Bab 4

1005 Words
Pintu diketuk membuat Rindu menyimpan semua peralatannya begitu saja dalam lemari kemudian menguncinya. Gadis itu berjalan menuju pintu dan memutar handlenya. “Ya, Mbok,” sapanya mengulas senyum. Tak tampak sedikit pun kegugupan dari wajahnya. Sempurna memang dia menguasai ekspresi wajah. “Bu Rere minta kamu makan siang dulu setelah itu baru istirahat.” Mbok Darmi, satu lagi ART yang juga dibawa Rere dari kampung halaman neneknya, menyampaikan perintah majikan. Rindu mengangguk kemudian mengikuti langkah mbok Darmi menuju meja makan. “Ayo, Sri, sini gabung,” lambai Rere. “Um, Bu, saya makan di sini juga?” tanyanya ragu pasalnya tidak pernah dia dapati ART makan satu meja dengan majikan. Sebenarnya itu tidak biasa dilakukan walau Rere kerap meminta dua Simbok makan bersama. Karena baik mbok Yem maupun mbok Darmi memiliki waktu makan yang berbeda. Mereka terbiasa sarapan agak siang jadi tidak ikut bergabung selain karena sungkan. Walau bagaimana pun mereka merasa tetap ada batasan antara rewang dan majikan sekalipun Rere tidak menganggap mereka orang lain. “Tentu saja, semua orang boleh makan bersama di rumah ini. Simbok berdua ini aja yang nggak pernah mau gabung,” cibir Rere membuat duo simbok tersenyum maklum. “Assalamualaikum.” Seorang pemuda menyapa membuat semua orang menoleh pun dengan Rindu. “Siapa dia?” Rindu bertanya dalam hati. Langit berjalan mendekat setelah mengucap salam kemudian mencium kanan dan kiri pipi Rere. Langit selalu pulang dan memilih makan siang di rumah. Pria itu memegang perusahaan sebagai CEO menggantikan sang papa, Lingga. Demian bahkan Alex turun sendiri untuk menggembleng cucu laki-laki mereka sehingga tidak heran dengan usianya yang baru menginjak dua puluh delapan tahun Langit sudah banyak memberikan jasa bagi perusahaan. Merasa ada yang baru dalam pandangannya Langit melirik gadis asing yang duduk di seberang kursinya dengan wajah menunduk. Dia menoleh pada sang mama seolah bertanya. “Namanya Sri, orang yang dikirim Yayasan Semangat Gawe.” Rere yang tahu maksud tatapan sang putra memberitahu. “Dan, Sri, ini Langit putra saya,” ucapnya memperkenalkan sang putra pada ART barunya. “Salam kenal, Tuan muda,” sapa Rindu menundukkan kepala. “Jangan panggil dengan sebutan gitu, geli dengernya,” balas Langit ketus mengudang tepukan di kakinya oleh sang mama. Tentu tanpa seorang pun melihat. “Sombong sekali kau putra Lingga.” Rindu berucap dalam hati sembari mengangguk. Biarlah nanti dia bertanya pada yang lain perihal panggilannya untuk sang tuan muda sombong itu. Tapi tidak Rindu pungkiri, Langit terlihat sangat tampan. “Bukannya orang dari yayasan baru akan dateng besok, Ma?” Langit bertanya sambil mendudukkan diri di seberang gadis pemilik tatapan aneh yang konon ART baru itu. “Mungkin emang dipercepat. Tadi Mama juga agak heran sih Sri datang lebih awal karena nggak ada pemberitahuan dari pihak yayasan. Tapi itu malah bagus kan?” Rere menanggapi santai berbeda dengan Langit yang merasa ada yang aneh dengan gadis itu. Cara menatapnya walau lebih sering menunduk menunjukkan tatapan berani bukan tatapan segan seperti ART pada umumnya. Langit mengangguk walau dipenuhi perasaan curiga. Kedua kakeknya banyak memberi pelajaran bagaimana menilai seseorang dari tingkah laku dan mimik wajah. Tentu perasaan Langit lebih peka daripada sang mama yang memang pada dasarnya hanya memiliki penilaian positif pada semua orang. “Gimana kerjaan di kantor?” Rere lebih banyak berinteraksi dengan Langit sementara tiga ARTnya memilih diam. “Aku ada rencana pembukaan cabang baru di Bandung, Ma.” “Ah, bagus dong.” “Iyah, kemarin aku udah minta saran dari Opa Dammy dan Opa Alex.” “Kenapa aku nggak lihat kepala rumah tangga di rumah ini?” Gemar sekali Rindu menahan suaranya di tenggorokan dan membiarkan hatinya berbicara. Tanpa Rindu sadari sang tuan muda memperhatikan gerak-geriknya. Manis. Satu kata yang terlintas dalam otak Langit ketika melihat lengkung tipis yang terbingkai pada wajah ART barunya. “Siapa yang mau kamu tempatin di sana?” tanya Rere mengembalikan kesadaran Langit. “Belum tahu, Ma ... mungkin Senja.” “Kamu tahu anak itu nggak tertarik urusan bisnis.” Langit mengangguk. “Kita pikirin nanti. Ya udah, aku berangkat, Ma.” Langit kembali mengecup pipi sang mama begitu makan siang mereka selesai. Dia selalu pulang ke rumah saat makan siang dan tidak melakukan pekerjaan di luar jam kerja karena ingin tetap memantau keadaan mamanya. Kejadian tiga tahun silam cukup memberinya pelajaran untuk lebih berhati-hati terhadap setiap orang asing yang bertemu dengan mereka. Kejadian yang sampai sekarang tidak terungkap penyebabnya karena tidak ada bukti yang memperkuat dugaan mereka tentang terjadinya kebakaran rumah yang menewaskan tiga orang tercinta. Tiwi dan Dirga, buyut Langit juga sang papa, Lingga. Tentu saja Langit tidak akan membiarkan begitu saja meski sudah lama berlalu. Walau orang-orang kepercayaan Demian tidak sanggup mengendus pelakunya. “Hati-hati, Nak,” pesan Rere diangguki sang putra. Pria itu melangkah menuju pintu kemudian menghilang setelahnya. Rindu kembali masuk kamar setelah berpamitan dan membiarkan kedua seniornya membereskan sisa makanan mereka. Dia mengambil ponsel kemudian membuka pesan dari sang paman. Om Rudi : Gimana, kamu berhasil masuk? Rindu : Aku udah masuk dan kayaknya mereka nggak curiga, Om. Om Rudi : Bagus, lakukan secepatnya! Rindu : Oke, Om. Tentu saja Rindu akan tunaikan dendamnya sesegera mungkin. Dua tahun dirinya menunggu dan selama itu pula dia berlatih keras agar tidak gagal dalam usaha balas dendamnya. Rindu dituntut belajar berbagai teknik bela diri juga cara memegang perusahaan. Jika mau dia sudah berada pada posisi CEO yang sebelumnya diduduki sang papa namun dirinya memilih menunjuk Morgan - sang suami yang menikahinya satu tahun lalu - untuk menduduki posisi itu karena ingin fokus pada misinya. Yah, Rindu sudah menikah dengan satu-satunya pria yang dengan setia menemani di saat terpahit hidup gadis itu. Om Rudi : Berhati-hatilah, Nak. Rindu : Pasti, Om. Tapi aku belum lihat Lingga di rumah ini. Om Rudi : Jangan fokus pada Lingga tapi anaknya, dia yang sekarang memegang perusahaan milik Lingga. Rindu : Oke, Om. Sebenarnya Rindu bingung kenapa Rudi menyuruhnya menghabisi Langit sementara dugaan sabotase itu mengarah pada Lingga. Sangat tidak adil jika dia menghabisi seluruh keluarga ini. Rindu bertekad hanya akan menghabisi Lingga dan Rere yang benar-benar dianggap dalang kematian orang tuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD