“Apa? Menikah?”
Semua orang yang berada di ruang tamu kaget dengan pernyataan Elang yang mengatakan akan menikah dengan Liana. Tak hanya itu saja, sebenarnya kedatangan mereka berdua dalam keadaan berlumpur sudah membuat mereka mengerut alis.
“Iya, kami akan menikah,” jawab Elang pasti, sedangkan Liana hanya diam saja. Bingung mau jawab apa karena terlalu syok.
“Alhamdulillah.” Orangtua Liana dan orangtua dari Elang mengucap hamdalah. Senang bukan main, ini adalah harapan mereka dari dulu—anak sold out.
Mami Eva merupakan bestie-nya Sabila dan Nabila, sehingga tak asing lagi. Makanya ketika mendengar kabar itu langsung tersenyum bahagia. Harapan berbesan terwujud sudah. Dulu rencananya ingin menikahkan salah satu dari anak mereka, hanya saja jika keluarga Sabila hanya Nada perempuan yang belum nikah dan masih kecil, sedangkan Nabila adanya hanya dua, Liana dan Cakra, sungkan untuk menjodohkan mereka karena perbedaan usia.
“Akhirnya kita jadi besan juga.” Mami Eva dan Nabila saling berpelukan ria.
“Sekarang mari kita atur tanggal pernikahan,” ucap Nabila sangat antusias. “Tapi sebaiknya untuk kalian berdua mandi saja dulu.”
Liana melangkah ke kamarnya. Mengunci pintu kemudian berjalan ke kamar mandi. Sebagian tubuhnya sudah berlumuran lumpur hingga dia harus keramas.
Masih membayangkan akan seperti apa pernikahan yang akan digelar nanti? Kenapa sedikitpun tak ada dalam pikirannya selama ini? Hidup dipenuhi dengan kecintaan terhadap pekerjaan yang sedang ditekuni ini membuatnya seolah lupa memikirkan hal apa yang harus dimulai ketika sudah akad nanti.
“Aaa ah, kenapa juga gue harus mikirin dia lempar gue ke atas kasur?” keluhnya lagi-lagi mimpi tiga hari yang lalu mengisahkan perjalanan pernikahan yang harus diambil.
“Pokoknya gue harus bikin hitam di atas putih. Ini pernikahan tanpa cinta, kalau sampai terjadi sesuatu yang dirugikan itu pihak perempuan bukan laki-laki.”
Liana sudah bertekad usai keputusan dari orangtua mengenai pernikahan, dia akan berbicara dengan Elang mengenai point apa saja yang diperbolehkan dan dilarang selama berumahtangga dan berapa lama tempo waktu yang dihabiskan.
“Terlepas dari apapun yang menyebabkan hingga kalian bisa memutuskan untuk menikah, tapi ketahuilah, pernikahan dengan tujuan cerai itu dosa.”
Bagai di sekakmat, Liana dan Elang membungkam.
“Sebelum kalian memutuskan untuk menikah, Om harus memberi sedikit bimbingan, terkhusus untuk Elang.”
Elang menoleh pada Zayyan. Jantungnya sudah dag-dig-dug. Benar-benar tak nyaman dengan apa yang ingin disampaikan pria religius itu.
“Kekuasaan tertinggi dalam pernikahan ada di lisan suami. Perhatikan lisanmu saat berbicara pada istri! Ada ucapan yang bisa menjatuhkan talak selain mengucapkan talak, cerai atau pisah, seperti aku sudah tidak butuh kamu lagi, aku melepaskanmu, pulang saja kamu ke rumah orangtuamu, atau setelah tiga bulan ke depan saya akan menceraikanmu.”
Lagi, keduanya seperti tersambar petir di siang bolong. Ucapan Zayyan benar-benar menusuk d**a mereka.
“Terus gimana dong, Om?”
“Jangan khawatir! Itu jatuhnya hanya talak satu, artinya kalian masih bisa rujuk lagi. Tinggal katakan pada istri aku ingin rujuk, kembali melakukan hubungan suami istri maka sudah dianggap suami istri lagi.”
Elang mengangguk paham.
“Tapi ingat, jika talak saja diucap secara lisan, pastikan rujuk juga harus secara lisan! Tidak boleh membatin!”
Elang lagi-lagi mengangguk paham.
“Dan untukmu, Liana, pasti sudah tau kan bahwa kekuasaan tertinggi dalam rumahtangga itu suami?”
Liana mengangguk lemas.
“Bagus. Ingat, segala ucapan suami itu perintah dan wajib dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum Allah!”
Nasehat sebelum pernikahan memang tepat untuk disampaikan. Bukan bermaksud meragukan, tapi ada setitik kegundahan di hati Zayyan jika dia tak menyampaikan itu pada mereka, mengingat mereka begitu cepat memutuskan untuk menikah.
Kesepakatan telah diputuskan oleh kedua belah pihak. Tak ada lagi lamaran resmi karena akan memakan waktu dan membuat mereka berubah pikiran. Dengan itu pernikahan pun akan digelar 1 bulan dari sekarang.
Sebulan bukanlah waktu yang lama, terasa singkat oleh pikiran yang kisruh. Tetap dalam mode pasrah, untungnya Liana tak terlalu stres karena masih bisa terhibur oleh ketiga bayi kembar yang kini sudah memiliki nama yang tertera di KK. Rencananya akan memberi nama ketika 7 hari kelahiran sekalian aqiqah, tapi untuk menyelesaikan administrasi dan lain sebagainya, dibutuhkan KK baru yang sudah terisi ketiga nama anggota baru.
Rafan memberi nama Anis Pratama Fahrezi, Bardan Dwi Fahrezi dan Chairul Pandhadha Fahrezi, sesuai dengan nomor urut. Tapi tetap nama panggilan ABC.
“Santai banget lo jadi bapak?” Liana melihat Rafan begitu santai menikmati momennya sebagai seorang ayah. Tak seribet dengan apa yang dia pikirkan.
“Ngapain ribet, kan ada kalian yang urus anak-anak gua.” Itu benar adanya. Untuk mengurus anak ada ibu, mertua, Nabila, Liana, Mbok Nana dan semua orang ikut membantu. Hingga Rafan terlihat santai, paling hanya menyapa saja.
Selain itu, mereka tidur pisah. Rafan tidur di kamar Malik karena percuma jika tidur bersama dengan Luna, selain tak bisa menuntut haknya, juga tak bisa mengurus bayi jika menangis di malam hari karena popoknya basah dan juga kehausan.
“Hei, kalian berdua, sini!” Luna melambaikan tangan pada Rafan dan Liana yang segera mendekat.
“Ada apa?”
“Bisa tolong tambahkan nasi lagi? Aku lapar.”
“Gak boleh makan terlalu banyak nasi. Nanti gendut,” ujar Liana sesuai dengan apa yang dikatakan Sabila.
Ibu melahirkan tidak diizinkan makan terlalu banyak nasi. Semuanya sudah ditakar, hanya diperbolehkan makan sayuran, terlebih daun katuk untuk menambah asi. Ikan gabus dan bebek panggang untuk mempercepat penyembuhan luka dan untuk cemilan putih telur.
“Kalian gak kasihan apa sama aku? Masa aku cuma makan nasi sekepal? Terus ini, semuanya serba di goreng dan direbus. Ayolah, tambahkan nasi sama sedikit sambal.” Luna merayu tapi tetap Liana menggelengkan kepala.
“Tambah nasi aja. Kalau sambal takut ABC mencret.” Rafan membawa piriing kosong itu ke dapur. Dia tuangkan nasi satu centong, lauk dan sayur, kemudian membawa ke kamar.
“Ya ampun, makasih suamiku.” Senang bukan main. Luna segera menyantapnya.
“Kalau ketahuan tante Sabila gue gak tanggungjawab,” ujar Liana.
“Ada apa ini?” Yang terbesit dalam hati malah muncul. “Loh, Luna, kenapa kamu makan nasi lagi?”
“Kasihan, Mom. Dia lapar.”
“Kalau lapar makan buah, asal jangan pisang, bisa bernanah, bisa juga makan ikan gabus, atau sayur. Tapi jangan nasi gini! Kasihan nanti badanmu melar. Ini juga, minum pun banyak sekali. Meskipun dibutuhkan oleh tubuh, tapi cara minumnya sedikit demi sedikit, jangan sekali teguk satu liter habis!” omel Sabila, tapi tak menghentikan Luna untuk menghabiskan sisa nasi dalam piringnya itu.
“Kenapa ribet banget sih, Tan? Bukannya gak ada asi ya kalau diet?”
“Gak ada nasi kalau tidak makan. Tapi ini makan, hanya nasi yang dikurangi, lebih banyak makan sayuran dan ikan. Konsep makan untuk ibu menyusui agar body tetap terjaga seperti Tante itu rumahnya, sering makan tapi porsi dikit.”
Padahal dulu Sabila paling cerewet selepas melahirkan semuanya ditakar. Ingin makan pedas tak diizinkan, berlemak apalagi. Karena full asi, jadinya benar-benar harus dijaga setiap asupan si ibu demi kesehatan bayi. Dan sekarang ketika dia sudah jadi nenek, barulah diomeli menantunya.
“Kalau aku gendut gimana?” Luna menoleh pada suaminya.
“Kita bawa ke tukang tambal ban, bisa dikempesin,” jawab Rafan asal-asalan langsung di jewer telinganya oleh sang ibu.
“Sudah jadi ayah, jangan suka asal ngomong!”
“Canda, Mom.”
Sementara itu, Liana membisu, memikirkan tentang dia pernikahannya nanti akan seperti apa?
“Fan, kita nikah aja yuk!”
“Apa?” Semua orang terperanjat dengan ucapan Liana yang mendadak itu.