Bab 5

1039 Words
Rindu terbangun saat notif pesan di ponselnya berbunyi. Gadis itu memang tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak sejak kematian orang tuanya sehingga suara kecil seperti itu saja dapat membuatnya terjaga bahkan dia bisa bangun dengan mudah saat sedikit saja sentuhan menghampiri kulitnya. Hati yang dipenuhi dendam seolah terus mengganggu pikirannya, mengingatkan kisah kelam itu dan memaksa dirinya untuk terus menebar kebencian. Rindu mengerjap mengamati angka yang tertera di pojok kiri atas layar ponselnya. Pukul setengah dua belas malam. Siapa yang mengiriminya pesan tengah malam seperti ini? Mengganggu waktu tidurnya saja! Om Rudi : Lakukan sekarang, Rindu! Gadis itu memutar bola mata. Apa sang paman tidak berpikir ini terlalu cepat? Sebenarnya siapa yang berniat balas dendam? Kenapa pamannya justru terlihat lebih bersemangat? Rindu melempar ponselnya begitu saja tanpa berniat membalas. Lebih baik dia kembali tidur agar bisa bangun pagi-pagi sekali karena tugas baru sudah menunggunya. Bagaimana pun dia bekerja sekarang dan Rindu tidak ingin terlihat buruk di hari pertama bekerja yang bisa mempersulit langkahnya untuk melakukan misi. Rindu merubah posisinya menjadi duduk saat ponselnya berdering. Rupanya pria paruh baya itu tidak ingin diabaikan. “Kenapa, Om?” Dengan malas Rindu menjawab. “Lakukan sekarang, Rindu!” Pria paruh baya itu memberi perintah. “Apa nggak terlalu cepet, Om?” Belum ada sehari dirinya tinggal dan sang paman sudah mengejar untuk melakukan misi mereka. Apa Rudi pikir membunuh orang adalah sesuatu yang mudah? “Kalau nggak cepet kamu bisa ketahuan. Ingat keluarga Lingga bukan keluarga sembarangan.” Rindu menghela nafas pelan. “Iya, Om aku ngerti. Tapi ... aku belum ketemu targetku.” “Lingga?” “Siapa lagi?” “Lupakan Lingga, mungkin saja dia sedang ada perjalanan bisnis.” “Lalu siapa yang harus aku jadiin target sekarang?” “Bunuh Langit sekarang! Kamu tidak akan bisa melakukannya jika dia terjaga.” Terasa aneh karena sejak awal Rudi memberitahunya bahwa Lingga adalah pelakunya tetapi kenapa sekarang justru Langit yang seolah menjadi target utama sang paman. “Hahaha, apa gunanya Om ngajarin aku bela diri?” Menurut Rindu membunuh orang yang sedang tertidur adalah perbuatan seorang pengecut. Apalagi dia belum mengetahui dengan pasti alasan Rudi ingin menghabisi Langit. “Langit bukan orang yang mudah diremehkan, Rindu. Dia sangat pandai bela diri. Om nggak yakin kamu bisa mengalahkannya.” Satu lagi hal yang membuat Rindu merasa heran. Jika Langit pandai bela diri dan tidak bisa dirinya kalahkan seperti yang Rudi katakan kenapa pria paruh baya itu mengirimnya ke rumah itu sekarang? Bukankah itu sama saja membuatnya bunuh diri? “Aku tahu apa yang harus aku lakuin, Om tenang aja. Aku udah punya perhitungan sendiri.” Kesal sekali Rudi mendengar perkataan keponakannya. Dia ingin semua selesai dengan cepat agar segera bisa menghancurkan bisnis keluarga Lingga. Berbeda dengan Rindu yang berpikir itu bukan rencana yang baik. Menurutnya akan lebih berbahaya jika Lingga mendapatinya membunuh Langit. “Rindu, kamu nggak boleh buang-buang waktu.” “Target utamaku Lingga, Om, jadi aku nggak akan bertindak lebih sebelum ketemu dia.” “Sial!” umpat Rudi dalam hati. Ternyata keponakan yang dirinya didik menjadi iblis betina itu tidak bisa dikendalikan. Rindu bukan lagi gadis kalem yang penurut. Tapi bukankah itu yang dia inginkan? Rindu menjelma menjadi wanita kuat yang tidak bisa dianggap remeh oleh siapa pun? “Om hanya ingin mengingatkanmu untuk tidak mengulur waktu. Semakin lama kamu berada di sana akan semakin berbahaya. “Iya, Om, Rindu ngerti.” Tanpa membalas lagi gadis itu menutup panggilan. Malas rasanya terus didesak. Lagi pula dia tidak ingin memancing perhatian orang lain jika terlalu lama berbicara. Rindu tahu kamar pembantu seperti yang ditempatinya saat ini tidak mungkin kedap suara. Rindu memilih keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokannya terasa kering hanya beberapa saat berbicara. Dia berjalan santai menuju dapur namun sebelum benar-benar sampai langkahnya terhenti. Sosok seorang pria tengah duduk di meja bar menghampiri penglihatannya. Dari posturnya dapat Rindu tebak bahwa tubuh yang duduk memunggunginya itu adalah tubuh Langit. Pria yang siang tadi ikut makan siang bersamanya di meja makan. Sekali lihat saja Rindu sudah bisa mengenali tubuh indah untuk ukuran pria itu. Ragu, Rindu memilih kembali ke kamar karena dia pikir mungkin saja Langit mendengar percakapannya dengan Rudi beberapa saat lalu. “Kalau sampai dia denger gimana?” bisiknya dalam hati. Dia berbalik hendak berjalan kembali menuju kamar namun urung saat suara pria itu terdengar. “Kenapa nggak jadi?” tanya Langit. “Mm, i-itu, Tuan,” gagap Rindu. Jantungnya berpacu kencang karena takut hal yang dirinya khawatirkan terjadi. “Aku kan udah bilang, jangan panggil dengan sebutan menggelikan itu.” Langit berseru tidak suka. “I-iya, Tu ... maksudku, eh, maksud saya, em ... Mas.” Rindu tersenyum canggung kemudian berjalan pelan ke dapur. “Aduh gimana nih kalau tuan muda sombong ini denger? Bisa gagal rencanaku,” gumam hatinya. Sembari mengambil gelas, Rindu melirik pada pria muda yang kembali fokus dengan kegiatannya. Sekaleng bir belum terbuka terpampang di depan pria itu sementara satu kaleng kosong tampak tersingkir beberapa sentimeter di sampingnya. Tidak ketinggalan sebatang rokok terselip di antara bibir indah itu. “Apa yang kamu lihat?” tanya Langit mengembalikan kesadaran Rindu. Rupanya gadis itu terlalu lama mengamatinya. “Eng-enggak, Mas.” Rindu menggeleng cepat kemudian mulai menuang air dingin yang sebelumnya dia ambil dari kulkas. Rindu tidak ingin meminum airnya di depan pria yang membuatnya tergagap beberapa kali itu. Dia tidak ingin tersedak jika tiba-tiba tuan mudanya berseru atau menegur, karenanya Rindu melenggang begitu saja melewati Langit yang tidak ingin beranjak. “Kayak orang frustasi, ternyata anak orang kaya bisa juga galau.” Itu isi dalam benak Rindu. Benar, Langit sedang galau lebih tepatnya sejak kepergian sang papa semangat dalam dirinya menurun drastis. Langit sangat dekat dengan papanya hingga kejadian naas itu terjadi benar-benar membuatnya kehilangan. Apalagi Senja, sang adik harus menempuh pendidikan di negeri kanguru. Tinggallah dirinya dan sang mama yang masih sering dirinya dapati menangis diam-diam. Seperti gadis yang baru saja menutup pintu kamarnya. Langit juga tidak lepas mengamati Rindu. Dia berpikir kenapa gadis muda dengan perawakan mendekati sempurna itu memilih menjadi ART? Padahal menurutnya Rindu sangat mungkin mencari pekerjaan yang lebih baik. Minimal karyawan perusahaan walau dalam posisi operator produksi dengan lulusan SMA yang dia miliki. “Aku melihat aura berbeda dari wajahmu, Sri,” gumamnya hanya bisa didengar olehnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD