Liana benar-benar kesal dan marah pada suaminya. Puluhan kali panggilan tak digubris. Dia berjalan meninggalkan kantor kelurahan dengan berjalan kaki. Rasa kesalnya bertambah-tambah ketika tak membawa mobil. Padahal sudah terparkir di depan rumah, tapi dia memilih naik ojek karena tujuannya ingin memberi kejutan pada Elang, sekaligus mengajaknya makan siang dengan berboncengan motor. Ketiban sial. Wajah Liana panas seiring dengan hatinya. Dia tak terima dibohongi. Rasanya dia ingin meremas-remas tubuh Elang lalu mengunyah-ngunyah seperti permen karet. “Liana, dengar dulu penjelasan gua!” Elang menyusul dari belakang. Langkah kakinya mampu menyeimbangi istrinya, kemudian menarik tangan hingga Liana berhenti. “Lepas!” Liana menghentakkan tangannya. Kedua mata menyoroti tajam. “Gua minta