“Sorry gua gak mau nambah beban.” Rafan menolak dengan santai, karena diyakini bahwa Liana sengaja mengajaknya menikah agar terhindar dari Elang.
“Apa sih yang ada dalam pikiranmu, Liana?” tanya Sabila mengusap punggung anak dari sahabatnya itu.
“Tan, aku mau ngomong serius ni sama Tante.” Menatap dengan serius kedua manik mata tua itu. “Aku sama sekali gak cinta sama dia, dan … dan rasanya geli kalau aku harus satu KK sama laki-laki lebih muda dari aku.”
Sabila mengulas senyum manis. “Ingat Rasulullah lebih muda dari Siti Khadijah? Jarak usia mereka terlalu jauh, sedangkan kamu dan dia hanya terpaut dua tahun … dan tentang cinta, Tante, Rafan, Luna, nikah itu tanpa cinta. Tapi seiring berjalan waktu karena kita menerima pernikahan ini, cinta akan datang dengan sendirinya. Asalkan kita menjalani pernikahan dengan ikhlas saja."
Liana menarik napas dalam-dalam.
"Jangan memikirkan mantan! Kacau pikiranmu nanti."
Tersentak, bibir tipis itu membungkam. Lantas Rafan menahan tawa. Hanya dia yang tau persis tentang kehidupan asmaranya Liana karena dulu ikut terlibat ketika ingin memutuskan hubungan dengan kekasih.
Tak ada yang dapat ditolak. Takdir sudah menentukan jalannya. Tepat sebulan setelah diberi tempo untuk menyiapkan segala hal, baik mengurus surat-surat pengajuan pernikahan pada kantor KUA dan tak lupa pula tentang make-up, baju pengantin, catering, MC, dekorasi dan segala perintilannya.
Tiba di hari H, Liana terlihat menarik napas beberapa kali. Melihat penghulu dan orang-orang yang menyaksikan prosesi akad nikah Pak Lurah dengan tunangan bohonganya, Liana.
"Senyum dong! Mau nikah juga." Luna menyeringai, menuntun Liana duduk di kursi yang sudah disiapkan. Terpisah dari calon mempelai pria.
Elang melirik ke arah calon istrinya sekilas, terlihat cantik, tapi di hatinya masih biasa saja. Belum ada kembang api yang meletus di udara. Balik menatap Pak penghulu, karena dia ingin fokus agar tak malu jika harus mengulang akad untuk kedua kali.
"Saya terima nikah dan kawinnya Liana Khairunnisa binti Bara Herlambang dengan mas kawin tersebut, tunai."
Dalam satu tarikan napas, Elang mengucapkan kabul dengan tegas dan lugas, tapi sedikitpun keliru. Maklum saja, dia sudah menghafal sejak semalam. Demi nama baik, harkat dan martabat, gengsi nomor satu.
"Sah." Semua orang ikutan mengucap sah dan mengaminkan doa yang dibacakan oleh Pak penghulu.
"Yee, selamat, Liana. Akhirnya lo ikut jejak gue. Nikah tanpa cinta." Sama seperti Rafan, Luna menunjukkan kebahagiaannya atas pernikahan Liana. Dipeluk hangat, dia pun sudah ada temannya.
Liana tersenyum hambar. Kini dia diminta untuk menghampiri suaminya untuk salam takzim. Bukan dia yang mencium tangan suami, tapi malah sebaliknya. Dia mendesak agar tangan mulusnya itu dicium oleh Elang.
"Apaan sih lu?" Sedikit tajam, tapi tetap tersenyum di depan publik. Elang menuntun agar Liana mencium tangannya. Tak sampai di bibir, hanya di kening saja.
Mereka diminta untuk menandatangani surat-surat yang diserahkan oleh Pak Penghulu, setelah itu baru menuju ke mahligai pelaminan.
"Huft, mimpi apa gue bisa nikah sama bocil kayak elo?" ujar Liana. Hanya di dengar oleh yang di sebelahnya, Elang.
"Usia boleh tuaan elu. Tapi tahta tertinggi tetap gua." Tersenyum miring. Elang berusaha tetap santai meskipun dia sendiri belum dapat sadar 100% dengan situasi sekarang.
"Musibah membawa bencana."
"Terima aja, kalian itu jodoh," celetuk Rafan menyeringai. Dia naik ke atas panggung bersama dengan istri untuk bersalaman sekaligus memberi doa restu.
"Selamat menempuh hidup baru. Cepat khilaf dan dapat momongan," ujar Luna.
"Gak akan khilaf." Jawaban pasti dari keduanya.
"Belum tau aja gimana gerahnya lihat aurat masing-masing." Rafan menimpali.
"Udah ah, turun kalian! Kacau aja," omel Liana.
Rafan tersenyum menyalami Elang. Di tangannya sudah terselip amplop putih.
"Apa ini?"
Tak ada jawaban, Rafan menarik istrinya untuk turun dari panggung.
Sementara rasa penasaran sudah menguasai Elang, juga Liana. Mereka kembali duduk dan membuka isinya. Dikira akan dapat uang ternyata zonk.
"Eh, ini apa? Kok kayak permen?" Liana penasaran, membuka kemasan dengan giginya.
"Astagfirullah." Dia memekik ketika melihat benda seperti silikon. Semakin ditarik semakin memanjang.
"Anjim, itu sarung jimat." Menarik dari tangan Liana. Elang melempar ke belakang.
Beralih pada kemasan yang baru, ternyata satu keping obat yang tak ada keterangannya.
"Ini obat apa?"
Siapa yang akan menjawab? Rafan dan Luna sudah kabur karena mereka harus mengurus ketiga jagoan yang masih belum makan apa-apa selain minum asi ibu.
Terdapat sepucuk surat di dalam amplop, mereka mengambil dan membaca bersama.
[Teruntuk kalian yang kepo. Sini gua kasih tau tutorial cara pemakaiannya. Pertama itu yang sarung lolipop dipakai kalau kalian gak mau punya anak dan obat itu biar kuat. Selamat berjuang. Pastikan ketika mencoba aman kiri kanan, karena pasti bakalan berisik.]
"Anjim. Ajaran sesat." Elang meremas surat itu kemudian melempar ke belakang. Untuk di balik kursi yang mereka duduk terdapat dinding, jadinya tak bisa ada orang yang dapat menangkap sampah yang mereka buang.
Keduanya saling menoleh, spontan memberi jarak. Duduk di ujung ke ujung.
*
"Loh, mau ke mana?" tanya Nabila pada anaknya yang sudah mengangkat rok, siap hendak pergi.
"Pulang." Menunjuk ke rumah Zayyan.
"Bukan di situ. Tapi di sana!" Nabila menunjuk pada rumah yang berada dua selang dari rumah Zayyan.
Dulu itu rumah kosong, tapi sudah dibeli Bu Eva karena anaknya akan menikah, tak mungkin jika harus tidur di rumah dinas yang sempit, ditambah dia akan sering datang untuk tinggal di sana. Rumah itu memiliki tiga kamar. Satu untuk dirinya satu untuk pengantin baru satu lagi untuk tamu.
"Tapi, Mama—"
"Kamu sudah jadi istrinya Elang. Jadi wajib ikut ke mana pun dia tinggal!" Menyerahkan Liana pada Elang yang baru saja turun dari atas panggung.
"Bisa besok-besok aja, Tan?"
"Kok masih tante? Mama dong," protes Nabila.
"Nah iya, Mama." Terkekeh pelan.
"Kalian sudah menikah. Malam pertama itu penting. Kasihan dilewatkan begitu saja," ujar Nabila memberi pengertian.
Mereka ingin membantah tapi keburu tangan Nabila terangkat.
"Ayo cepat pulang! Sudah larut."
Nabila mengantar mereka pulang ke rumah baru. Dia sendiri sudah cukup lelah. Maklum saja, upacara pernikahan digelar dengan sangat mewah, para tamu undangan datang dari berbagai penjuru. Jika Barra dari kalangan pengusaha, maka Pak Dani dari kalangan pejabat. Iya, Pak Dani adalah mantan gubernur.
Pintu kamar pengantin terbuka, Nabila tak segan mendorong mereka masuk, kemudian mengunci pintu dari luar.
"Biar malam pertama sukses dan kita segera bisa gendong cucu," katanya pada besan, Bu Eva.
"Emang kamu paling bisa, Jeng." Mereka tertawa bahagia dan itu mencuri perhatian bapak-bapak yang sedang duduk di sofa.
"Perempuan mah tidak bisa dilawan. Ada saja tingkah lakunya."
Sementara itu, di dalam kamar Liana menggedor-kedor pintu, memanggil ibunya untuk segera bukakan pintu, tapi malah tak ada jawaban. Dia berdengkus kasar, menoleh pada suaminya yang duduk dengan tenang di atas kasur.
"Lo kenapa santai banget?"
"Karena gua punya ini!" Elang mengeluarkan benda kecil dari sakunya. Liana segera berlari menariknya dari tangan Elang.
"Kok bisa lo punya kunci cadangan?" tanyanya keheranan.
"Gua udah feeling aja." Elang mengambil, kemudian membuka pintu kamar itu hingga membuat kedua orangtua dan mertuanya terperanjat.
"Kok bisa dibuka?" tanya Nabila.
"Kalian menggunakan cara klise untuk menjebak kami," jawab Elang dengan santai. Dia pergi ke dapur untuk menyantap makanan. Perutnya sudah sangat lapar karena tak bisa makan puas saat di atas pelaminan.
Setelah mengisi perutnya, dia kembali lagi ke kamar. Begitu kamar tertutup rapat, jantungnya sedikit berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Tangan itu memegang d**a.
"Gua gak lagi sakit jantung kronis kan?"
"Apa jangan-jangan gua gugup karena malam ini bakal tidur bareng sama ibu-ibu?"
Elang melihat ranjang yang diberi alas seprei putih dan ada taburan kelopak kembang mawar merah di atasnya. Tiba-tiba saja pikirannya jadi kotor dengan amplop durjana yang dikasih Rafan tadi. Bulu kuduk merinding, bahu mwngedik ngeri.
"Gua kabur aja ah." Dia kembali membuka pintu dan terlihat para orangtua masil belum masuk kamar.
"Sebelum Liana keluar, gua kabur lewat jendela aja." Segera dia melangkah mendekati jendela.
"Bismillah," ucap Elang mengeluarkan kaki kanannya, disusul kaki kiri dan akhirnya seluruh tubuh bisa keluar dari kamar pengantin. Tak menunggu lama, dia segera berlari menuju kantor kelurahan.
"Mari kita tidur," katanya setelah berhasil masuk ke dalam kantor kelurahan. Dia membaringkan tubuhnya di kursi panjang yang ada di ruangannya. Sendirian, itu lebih baik.
Tak beda jauh dengan Liana. Dia membuka pintu kamar untuk memastikan aman. Ternyata memang kedua pasangan tua itu belum juga tidur. Terpaksa Liana harus kabur lewat jendela menuju rumah Zayyan.
Kali ini Liana tak bisa lewat pintu depan, sehingga dia harus masuk lewat jendela kamar Iqbal agar lebih aman. Berutung kali ini jendela tak dikunci, dia bebas masuk dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang yang biasa ditempati.
"Akhirnya bisa tidur dengan tenang."
Di lain kamar, tepatnya bersebelahan dengan kamar yang ditempati Liana saat ini, Rafan masih asik main cilukba dengan ketiga bayinya.
"Dari tadi main cilukba, emang dia paham? Perasaan merem-melek aja dari tadi."
"Menurut yang aku pelajari, meskipun bayi belum bisa lihat, tapi bisa dengar. Setidaknya dia dengan suaraku." Rafan menjelaskan, lalu kembali bermain dengan anak-anaknya.
"Ciluuuk .... baaa."
"Aku perhatikan kamu kayak orang gila." Luna terkekeh, menggeleng kepala.
"Orang dewasa ketika berhadapan dengan anak kecil bisa berubah segala hal. Bisa jadi orang gila dan anak-anak."
"Ya, ya, ya. Tapi ngomong-ngomong pengantin baru lagi ngapain ya?" Tiba-tiba saja Luna kepikiran dengan Elang dan Liana.
"Sama kayak kita. Ranjang bersengketa, terus damai, emah-emah."
Luna tergelak, memegang perutnya agar tak terguncang. Meskipun lukanya sudah mengering tapi tetap saja dia takut untuk tertawa lepas.
"Ini dia hasil perdamaian MOU," celoteh Rafan mencium bayi-bayinya.
"Kamu kok tumben masih di sini?" tanya Luna pada suaminya yang sering tidur di kamar Malik karena Luna tidur dengan Bu Hera untuk mengurus bayi-bayi mungil itu.
"Aku disuruh tidur di sini. Para suhu udah lelah seharian di tempat pesta. Mungkin aja kolesterol makan daging." Meninggalkan box bayi, Rafan menghampiri istrinya di atas ranjang.
"Tidur di sini gak bisa leha-leha. Anak-anak akan bangun ganti popok dan minum s**u. Jadi jangan malasan!" Luna memberi peringatan.
"Iya paham. Aku yang bikin, ya harus tanggung jawab." Menganggap gampang, Rafan pun membaringkan tubuhnya, memeluk Luna.
"Masih nifas." Lagi Luna memberi peringatan.
"Aku lagi gak napsu."
"Hmm, coba aja kalau tangannya nakal."
"Aman." Begitu percaya diri Rafan saat berbicara. Tapi yang namanya puasa sudah dua bulan lebih siapa yang tak ingin segera berbuka. Tangan Rafan tergerak otomatis menyentuh istrinya, langsung ditepuk.
"Dibilang jangan nakal!"
"Dikit aja. Kan kangen juga. Pengen rasa yang diminum bayi-bayi kita." Rafan menyengir kuda, merayu istrinya. Tetap saja Luna menolak keras.
"Jatah anak gak boleh direcoki bapaknya. Sana jauh-jauh!"
"Pelit amat sih."
"Nanti habis."
"Itu otomatis ada. Gak perlu disedu. Jadi gak bakalan habis."
"Aku mau tidur." Tak lagi menerus ocehan Rafan. Luna tidur memunggungi suaminya. Langsung dipeluk dari belakang.
"Fanfan!" Luna memanggil Rafan tapi malah suara bayi yang terdengar.
"Coba cek! Kayaknya ganti popok," kata Luna pada Rafan.
Dengan sigap, Rafan bangun menemui salah satu bayinya yang menangis. Dia menggendong, memindahkan ke kasur untuk diperiksa, kenapa Bardan alias B bisa menangis.
"Oh e'ek." Rafan melihat pup di dalam popok.
"Bersihkan!"
"Caranya?"
"Pakai tisu basah aja!"
Rafan dengan cepat mengambil tisu dan perkakas bayi lainnya. Dengan penuh percaya diri dia membuka popok dan sruppp! Tembakan kencing mampu membasahi wajah Rafan, sontak membuat Luna tertawa.
"Ya Allah, B." Tak bisa menunjukkan rasa marah. Akhirnya dia menyerahkan urusan ganti popok pada Luna, sedangkan dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajah dan rambutnya.
Sebenarnya bagi bayi yang belum makan apa-apa kecuali air s**u ibu bisa disucikan dengan cara memercikkan air pada tempat terkena najis. Tapi Rafan memilih untuk membasuh wajah, rabut dan mengganti pakaian.
Baru selesai mengganti popok B, tiba-tiba A dan C itu menangis. Rafan jadi kerepotan. Mengecek bagian bawah dan mulut. Yang satu risih karena popoknya susah penuh dengan kencing dan satu lagi haus. Tak sampai di situ, selesai satu disusukan, malah yang lain juga haus.
"Astagfirullah. Ternyata punya bayi kembar lebih merepotkan daripada urus satu bayi." Rafan menyerah setelah berhasil menidurkan ketiga bayinya.
"Makanya jangan asik tidur enak di kamar Malik! Sekarang paham kan gimana repotnya aku jadi ibu."
Rafan mendekat, duduk di samping Luna, berpegangan tangan.
"Kamu istri hebat. Butuh apa biar aku belikan?"
"Hmmm ...." Luna tampak berpikir. "Liburan. Aku suntuk di rumah terus."
"Terus ABC gimana?"
"Titip sama Elang dan Liana. Nanti aku peras asi juga biar ABC tetap minum asi."
"Ok."
Yang disebut nama malah masih tidur di atas kursi panjang. Siapalagi kalah bukan Elang.
Nyamuk berterbangan melintasi telinga Elang, sesekali gemas dan menyuntik kaki dan lengan Elang.
Plak! Elang menepuk lengan dan kakinya. Kemudian dia terpaksa harus bangun, duduk sambil menggaruk tangan dan kakinya.
"Banyak banget nyamuk. Apa gak ada obat nyamuk ya?"
Tak bisa terus berlama-lama di sana, Elang bangkit mencari obat nyamuk. Namun, sejurus kemudian telinganya malah menangkap suara kresek-kresek.
"Maling." Satu kata yang terlintas dalam pikirannya. Segera dia mendekat ke arah pintu, membuka perlahan sambil menyembul wajahnya.
"Ha—ha—hantu." Elang memekik saat melihat sosok putih di depannya. Kakinya lemas, hingga terkapar di lantai.