Bab 7

1265 Words
Rindu menghampiri mbok Yem dan mbok Darmi yang tengah memasak di dapur karena Rere tidak memintanya untuk menemani. Wanita paruh baya itu tidak keluar kamar sejak selesai sarapan. Jadilah Rindu bisa bersantai dan berniat mengorek informasi tentang keluarga itu dari duo simbok di sana. “Hai, Mbok,” sapanya dengan senyum mengembang. “Hmm, cerah banget mukanya.” Mbok Yem menggoda. “Libur kamu, Sri?” “Hehe, libur sih enggak tapi bu Rere nggak nyuruh aku ke kamar.” Rere memberitahu sebelumnya bahwa Rindu hanya akan menghampiri jika sang majikan memanggilnya. “Enak ya, Sri, makan gaji buta?” Mbok Darmi ikut menggoda membuat ketiganya tertawa. Tidak ada nada iri pada ucapan mereka karena baik mbok Yem maupun mbok Darmi diperlakukan dengan sangat baik oleh Rere selama ini. “Mbok, emang bu Rere suka nggak keluar kamar gitu?” “Ndak juga, biasanya selalu keluar kecuali lagi ada yang mengganggu pikirannya. Biasanya non Rere ndak keluar kamar kalau lagi ingat sama pak Lingga.” Bagus, tanpa ditanya mbok Yem mengungkapkan apa yang ingin Rindu ketahui. “Emang pak Lingga kenapa?” kejar Rindu. “Loh, kamu belum tahu to?” “Belum, Mbok Yem, kan Sri baru tiga hari ini kerja.” “Pak Lingga itu sudah men .... “ “Sri!” panggil Rere memotong ucapan mbok Yem. Ketiganya kompak menoleh. “Sial! Belum sempet keluar kalimat mbok Yem udah keluar aja ni orang lumpuh! Sejak kapan bu Rere ada di sini?” gerutu batin Rindu. “Iya, Bu,” sahutnya menghampiri Rere. “Nanti tolong anterin makan siang buat Langit, yah.” “Boleh, Bu. Emang mas Langit nggak pulang?” Setelah menanyakan pada simbok, Rindu cukup memanggil dengan sebutan ‘mas’. “Iya, tadi dia menghubungi katanya ada meeting tepat banget setelah makan siang jadi kalau pulang nggak akan keburu.” “Siap, Bu, akan saya antarkan.” Rere terkekeh. “Udah mateng, Mbok?” tanyanya menoleh pada dua simbok di dapur. “Sebentar lagi, Non.” Mbok Darmi menjawab. “Jangan heran ya, Sri kalau saya terlihat lebih muda karena panggilan mereka,” kekeh Rere. “Bu Rere masih terlihat muda kok.” Ini tidak bohong. Rere terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya yang mendekati setengah abad. “Kamu bisa aja.” “Semua sudah siap, Non.” Mbok Yem menghampiri. “Mau dianterin Sri aja atau sama saya?” Mungkin akan lebih lama sampai jika Rindu yang mengantar mengingat gadis itu belum mengetahui tempat Langit ngantor. Sementara sopir yang biasa mengantar sedang tidak ada di rumah karena Langit memintanya datang ke kantor satu jam lalu. Pikir mbok Yem. Berbeda dengan Rere dan Rindu yang berpikir segala sesuatu semudah membalikkan telapak tangan di era modern seperti ini. “Biar Sri aja, Mbok, sekalian kenalan sama kantor,” kekeh Rere. “Siapa tahu dari karyawan di sana ada yang nyantol.” “Benar, Sri. Banyak orang ganteng di kantor mas Langit. Simbok saja berasa muda kalau datang ke sana karena mereka suka menggoda Simbok.” “Hahaha.” Rindu tergelak. Ada-ada saja tingkah wanita tua itu. “Ya udah kalau gitu kamu anterin sekarang ya, Sri.” Rere mengulurkan selembar kartu nama milik Langit. Dari sana Rindu mencari alamat karena dia harus naik taksi online. Tanpa kartu itu pun sebenarnya Rindu sudah mengetahui letak kantor milik keluarga Lingga. Hanya saja akan mengundang kecurigaan jika dirinya yang baru datang dari desa tiba-tiba mengerti letak kantor itu. “Baik, Bu.” Rindu meraih tas bekal pemberian mbok Yem kemudian menyeret langkah menuju pintu. “Mbok,” panggil Rere pada dua simbok sembari melirik ke arah pintu. “Ya, Non.” Keduanya menjawab kompak. “Kalau Sri nanya sesuatu tentang keluarga ini, jangan dikasih tahu dulu, ya.” “Kenapa, Non?” tanya mbok Yem karena hampir saja dirinya mengatakan pada Rindu tentang Lingga. “Nggak pa pa sih, itu pesen dari Langit,” bohong Rere walau ada kejujuran di dalamnya. Semalam Langit memberitahunya tentang percakapan Rindu dengan seseorang yang sempat sang putra dengar walau tidak terlalu jelas. Kenyataan yang didengar Rere di taman kemarin pagi juga menjadi pertimbangan wanita paruh baya itu untuk lebih berhati-hati dengan orang baru walau Rere percaya gadis sepolos Rindu tidak akan mungkin menyakiti keluarga itu. Kedua simbok mengangguk mengerti. “Mbok, tadi kita hampir keceplosan waktu Sri nanya.” Mbok Darmi berucap. “Karena itu aku nyuruh dia anterin makan siang Langit ke kantor. Aku denger dia lagi nanya-nanya sama Mbok.” Rere tersenyum melihat ada raut bersalah pada wajah mbok Yem. “Nggak pa pa, Mbok, buat jaga-jaga aja.” Rere menenangkan kemudian berpamitan untuk kembali masuk kamar. Sementara dua simbok saling pandang. “Jangan-jangan Sri orang jahat,” celetuk mbok Darmi mengundang tepukan di tangannya. “Sudah, bukan urusan kita. Yang penting kita harus lebih hati-hati.” *** Rindu berjalan santai sebagai dirinya sendiri yang tak tampak sedikit pun tampang ART, keluar dari lift setelah mengetahui ruang CEO dalam perusahaan itu, berbeda dengan caranya bertanya pada reseptionis di depan. Gadis itu memang pandai berkamuflase. Dari jarak beberapa meter ke depan dapat dia lihat tulisan agak besar di atas pintu, ‘Ruang CEO’. Rindu mendekat kemudian mulai mengetuk pintu. Tidak ada sahutan pada ketukan pertama dan ke dua. Rindu memberanikan diri memutar handle pintu yang ternyata tidak dikunci namun baru terbuka sedikit dirinya dibuat terkejut dengan penampakan di depan. Seorang wanita tengah memperbaiki pakaian yang sebelumnya sempat berantakan karena ulah m***m dari seorang pria di dalam. Menjijikan! Jadi ini yang dilakukan Langit di kantor? Pikir Rindu. Pintu kembali Rindu tutup namun tidak mungkin dirinya pergi tanpa menyampaikan titah sang majikan. Karenanya tidak peduli dengan yang dilakukan dua manusia dalam ruangan, Rindu kembali mengetuk pintu. Barulah setelah ketukan ke tiga pintu dibuka dari dalam oleh seseorang yang sangat Rindu kenal. Beruntung gadis itu sudah menutup wajah dengan masker sehingga wanita yang merupakan sekretaris Langit itu tidak mengenalinya. “Ada apa?” tanya Anyelir, sekretaris sekaligus kekasih Langit dengan tatapan tidak suka. “Saya diutus bu Rere untuk menyerahkan makan siang mas Langit,” balas Rindu tanpa takut sedikit pun. “Sini!” Gadis itu merebut tas bekal dalam genggaman Rindu tanpa mempersilakan tamu itu masuk. “Ada apa ini?” tanya Langit dingin seolah tidak terjadi apapun di antara mereka membuat Rindu bergidik jijik. “Ini, Mas, bekal yang dikirim bu Rere.” Rindu menyerahkan tas bekal yang berhasil dirinya pertahankan saat direbut paksa oleh Anyelir. “Kok kamu yang nganterin?” “Bu Rere meminta saya yang mengantar, Mas.” “Siapa dia, Pak?” tanya Anyelir membuat Rindu melirik tajam dan itu tak luput dari perhatian Langit. Tentu saja Langit hanya akan diam. “ART baru di rumah,” balasnya seadanya. “Eh, Pembantu! Sopan dikit dong sama anak majikan! Panggil mas mes mas mes, kamu pikir dia suami mbakmu?” Rindu memang tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Penyamarannya membuatnya memiliki keterbatasan bersikap. Tapi lihat saja jika dirinya sudah bebas. Akan dia buat gadis itu menyesal. “Maaf ... tapi Mas Langit sendiri yang nggak mau dipanggil tuan muda.“ Rindu membela diri membalas tatapan penuh kebencian dari Anyelir. “Kalau begitu saya pamit pulang, Mas.” Gadis itu mengalihkan pandangan pada Langit untuk berpamitan kemudian berbalik setelah mendapat anggukan dari anak majikannya itu. “CEO yang aneh,” gumam Rindu sambil berjalan, tentu saja tidak ada yang mendengar gumamnya selain Tuhan dan dirinya sendiri. “Kantor buat tempat m***m!” Dia benar-benar tidak habis pikir laki-laki yang terlihat baik ternyata penjahat kelamin. Di dalam lift, Rindu tersenyum setan memikirkan satu rencana menyebalkan yang tiba-tiba muncul di otaknya. Sepertinya akan menarik jika dirinya bermain-main sebentar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD