Bab 8

1107 Words
"Lo kenapa?" tanya Liana menatap keheranan. Tiba-tiba laki-laki yang baru dinikahinya terkejut sampai mengusap d**a. 'Apakah penampilan gue mengerikan?' Liana jadi memegang rambutnya. "Eng—gak kenapa-napa." Elang menggeleng kepala. Hampir saja jantungnya meledak saking terkejut dengan pesona Liana tanpa hijab. Baru disadari ternyata lebih cantik dari Luna. Meskipun kecil tapi awet muda. "Aneh." Liana beralih, merebahkan tubuhnya di samping Elang. Sementara itu, Elang terus mengamati, tiba-tiba sekujur tubuhnya merinding. Segera berlari ke kamar mandi. Tak tahan lagi untuk buang air kecil. Begitu selesai buang hajat, Elang jadi ragu untuk memutar handle pintu. Ditarik napas, kemudian dikeluarkan dari mulut. Terus dilakukan sampai jantungnya kembali stabil. "Bismillah," ucapnya spontan. "Eh, di kamar mandi, ngapain gua baca bismillah?" Tersadar, menepuk mulutnya. Elang pun membuka pintu. "Astagfirullah," teriak Elang spontan melompat ke belakang. Tak sesuai perhitungan, kakinya malah menginjak sabun di lantai hingga membuatnya terpeleset. "Sttt ..." Elang meringis saat tubuhnya terkapar di lantai. Lantas Liana tertawa terbirit-b***t. "Oy, jangan ketawa! Bantu kek." Meskipun punggung sakit, tapi Elang masih bisa menghardik orang. Masih tertawa, Liana menolong Elang untuk bangkit. Dia melihat benda cair yang licin di lantai. "Apa lo segitu cerobohnya sampai sabun aja muncrat di lantai?" "Hmm, malas siram." Sabun itu muncrat ketika tangannya gemetaran saat membayangkan pesona Liana untuk pertama kali tanpa hijab. Terlanjur tumpah dan dia mengabaikan untuk menyiram. Alhasil, dia sendiri yang terpeleset. "Bagus." Liana hendak melangkah tapi malah ditarik tangannya oleh Elang. "Bantu gua!" "Punya kaki kan?" Liana mengangkat alis sebelah. "Punggung gua sakit. Kayaknya lu harus bantu pijitin gua." "What?" Kedua mata itu melotot, tiba-tiba menjadi sayu ketika melihat Elang masih memegang pinggangnya. "Ya udah, untuk kali ini. Tapi gak ada lain kali." Elang mengangguk. Detik demi detik sudah dapat merasakan rasa sakit, hingga dia tak lagi cerewet. Dipapah Liana duduk di atas ranjang. "Eh, mau ngapain?" tanya Liana saat melihat Elang hendak buka baju. "Buka baju biar enak lu pijatnya." Liana bergeming, kemudian mangut-mangut. Mata tak bisa beralih, terus mengamati Elang membuka baju sampai terlihat kotak-kotak. Rasa penasaran karena baru pertama melihat secara langsung membuat tangan Liana menyentuhnya. "Hei, apa yang lu sentuh?" Elang terkejut. Tapi Liana malah biasa saja. "Pegang bentaran doang." Liana malah meremas membuat Elang geli dan mendorongnya. "Lu jangan mancing! Pinggang gua lagi encok, gak bisa puasin lu." "Dih, PD amat. Siapa yang minta nafkah batin." "Terus ngapain pegang perut gua kalau bukan kepingin. Bilang aja gak usah malu." Elang menyeringai. "Sorry, meskipun lo bugil di depan gue, gue gak tertarik sama lo. And, kenapa gue pegang perut lo karena penasaran aja," ujar Liana sangat percaya diri. "Anying, lu gak napsu?" Elang mendekat, menatap lekat wajah Liana. Spontan kaki kecil itu mundur. "Kenapa mundur kalau memang lu gak napsu sama gua?" Elang terus berjalan dan Liana terus mundur sampai punggungnya tertahan dinding. Tak bisa lagi kabur karena tangan Elang sudah mendorong dinding, menatap dengan lekat wajah istrinya yang terlihat gelisah. "Coba lihat sini!" "Apa sih?" Liana mengangkat wajah sekilas, lalu memutar bola mata ke lain arah. "Hahaha ... dasar perempuan, lain di mulut lain di hati." Elang tertawa melihat tingkah Liana yang terlihat sok keren, padahal hanya seekor siput. "Gue risih aja deket sama lo. Lagian ngapain sih harus deket-deket?" "Suka-suka gua dong." Elang tersenyum miring. Melihat Liana gerah malah jadi ingin mengerjai. Dia pun mengawali dengan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Liana. Semakin merinding, Liana terperangkap. "Elang!" teriak Liana saat melihat Elang hendak mencium lehernya. "Hahaha ..." Elang tertawa terpingkal-pingkal karena Liana panik. Merasa kesal, Liana pun mendorong d**a Elang, lalu berlari ke pembaringan, bersembunyi di balik selimut. "Hei, siapa suruh lu tidur?" Elang mendekat, menarik selimut. "Bangun! Pijitin gua." "Ogah." Semakin mengencangkan pegangan agar tubuhnya tak terekspos. Liana memang tidak mencintai Elang, tapi jika sudah satu kamar berdua, ditatap dengan intens, siapa yang bisa mengontrol agar jantung tetap aman? Kegugupan itu datang dengan sendirinya, semakin mendekat, semakin sulit bernapas. Terlebih untuk menjaga diri dari godaan bocah. "Tadi bilangnya setuju, kenapa sekarang malah nolak? Gak konsisten," cibir Elang, segera Liana menyibak selimut, menegakkan tubuhnya. "Ya udah cepat!" "Gitu dong." Elang menyeringai, membuka gesper. "Eh, lo ngapain?" Feeling Liana mulai risih. Dia wanita dewasa yang kadang lebih cepat menangkap sesuatu. "Biar lebih enakan. Lu tenang aja, gua gak selera tante-tante." "Siapa yang lo bilang tante?" Liana menatap tajam. Tak digubris, Elang melepaskan gesper kemudian meletakkan di atas nakas, baru setelah itu duduk membelakangi Liana. Tanpa lagi berceloteh ria, Liana mengarahkan tangannya memijat punggung sang suami. "Keras banget sih badan lo?" "Sering olahraga." Cukup memijat, keduanya merebahkan tubuh di atas hamparan kasur. Menatap langit kamar tidur, sudah berjam-jam tapi masih belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Sebuah ide cemerlang muncul, Liana berteriak memegang perutnya. "Sakit, aww ..." "Lu kenapa?" Elang terkejut, raut wajahnya langsung berubah cemas. Reaksi yang normal karena Liana tidak memberitahu kepura-puraannya itu. "Gue pura-pura sakit. Cepat lu ketuk pintu, panggil mami, papi!" Elang segera loncat dari kasur, mendekat pintu yang terkunci kemudian digedor pintu. "Mi, Pi, buka pintu! Liana sakit." Yang dipanggil sedang duduk santai di depan TV. Pak Dani menikmati berita politik dan Bu Eva membolak-balik majalah. "Pi." Bu Eva memanggil suaminya setelah mendengar suara sang anak di balik pintu. "Hmm." "Itu Liana sakit. Cepat buka pintu!" Bu Eva cemas. "Sakit saat pertama kali hal yang wajar. Bukankah Mami juga begitu dulu?" jawab Pak Dani cuek. Pikirannya sudah tersetting bahwa dengan mengurung pengantin baru itu, suka tidak suka, mau tidak mau, hasrat tetap mendominasi dan mereka akan melakukan kegiatan yang sebenarnya dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Selain memberi nafkah batin, juga sebagai jalan memperoleh anggota baru. Bu Eva bergeming. Dia menoleh ke arah pintu, Elang kembali mengatakan Liana sakit, disusul jeritan Liana. "Masa sih, Pi?" Pak Dani mengambil hp di atas meja, kemudian menghubungi sang anak. "Segala obat ada di dalam laci. Kamu lihat saja! Jangan teriak-teriak seperti orang gila! Baru pertama nganu pun ribut satu kampung," omel Pak Dani langsung menutup telpon tanpa menunggu anaknya berbicara. Elang sendiri terperanjat, segera membuka laci. Ternyata benar adanya, ayahnya telah menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan ketika nyeri di malam pertama. "Udah, gak usah pura-pura sakit lagi! Kita gak bakalan bisa kabur dari sini." "Hah, gimana?" Liana bangun, duduk menghadap Elang yang sedang memegang obat-obatan. "Kita sama sekali gak bisa keluar." Ucapan penuh keterputus asaan. "Kok bisa? Apa acting gue kurang meyakinkan?" "Bukan. Tapi papi kira kita lagi mantap-mantap, dan ini obat anti nyeri." Elang menyerahkan obat yang dipegangnya. Segera diambil dan dibaca dengan teliti cara pemakaiannya. "Astagfirullah." Tersentak, sejurus kemudian Liana mengangkat wajah, menatap Elang dengan seksama. "Lo gak berniat serius kan?" Elang mengedik kedua bahunya. "Untuk sekarang mukin belum, tapi kalau nanti gua sagne, jadi sorry, mungkin lu gak perawan lagi setelah keluar dari sini." "Apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD