Bab 7

1078 Words
"Pak Lurah." Kang Beni, sekretaris kelurahan menepuk lengan Elang sampai sang empunya mengerjap, membuka matanya. "Pak Lurah teh kenapa tidur di sini?" Masih lengkap dengan setelan saat di atas panggung pelaminan, sontak membuat Kang Beni mengernyit alis, menaruh rasa curiga. "Di bawa genderowo ke sini ... jam berapa sekarang?" Jelas Elang berdusta. Padahal semalam dia melihat hantu, entah hantu asli atau jadi-jadian, tapi bisa membuatnya pingsang. Setelah sadar, dia tak langsung bangun, malah memanfaatkan untuk melanjutkan tidur. "Jam 7 pagi." "Astaga, lupa shalat." Gegas Elang bangun, berlari pulang ke rumahnya. Kantor kelurahan sekitar 1 km dari rumahnya, hitung-hitung lari pagi. Nafas terengah-engah, Elang memegang handle pintu rumah, tiba-tiba saja dia teringat kabur dari rumah lewat jendela. Dia pun beralih. "Elang!" Deg! Jantung berdetak kencang. Bukan karena cinta tapi deg-degan karena sudah ketahuan oleh papanya. Elang menoleh, menyengir kuda. "Pi." "Darimana kamu? Kenapa masih pakai baju pengantin?" selidik Pak Dani. Dari tatapannya memancarkan rasa curiga sekaligus penasaran. "Itu anu ..." mengusap tengkuk. "Aku harus sholat dulu, Pa." "Elang." Pak Dani tak bisa menahan sang anak karena harus menghadap Allah, tapi kenapa harus harus shalat jam 7 pagi? Shalat apa? "Elang!" Lagi Pak Dani memanggil sang anak. Menyusul dari belakang karena disangka Elang hanya berdalih agar tak diinterogasi lebih jauh. Namun, dugaannya salah. Begitu pintu terbuka, Elang sudah mengangkat kedua tangan, menghadap Tuhan yang satu, Allah. "Ternyata benar dia shalat. Tapi kenapa jam segini?" Pak Dani bingung dengan putra bungsunya itu. "Pi, kenapa berdiri di pintu?" tegur Bu Eva. "Mami lihat mantu kita tidak?" Menutup pintu kamar, Pak Dani menoleh pada istrinya. "Pengantin baru, jelas di kamar dong, Pi. Keramas," kekeh Bu Eva tetap positif. "Tapi aku tidak melihat adanya tanda-tanda Liana di kamar. Selain itu, Elang juga baru pulang tadi." "Papi, serius?" Kedua mata Bu Eva membesar, apalagi suaminya mengangguk kepala. Cemas, mereka belum bisa menginterogasi Elang di saat sedang shalat. Sedangkan di waktu yang sama Liana masih berbaring di ranjang setelah shalat subuh tadi. Dia bangun lebih cepat begitu azan berkumandang. Pintu terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu, menampilkan sosok ART yang bekerja di rumah itu. "Neng Liana!" Kaget melihat siapa yang terbaring di atas ranjang. Begitu juga sang empunya yang kaget karena terciduk. Tak bisa lagi menghindar, Liana mengigit bibir bawah. Lekas bangun karena penghuni rumah sudah berada di dalam kamarnya. "Ya Allah, Liana, kenapa kamu ada di sini?" Itu Sabila. Dia segera menghubungi Nabila untuk ke rumahnya. "Tante. He ... he ... he ...." Tertawa kikuk, menggaruk tengkuk. Ini benar-benar konyol sekali. "Loh, pengantin baru kenapa tidur di kamar ini? Kabur ya? Takut malam pertama?" Rafan datang dengan segala ucapan provokasi. Satu persatu datang, Liana sama sekali tak bisa kabur. Apalagi sekarang sudah disatukan dengan Elang. Siap untuk disidang. "Jadi kalian kabur?" tanya Barra menatap anak dan mantunya yang menundukkan kepala. Kompak mengangguk kepala. Percuma saja kalau bohong. Lantas mereka menarik napas dalam-dalam. "Apa alasannya?" Barra melanjutkan. "Belum siap." Kompak menjawab. Wajah masih ditekukkan. "Malam pertama bukan untuk ditakuti. Semua orang menginginkan bisa segera menikmati malam pertama, makanya ada yang nikah masih bocah. Tapi kalian? ... aneh." Tak tau harus menggambarkan seperti apa pengantin baru di depannya itu. "Apa sekarang lagi trend kabur di malam pertama, setelah tau rasanya enak malah dipepetin terus?" tanya Bara menoleh pada semua orang, termasuk sang senior Sabila di sana. "Kenapa kamu lihatin aku?" "Kamu kan senior." "Tapi setidaknya tidak kabur seperti mereka," tekan Sabila. Kembali menoleh pada Rafan dan Luna. "Kami gak kabur. Malam pertama tetap seranjang meskipun kasurnya basah," jawab Luna, ujung-ujunya memelankan suara pada ucapan kasurnya basah. Semua orang pun kaget menyoroti pasangan yang baru saja dikarunia bayi kembar itu. "Ngompol benaran kok. Karena Fanfan peluk aku terus, padahal udah dibilangin mau pipis. Eh disuruh pipis terus. Udah deh, keluar aja." Jawaban lugu itu malah mengundang tawa bagi sebagian dari mereka. Kini semua balik fokus pada Elang dan Liana. "Mereka meskipun menghindari malam pertama tapi masih tetap sekamar. Kalian? Malah bertindak seperti maling, keluar masuk lewat jendela," hardik Barra. "Malam ini dan seminggu yang akan datang, kalian di kurung di kamar," putusnya sontak membuat Elang dan Liana mengangkat wajah. "Loh, Pa. Gak bisa gitu dong," protes Liana. Detik kemudian dia menoleh pada suaminya, teringat kunci cadangan yang dipegang Elang. "Ya udah deh, terserah kalian aja." Sidang untuk Elang dan Liana sudah selesai. Semua bubar, tak terkecuali Rafan dan Luna yang kini sedang menikmati momen bersama dengan ketiga bayi mungil yang menggemaskan itu. Di hari pertama lahir, kulitnya begitu kerut, perlahan mulai tertarik membentuk otot. Liana dan Elang senang karena Barra tak memberi hukuman yang menyeleneh. Terlalu percaya diri bisa kabur dengan adanya kunci cadangan, tapi siapa yang bisa menebak bahwa mereka akan patah hati. Begitu dikurung di dalam kamar, kunci cadangan yang digunakan semalam untuk membuka pintu malah tak bisa. Terlebih jendela juga tak dapat di buka lagi. "Loh, loh, kenapa jadi begini?" Panik bukan main. Mereka benar-benar terkurung. Elang melangkah, mendekat jendela. Berusaha dibuka tapi tak bisa. Begitu diintip ternyata ada kayu yang sengaja dipakukan agar tak bisa membuka jendela. Alhasil mereka harus duduk bersebelahan di ranjang dalam keadaan setengah putus asa. "Gue gak percaya kalau Papa akan sejauh ini." "Mereka lebih licik dari kita ... sial." Elang meremas seprei. Keduanya bergeming, larut dalam pikirannya sendiri, membayangkan langkah apa yang harus mereka ambil. Jika mengatakan alasan kerja, masih cuti sampai minggu depan. Lapar? Sudah tersedia makanan. Pup? Ada kamar mandi di dalam kamar. Apapun yang dipikirkan halnya sia-sia dan membuang tenaga saja. Hasilnya nihil, kantuk yang datang langsung membuat mereka menjatuhkan tubuh di atas ranjang. "Ngantuk." "Sama." "Gak buka jilbab dulu, biar enakan?" Elang memberi solusi. Sejauh ini, dia sama sekali belum pernah melihat rupa Liana tanpa hijab. "Enggak. Biar gini aja." Tak mendesak karena Elang hanya memberi solusi saja. Dia memejamkan mata, pun dengan Liana. Detik kemudian, Liana merasa tak nyaman tidur dengan kerudung. Dia pun melepaskannya di saat Elang yang diyakini sudah tidur. Nyatanya tidak, Elang kembali membuka mata karena dia harus ke kamar mandi. Terpaku sejenak melihat Liana menarik ikat rambut hingga rambut yang lembut dan sehat itu menjuntai. "Seksi," guman Elang spontan saat menggambarkan Liana yang sedang mengibaskan rambut panjang sepinggang itu, berwarna hitam pekat. Deg! Tangannya memegang d**a, merasakan detak jantung yang tak karuan. Pikirannya secara otomatis bergeser ke lain arah. Menutup matanya kembali. Dia harus menunda ke kamar mandi karena Liana sudah bangkit untuk meletakkan kerudung di atas meja. "Gak usah pura-pura tidur! Gue tau lo udah bangun." Terciduk, Elang pun membuka mata, langsung terkesiap dengan kemunculan Liana di depan matanya. "Astagfirullah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD