Bab 6

1151 Words
“Sri, bisa temani saya jalan-jalan ke luar sebentar?” tanya Rere menatap Rindu yang baru saja masuk kamar setelah dipersilakan olehnya. Ini adalah hari kedua gadis berparas ayu itu tinggal di rumah Rere. Rindu berjalan menghampiri. “Bisa, Ibu mau jalan-jalan ke mana?” “Ke taman komplek sebentar yah, biasanya kalau pagi begini taman cukup ramai apalagi ini hari libur.” Rindu mengangguk. “Baik, Bu,” jawabnya melirik sebuah foto berukuran besar yang dibingkai indah pada dinding tepat di atas ranjang. Rere tampak cantik dengan gaun berwarna pastel bersama seorang pria tampan dengan jas berwarna hitam. Wajah pria itu bak pinang dibelah dua dengan wajah sang tuan muda. Rindu bisa menduga bahwa pemilik wajah itu adalah Lingga. “Itu suamiku, Sri,” seru Rere membuat Rindu menoleh. Beruntung Rere tidak melihat gurat kebencian yang sempat mampir dalam wajah gadis itu saat melihat gambar suaminya. Rere hanya menangkap sekilas Rindu melihat foto itu dengan wajah penasaran. “Wah, gagah ya, Bu.” Rindu menatap kagum. Benar dirinya mengagumi kharisma pria itu yang bahkan hanya tampak dalam sebuah foto. Rindu yakin, pesona Langit didapat dari pria itu. “Sayangnya kejam.” Batinnya melanjutkan. Rere mengangguk. “Iyah, sangat gagah.” Rindu sempat melihat kilat air mata dalam netra sang majikan walau coba Rere sembunyikan. “Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa aku melihat keluarga ini seperti menyembunyikan sesuatu?” Batin Rindu kembali berbicara. “Tapi ... bukankah orang jahat memang selalu misterius?” “Kamu mikirin apa, Sri?” tanya Rere terkekeh. Dia memperhatikan wajah gadis di hadapannya yang sesekali terlihat mengernyit dalam seperti memikirkan sesuatu. “Eh, enggak, Bu.” Gadis itu menggeleng canggung. “Kita berangkat sekarang?” tanyanya bersiap mendorong kursi roda sang majikan. “Ayok.” Mereka berjalan keluar bertepatan dengan Langit yang baru keluar dari kamar. “Loh, kok belum berangkat?” tanya Rere. Melirik benda berwarna hitam pada pergelangan tangan, Langit tersenyum. “Masih satu jam lagi acaranya, Ma.” Hari ini Langit akan turing bersama teman-teman lamanya sewaktu masih kuliah. “Mama mau pergi?” Pria itu bertanya. “Cuma pingin ke taman aja.” “Ya udah, hati-hati, Ma,” pesannya sembari melirik pada Rindu yang tengah menatap lekat ke arahnya. Bila diperhatikan tatapan itu lebih terlihat seperti tatapan binatang buas yang diam-diam memperhatikan mangsanya dan Langit menyadari itu. “Kamu juga, nggak boleh kebut-kebutan!” “Hahaha, enggak, Ma.” Rere dan Rindu sampai di taman sepuluh menit kemudian. Seperti kebanyakan pengasuh dan majikannya, mereka bercerita banyak hal. Lebih tepatnya Rere yang banyak bertanya dan dijawab dengan beberapa kebohongan oleh gadis itu. “Wah, rame juga ya, Bu?” “Di sini selalu rame kalau pagi dan sore, Sri.” Rere menepuk kursi di samping kirinya mengisyaratkan agar sang pengasuh duduk di sana. “Duduk sini!” “Ibu sering ke sini?” Rindu bertanya setelah mengambil tempat seperti keinginan sang majikan. “Dulu kami sering jogging bareng.” Pikiran Rere menerawang mengingat rutinitas pagi yang keluarga kecilnya jalani. “Kami juga sering nongkrong kalau sore hari, tapi ... “ Rere menggantung ucapan karena tidak sanggup mengingat kepergian tiga orang tercintanya. Tatapannya berubah sendu. “Tapi kenapa, Bu?” Rere menggeleng setelah berusaha menguasai diri. “Nggak ... sekarang kami lebih banyak menghabiskan hari di rumah karena Langit sibuk di kantor, Senja kuliah di Melbourne dan saya sudah tidak bisa lagi berjalan.” Tentu saja Rere belum ingin bercerita banyak pada orang yang baru dikenalnya. “Senja itu ...?“ “Adiknya Langit.” Mengerti yang hendak ditanyakan gadis itu, Rere memotong. “Ah, saya pikir mas Langit anak tunggal.” Rindu menjawab polos namun dalam hati berpikir keras. Sepertinya nama itu tidak asing di telinganya. Apakah yang Rere sebutkan adalah teman dekatnya di kampus? Senja yang Rindu kenal memang tertutup dan tidak pernah bercerita masalah keluarga. Sepertinya banyak hal dalam keluarga ini yang harus dirinya ketahui karenanya Rindu akan bertahan lebih lama. Rere tersenyum. “Kami memiliki satu putra dan satu putri.” “Wah, lengkap ya, Bu, tidak seperti saya yang hanya anak tunggal dan harus menerima kenyataan kalau orang tua saya meninggal karena dibunuh seseorang,” ungkap Rindu lekat mengamati manik Rere yang ternyata tidak menunjukkan perubahan selain luar biasa terkejut karena tidak menyangka dirinya sudah kehilangan orang tua. “Dibunuh?” tanya Rere meyakinkan pendengarannya tidak salah. Tidak Rindu lihat kebohongan dalam ekspresi terkejut itu. Bukankah akan terdengar biasa di telinga Rere jika wanita paruh baya itu pernah melakukan hal yang sama? “Dari mana kamu tahu kalau orang tuamu dibunuh?” “Paman saya sudah menyelidiki dan memang terdapat kejanggalan dalam kecelakaan yang menimpa mereka.” Rere manggut-manggut. Persis seperti yang dirinya rasakan tiga tahun lalu hanya saja pada peristiwa yang berbeda. Rindu tersenyum sinis. “Dan saya ingin mencari pembunuhnya.” “Maksud kamu ... kamu ingin balas dendam?” tanya Rere tidak percaya gadis yang terlihat lembut itu menyimpan ambisi besar. Dia menyadari kehilangan adalah hal yang belum tentu bisa diterima setiap orang terlebih untuk gadis muda seperti Rindu yang konon anak tunggal. Bisa Rere bayangkan seberapa berat pukulan yang dirasakan gadis itu. “Iya, Bu.” “Tapi ... kalau boleh saya kasih saran, jangan fokuskan hidup kamu untuk balas dendam, Sri. Saya mengerti apa yang kamu rasakan karena saya juga pernah mengalami kehilangan. Hanya saja, sayang rasanya jika masa muda kamu terbuang dengan sebuah ambisi yang bisa aja membunuhmu. Dendam itu menggerogoti hati dan lama-lama bisa membunuhmu.” “Tapi jika tidak melakukannya saya akan terbunuh dengan perasaan bersalah, Bu,” lirihnya. “Yah, setidaknya kamu harus berhati-hati karena bagaimana pun manusia yang sudah memiliki naluri membunuh pasti tidak akan segan-segan untuk melenyapkan musuhnya.” “Seperti suamimu!” seru hati Rindu namun tak urung mengangguk. “Nggak kerasa udah siang ya, Sri.” Rere sengaja mengalihkan pembicaraan agar Rindu tidak berlarut dalam pikiran yang terlanjur muncul. “Kamu suka lontong opor, nggak?” Rindu mengangguk. “Lumayan, Bu.” “Lumayan?” Ini menarik. Rere jadi melihat sisi lain yang dimiliki Rindu. Mendengar dari ceritanya, orang tua Rindu bukan orang sembarangan sehingga menarik orang lain untuk berbuat jahat. Dan sepertinya gadis di depannya itu bukan dari keluarga menengah ke bawah. Lantas kenapa Rindu memilih menjalani profesi sebagai ART? “Saya jarang makan di luar, Bu.” “Kalau gitu sekali-kali kamu harus mencicipi jajanan pinggir jalan, dan lontong opor di pojok sana itu adalah yang paling enak di area ini,” kekeh Rere melihat senyum canggung gadis di depannya. “Satu lagi, banyak orang ganteng yang mampir ke sana untuk sarapan. Kamu bisa pilih salah satunya.” “Hahaha, dia tidak tahu saja suamiku seorang CEO.” Hati Rindu berbisik. “Terserah Bu Rere aja,” balasnya memaksakan senyum. “Ayuk,” ajak Rere memaksa Rindu bangkit dan meraih pegangan kursi roda kemudian mulai mendorong pelan. Walau suasana hatinya sedang tidak baik karena terlanjur membahas kematian orang tuanya, Rindu tidak bisa menolak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD