Sebuah Keputusan

1364 Words
Tanpa menggubris pertanyaan Adrian, Tuan Hadinata langsung berlari menuju ke parkiran. Dia celingukkan ke sana kemarin mencari sosok Vira, sayangnya wanita itu sudah pergi sejak tadi. "Cepat sekali perginya," gumam pria paruh baya itu kemudian kembali masuk ke dalam dengan wajah lesu. "Ketemu, Om?" Adrian langsung menyambut Tuan Hadinata dengan sebuah pertanyaan. Pria paruh baya itu menggeleng lemah lantas berjalan menuju ruangan dokter Erlangga. *** "Nona Vira!" Wanita yang sedang asyik merenung di bangku taman itu terkejut. Dia mendengar suara kepala pelayan. Dan begitu menoleh, sosok mantan kepala pelayan yang bernama Astri sudah berdiri di belakangnya sambil tersenyum menatap ke arahnya. "Astri?" Vira tampak senang, begitu juga dengan Astri. Mantan kepala pelayan itu memutari kursi, kemudian berdiri di hadapan Vira. "Lihatlah! Nona semakin terlihat kurus dan pucat." "Apa Nona sedang jalan-jalan di sekitar sini?" Pandangan Astri lantas tertuju pada tas coklat yang tergeletak di samping Vira. "Jangan bilang kalau ...." Astri menatap dalam wajah Vira dengan penuh tanda tanya. "Kamu nggak usah mikir yang macam-macam. Aku baru saja keluar dari rumah sakit dan akan pulang ke rumah." "Dari rumah sakit?" Astrid nampak terkejut sekaligus cemas. "Nona sakit apa? Apa wanita kejam itu memukuli Nona sampai harus dilarikan ke rumah sakit?" tanyanya. Vira menggeleng lemah. "Nggak seperti itu." Cerita pun meluncur dari mulut Vira, bagaimana ia dijebak dan berakhir menanggung malu, sampai akhirnya dia mengalami kecelakaan dan terbaring di rumah sakit seorang diri. "Mereka benar-benar keterlaluan!" Astri meninju telapak tangannya sendiri karena merasa sangat marah mendengar cerita Vira. "Saya yakin pasti wanita sihir itu sudah bekerja sama dengan Jeslyn untuk mempermalukan Anda, Nona!" "Aku juga berpikir demikian," sahut Vira lirih. "Apa Nona masih akan pulang ke rumah itu lagi?" Astri berharap Vira akan berkata 'Tidak' sebagai jawabannya. "Iya. Aku harus menyelesaikan semuanya. Aku harus mengakhiri semua ini." Jawaban tidak terduga itu membuat Astri tercengang. "Maksud Nona?" Bukannya menjawab, Vira justru meminta Astri untuk duduk di sampingnya. Begitu Astri duduk, wanita itu langsung berkata, "Astri, aku ingat dulu kamu ada bilang soal rahasia." Astri pun langsung mengangguk dan dan menjawab, "Iya! Saya ada bilang begitu dan karena itulah saya dipecat dan diusir oleh wanita sihir itu dan Tuan Yudha." Vira terkesiap. Tentu saja ia merasa sangat terkejut karena apa yang disampaikan oleh Astri sangat berbeda dengan apa yang ia dengar dari para pelayan di rumah. Kalau Astri sampai dipecat karna masalah itu, berarti itu bukanlah sembarang rahasia. "Rahasia apa yang kamu maksud Astri? Apa kamu bisa cerita ke saya sekarang?" Vira bertanya dengan tenang, meskipun ia sangat penasaran. Astri tampak menghela nafas panjang. Ia kemudian merapatkan tubuhnya ke arah Vira, mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu seolah-olah takut jika akan ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Tahu tidak, Nona itu mendapat warisan dari mendiang tuan Surya yakni sebagian harta kekayaan keluarga Pratama. Dan itu adalah salah satu sebab mengapa nyonya Widya dan tuan Yudha begitu membenci Anda." "A-apa katamu?!" *** "Cih! Mereka pikir aku ini menginginkan harta keluarga Pratama, bahkan sepeser pun aku tidak tertarik untuk mengambilnya!" "Andai mereka mau berterus terang, aku akan dengan senang hati memberikannya. Tidak perlu menyakiti dan menyiksaku. Jika bukan mendiang ayah Surya yang memintaku untuk tetap bertahan dan terus bersabar di penghujung hidup beliau, aku juga tidak mau mengorbankan hidupku hanya untuk disiksa dan disakiti oleh mereka." "Dua tahun aku tertipu! Tertipu oleh cinta dan sikap manis mas Yudha kepadaku, sampai akhirnya aku terjebak dan memilih mengorbankan hidupku demi lelaki itu." Vira masih terus meluapkan isi hati dan kemarahannya di hadapan Astri, setelah mengetahui fakta yang sebenarnya. "Dari awal mereka sudah tidak menyukai Nona. Rasa tidak suka itu berubah menjadi benci dan dendam, setelah tahu jika mendiang Tuan Surya juga memberikan sebagian kekayaannya kepada Anda." Astri kembali menjelaskan. Vira mendengus kasar. Ia kemudian mendongak, menatap langit yang mulai di selimuti awan gelap. "Sepertinya akan turun hujan sebentar lagi," gumam Vira dengan tatapan menerawang. "Ada mendung belum tentu hujan akan turun," komentar Astri ikut melihat ke atas. "Apa rencana Nona selanjutnya? Apa akan tetap bertahan di rumah itu hingga 5 tahun ke depan?" Vira langsung menoleh ke arah Astri. "Setelah mengetahui yang sebenarnya, apa menurutmu aku masih harus bersikap bodoh?" "Tentu saja tidak!" sahut Astri cepat. "Sudah aku katakan, aku akan tetap pulang ke rumah itu, tapi bukan untuk membuat diriku disiksa, melainkan untuk menyelesaikan semuanya." "Apa Nona akan merelakan cinta itu?" Astri menatap dalam wanita di sampingnya. Dia tahu betul jika Vira sangat mencintai Yudha. Cinta yang begitu hebat dan tulus. "Masihkan cintanya pantas untuk aku perjuangkan?" Astri terdiam. Dia tidak ingin mengatakan apapun. Dia yakin jika Vira pasti bisa mengambil keputusan terbaik. "Astri, aku lapar. Apa kamu memiliki uang untuk sekedar membeli nasi bungkus?" Astri terhenyak. Hatinya terasa sakit mendengar Nonanya berkata lapar. Dia pun segera bangkit dan berkata kepada Vira, " Nona tunggu di sini, aku akan membelikan makanan kesukaan Nona. Sebentar, tidak akan lama." Selesai berkata Astri pun segera pergi berlari meninggalkan taman tersebut. Vira tersenyum sambil memandangi kepergian Astri yang semakin menjauh. Dalam hati dia merasa sangat bersyukur karena masih ada orang yang peduli dan kasihan kepadanya. Tes! Vira tersentak saat merasakan cairan hangat keluar dari hidungnya dan menetes melewati bibir kemudian jatuh di atas pahanya. "Darah? Tidak! Jangan sekarang Tuhan!" Vira panik. Dia segera meraih apapun di dekatnya untuk menyumbat darah yang terus mengalir deras dari lubang hidungnya. Bersama dengan itu pandangannya mulai terasa mengabur, untuk selanjutnya Vira merasa keadaan di sekitarnya berubah menjadi gelap. *** "Cari tahu tentang keluarga Wiryawan dan keluarga Pratama! Cari tahu sampai ke akar-akarnya! Aku ingin kamu mendapatkan informasi itu dalam 24 jam!" titah Tuan Hadinata pada seorang pria yang berdiri tegap di depannya. "Baik, Tuan! Saya pastikan sebelum 24 jam saya sudah mendapatkan informasi itu." Hiro, orang kepercayaan tuan Hadinata menjawab dengan tegas dan penuh keyakinan. Tuan Hadinata menggangguk kemudian berkata, "Kalau begitu kamu boleh pergi, jangan lupa perintahkan Adrian untuk segera datang kemari." "Baik, Tuan!" sahut Hiro sembari membungkuk, kemudian bergegas pergi. Begitu mobil yang dikemudikan Hiro meninggalkan halaman, seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah dokter Erlangga, tampak keluar dari rumah. Pria itu menghampiri Tuan Hadinata yang masih berdiri mematung di tempatnya. "Sebentar lagi wanita itu akan sadarkan diri, kamu tidak perlu kuatir. Kondisinya pasca operasi belum sepenuhnya normal, tapi dia sudah mengalami stress berlebihan sampai mimisan." Tuan Hadinata menoleh melihat dokter Erlangga yang sudah berdiri di sampingnya. "Aku yakin dengan kata hatiku, Ngga. Apalagi setelah melihat tanda lahir di punggung wanita itu." "Kata hati dan tanda lahir saja nggak cukup! Setidaknya kamu harus melakukan tes DNA!" sahut dokter Erlangga menanggapi perkataan sahabatnya. Dengan cepat Tuan Hadinata menjawab, "Kalau begitu lakukan tes DNA secepatnya!" "Kalau begitu aku akan meminta dokter lain untuk melakukannya. Aku sendiri nggak bisa, karena sore nanti aku harus terbang ke kota Makassar untuk meninjau lahan bakal rumah sakit baru sekaligus negosiasi harga," ucap dokter Erlangga dengan santai. "Sudah, kamu nggak perlu datang meninjau atau negosiasi harga apalah! Kamu tinggal bangun saja rumah sakit di situ! Aku nggak mau dokter lain yang menangani masalah ini, aku cuma mau kamu yang menanganinya!" Mendengar itu dokter Erlangga langsung membalas, "Kalau Tuan Hadinata sudah berkata demikian, aku bisa apa?" Dia kemudian mengambil sesuatu dari dalam kantong jasnya, tanpa pikir panjang dokter Erlangga memotong sedikit rambut Tuan Hadinata, lalu meraih tangan pria itu dan memotong ujung kukunya. "Ini hanya sebagai alat pelengkap, karena aku masih menyimpan sampel darah kamu yang bisa aku gunakan." dokter Erlangga kemudian menyimpan potongan rambut dan kuku itu ke dalam wadah kecil, lalu memasukkannya ke dalam saku jas nya. Tuan Hadinata hanya bisa memutar bola mata ke atas melihat aksi temannya. "Aku yakin kamu pasti sudah menyiapkan rencana ini dari awal," tebaknya. "Menghadapi orang kaya pelit macam kamu itu harus pandai-pandai mengatur siasat, Di, biar bisa mengambil sedikit keuntungan." sahut dokter Erlangga sambil tertawa lebar. "Ck! Dasar kamu ya! Istri saja aku kasih kamu gratis, masih bisa kamu mengataiku pelit," ujar Tuan Hadinata yang sontak membuat dokter Erlangga tertawa terbahak. "Kalau begitu segeralah masuk, wanita itu mungkin sudah sadarkan diri. Aku akan segera pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes DNA," ujar dokter Erlangga kemudian melangkah pergi meninggalkan Tuan Hadinata. "Kabari aku secepatnya, Ngga!" teriak Tuan Hadinata sebelum sahabatnya itu masuk ke dalam mobil. Dokter Erlangga segera mengangkat jempol ke atas sebagai tanda oke.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD