita lakukan selain bersabar menunggu sampai waktunya tiba." Setelah berkata demikian, Yudha bangkit dari duduknya lalu melangkah keluar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD