Bab 4

1785 Words
“Kami gak melakukan apa-apa.” Liana mendorong tubuh Elang hingga terjatuh ke dalam lumpur. Dia bangun menatap kedua petani yang sedang memindainya. “Kalian sudah melakukan perbuatan yang mengotori kampung ini. Apalagi padi-padi saya teh jadi mati.” Mereka ikut menatap padi yang sudah tumbang karena tak sanggup menahan bobot badan Liana dan Elang. “Maafkan kami. Ini musibah,” kata Elang. “Musibah apa teh kalian berdua berzina.” Tuduhan yang sangat akurat di mata para petani karena mereka melihat sendiri bagaimana tangan Elang salah memegang bagian tubuh Liana. “Jangan su’udzon! Dosa.” Sama sekali tak digubris. Para petani malah mengajak berteriak mereka melakukan tindak asusila hingga warga yang berada di sekitar ikut mendekat karena rasa penasaran. “Mampus, malah terseret ke mana-mana ni.” Liana mengusap gusar wajahnya saat tak bisa menghentikan tindak warga yang datang berbondong-bondong. “Seret mereka ke balai desa! Biar di sidang.” Pasrah, Liana dan Elang membiarkan tubuh mereka diseret ke balai desa. Mungkin di sana lebih gampang untuk menyelesaikan masalah daripada di sawah karena padi pun ikut tumbang dan semakin membuat para petani marah. “Ini ada apa?” tanya Pak RW melihat Lurah diseret dengan saudaranya RT 01. Itu yang diketahui tentang Elang dan Liana. “Mereka teh berzina di sawah, Pak RW.” Petani yang menciduk mereka memberi penjelasan. “Apa benar?” Pak RW terlihat meragukan ucapan salah satu warganya. “Benar, saya melihat sendiri mereka berduaan sampai pegang ini.” Mempraktikkan tangan memegang bagian d**a, lantas membuat Liana menunduk malu. “Wah, Pak Lurah diam-diam seperti itu ya.” Mulai terjadi bisikan-bisikan yang memandang Elang rendah. Jelas tak bisa diterima. Elang harus memberi pengakuan secara logika agar semua warga dapat percaya padanya. “Sekarang dengarkan saya! Saya akan menjelaskan kronologinya.” Semua orang diam mendengar apa yang disampaikan Elang. Untung warga di kelurahan Cibobrok tidak rusuh. “Coba kalian pikirkan saja, jika kami berbuat asusila, apakah mungkin tubuh kami sampai kotor seperti ini?” Mereka bergeming, mulai menelaah apa yang terjadi. “Tapi kan bisa saja. Itu si Kiki m***m di semak-semak,” sahut salah satu dari mereka. “Itu bodohnya, gak takut senjatanya digigit semut,” ujar Elang sontak membuat semua orang tertawa dan Kiki pun gegas pergi sebelum disidang. “Daripada melakukan tindak asusila di sawah yang terbuka dan berlumpur, orang-orang pun akan mikir untuk melakukan di tempat yang tertutup agar tidak ketahuan. Jika tuduhan kalian itu benar adanya, berarti kami cari mati.” Elang kembali menjelaskan sesuai dengan logika dan sebagian dari mereka terpengaruh. “Lalu kenapa kalian ke sawah?” tanya salah satu dari mereka. “Saya kan lurah,” jawab Elang dengan pasti. “Aku penasaran dengan sawah. Di kota gak ada sawah.” Liana memberi alasan yang logis. “Tapi kenapa harus berdua?” Kembali mereka menginterogasi. “Itu … sebenarnya kami sudah bertunangan.” “Hei, apa-apaan lo ngomong kayak gitu?” Liana menatap tajam. “Diam, biar gua yang urus semua ini,” bisik Elang, lalu kembali menatap orang yang menginterogasinya. Tak ada alasan pasti yang terlintas dalam pikiran selain kata tunangan. Jika dia mengaku tak sengaja bertemu malah semakin panjang dan semakin menyeret ke ranah lain, yang pasti masalah tak akan selesai begitu saja. “Kami sedang ingin mencari view yang bagus untuk melakukan foto prewedding dan salah satunya itu sawah. Apalagi padinya menghijau seperti rumput, indah sekali untuk di foto. Mencerminkan nuansa alam yang masih asri. Tapi saat kami sedang berjalan, Liana malah terpeleset, spontan saja terjadi sampai kami saling berjatuhan. Tapi yang terlihat di mata para petani ini malah berbeda dengan realita yang ada. Andai ada CCTV pasti menunjukkan bahwa kami tidak berbohong. Sayangnya kita harus tanya pada malaikat yang melihat tadi.” “Kenapa jadi bawa nama malaikat saat kita berbohong?” protes Liana. “Diam!” Elang kembali menjelaskan sesuai dengan pertanyaan dari Pak RW dan para petani. Tanpa disadari seorang wartawan tanpa gaji ada di sana. Kang Deni segera memotret mereka dan melaporkan pada Rafan. “Astagfirullah.” Rafan terkejut, semua orang menatap dirinya penuh tanya. “Aku izin ke balai desa dulu. Ada urusan yang harus diselesaikan.” Rafan tak ingin membocorkan berita yang belum pasti itu kepada semua orang yang ada di rumah. Apalagi orangtuanya Elang ada di sana. Dia pergi sendiri ke balai desa untuk memastikan kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. “Nah, kebetulan Pak RT kita datang.” Mereka menatap Rafan. Pak RW mendekat dan menjelaskan semua kronologinya pada Rafan sebelum memberi keputusan. “Setelah saya mendengarkan kronologinya memang ini sebuah kecelakaan. Tapi karena mereka mengaku bertunangan, kenapa tidak di segera nikahkan saja,” ujar Rafan menarik benang merah yang menguntungkan dirinya, tapi malah membuat Elang dan Liana tersentak. “Rafan, lo bela gue dong, kenapa jadi ikutan nyeret gue?” protes Liana menolak keras ide konyol itu. Disangka dengan kedatangan Rafan bisa memperkuat argumen Elang, tapi malah menyesatkan. “Demi nama baik kalian berdua. Apalagi kamu sudah disentuh oleh Lurah kita yang satu ini. Akan jadi perbincangan negatif nantinya.” Rafan berbicara sok bijak dengan menekankan kata lurah. “Ini cuma musibah dan itu gak masalah.” Liana tetap pada pendiriannya. “Mungkin bagi kamu, tapi bagaimana dengan Pak Lurah sendiri? Orang-orang di sini menjadi saksi atas musibah itu terjadi dan terlebih Kang Deni sudah menyebar ke seluruh grup. Pastikan sendiri bagaimana nama baik Lurah itu tercoreng.” Rafan tersenyum miring. Dia sudah mengirim sinyal agar Kang Deni mengangguk kepala saja saat dia berbicara. Padahal untuk kasus ini, Kang Deni tak mendapatkan foto mereka saat di sawah. Selain itu, foto yang sedang disidang itu hanya diambil dan dikirim untuk Rafan saja. Elang mulai berpikir panjang. Dia kenal betul siapa sosok Kang Deni itu. Jika semua orang berhasil termakan gosip, akan rumit untuk dia bisa bertahan di sana dengan jabatan Lurah. Mau tak mau dia harus mengalah pada nasibnya kali ini. “Sebaiknya kita menikah saja,” bisik Elang, sontak membuat Liana membelalak. “Enggak akan.” Liana memberi jawaban dengan tegas. Bagaimana bisa dia menikah dengan cara terciduk seperti ini? Dia yakin tak melakukan perbuatan melanggar moral. Hanya sebuah kecelakaan saja. Selain itu, dia tak ingin memiliki suami yang usianya lebih muda darinya. Setidaknya sebaya atau yang lebih tua darinya. “Pikirkan kembali! Orangtua kita ada di rumah Rafan. Gak menutup kemungkinan mereka akan tau soal ini,” bisik Elang lagi mencoba berdiskusi dengan Liana. “Gak peduli. Gue tetap gak mau,” tekan Liana tetap pada pendiriannya. Dia sudah memikirkan langkah apa yang diambil jika orangtuanya termakan gosip. Melarikan diri adalah hal yang paling tepat. “Kalau lu gak mau, gua akan hantui lu,” ancam Elang. “Terserah.” Liana mengangkat bahu masa bodoh. “Ok. Kalau lu gak mau, gua ke rumah lu, ngelamar lu sekarang juga.” “Oy, apa-apaan lo?” Liana menyoroti tajam. Bisa-bisanya Elang mengancam seperti itu. Selama dia mengenal banyak laki-laki di luar sana, belum ada satupun yang diajak ke rumah, apalagi untuk hal serius seperti lamaran. Jelas itu garis keras. Karena apabila mereka datang ke rumah untuk melamar, sungguh Liana tak dapat lagi melarikan diri setelah orangtuanya setuju untuk menerima lamaran. “Kali ini gua nekat demi nama baik gua sebagai Lurah,” tegas Elang tak main-main. “Ck! Semuanya gara-gara elo. Ngapain sih pake bohong segala, ngaku udah tunangan lagi. Sekarang kan malah runyam.” Liana berdecak sebal, mengentakkan kakinya. Tak bisa dibiarkan terus berlarut seperti ini. Dia harus jujur akan statusnya pada semua orang yang masih menanti keputusan Pak RW dan Rafan. “Sebenarnya kita gak tunangan. Kami hanya jalan-jalan, tapi malah seperti ini.” “Wah, gak bener ni. Jalan-jalan, pasti ada sesuatu. Gak mungkin atuh jalan biasa, apalagi berduaan di sawah. Pasti cari tempat yang adem buat ehem-ehem,” sahut Kang Deni. Langsung diacungkan jempol oleh Rafan. Kang Deni ini memang berada di pihak Rafan setelah berhasil dihukum tempo dulu karena sudah menyebarkan gosip dengan dirinya dan Luna. “Hei, Kang Deni, jangan fitnah! Dosa … sekarang gini deh, aku ini dari Jakarta, Elang juga asalnya Jakarta, apa mungkin kami datang ke kampung, ke sawah hanya untuk esek-esek?” Liana kembali menjelaskan. “Gini atuh, Neng! Yang namanya berduaan teh pasti yang ketiga setan. Asal ada kesempatan, setan pasti berbisik. Bukan cuma satu dua orang saja yang ngaku cuma jalan biasa setelah terciduk. Banyak.” Semakin semangat Kang Deni mengompori dan berhasil membuat pikiran warga berubah dan menaruh tuduhan pada Elang dan Liana. “Sudah atuh, Neng, nikah saja! Sama-sama jomblo, cocok,” sahut salah satu Ibu-ibu di sana. “Ketua Ibu PKK secara resmi pun tak ada, sok atuh Neng Liana nikah sama Pak Lurah, biasa bisa jadi Bu PKK.” Para ibu-ibu kembali mengeluarkan pendapat mereka yang meminta Liana dan Elang segera menikah. Buntu, Liana menoleh pada Rafan. Minta bantuan. “Sorry, kali ini gua gak bisa tolongin elu,” kata Rafan dengan pasti. “Udah, nikah aja! Gua janji gak akan apa-apain lu. Demi nama baik kita berdua, ok.” Elang kembali membujuk. Ingin terlihat sempurna di mata para warga. Jika dulu Rafan dengan mudah meyakinkan warga untuk percaya pada penjelasannya, tapi tidak dengan Lurah baru itu. Maklum saja, Rafan itu cucu dari Ummi Hanifah, orang kaya di kampung itu. Sementara Elang adalah pendatang, terlebih situasinya saat ini ada Rafan yang menekan sehingga segala penjelasan dianggap angin berlalu. “Ck! Nyesal banget gue dengar nasihat lo buat kabur. Harusnya gak seperti ini. Benar-benar musibah dalam hidup gue,” cerocos Liana meluapkan semua kekesalannya. “Jadi setelah kita mendengarkan penjelasan dari saksi dan tersangka, dapat disimpulkan bahwa mereka tidak melakukan zina. Pertama saksi lemah karena tak melihat langsung perbuatan asusila, artinya mereka hanya melihat Pak Lurah dan Liana terjatuh di sawah dalam keadaan yang mengundang fitnah. “Selain itu, karena mereka sudah mengaku telah bertunangan dan akan melakukan foto prewedding, jadi jangan gundah Ibu-Ibu, Bapak-bapak! Sebentar lagi posisi ketua Ibu PKK akan terisi oleh Liana.” Liana membuang napas kasar. Rafan memang paling pintar membuatnya terjerat dalam lubang pernikahan dengan bocah. “Dan saya harap untuk kasus ini cukup sampai di sini saja! Jangan sampai ada foto yang tersebar ke dalam grup Ibu PKK, grup bestie, grup keluarga dan grup-grup lainnya! Kalau begitu, semuanya boleh kembali ke rumah masing-masing.” Dimulai oleh Pak RW, ditutup oleh Rafan. Semuanya berhamburan pulang ke rumah karena sebenar lagi senja menyapa. “Gak usah galau gitu. Mau kawin loh. Gak ada cerita kelonin guling lagi,” ucap Rafan melihat wajah Liana cemberut. “Gara-gara lo, sumpah gedeg banget gue.” “Ya udah, yuk kita pulang! Semua orang sudah menunggu kabar baik. Liana melepas masa lajang dengan bocah,” celetuk Rafan menyeringai, langsung Elang mengusap wajahnya dengan tangan yang masih berlumpur. “Anjir, lu mau bikin anak gua yatim?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD