Bab 3

1182 Words
Sri keluar dari taksi online yang membawanya ke rumah mewah milik keluarga Lingga. Asisten rumah tangga yang baru diambil Rere dari yayasan penyalur tenaga kerja itu datang sehari sebelum waktu yang dijanjikan. Mengambil secarik kertas bertuliskan alamat dari dalam tas yang tergantung di salah satu pundaknya, gadis berusia dua puluh lima tahun itu berjalan menuju pos jaga. “Pak, apa benar ini rumah ibu Andrea?” tanya Sri menyodorkan selembar kertas pada sekuriti yang berjaga. “Bener.” Pak sekuriti memperhatikan dari atas ke bawah penampilan gadis manis itu. “Mbaknya siapa?” “Saya ART yang diutus yayasan untuk kerja di sini, Pak.” “Oh, sebentar.” Pak sekuriti dengan nama Sugeng itu mengambil telepon genggam dalam saku celana kemudian mengarahkannya ke telinga. Terdengar oleh Sri pria tambun itu tengah melapor pada penerima panggilan di seberang perihal kedatangannya. “Silakan masuk, Mbak, bu Rere sudah menunggu di dalam,” katanya sembari menutup panggilan. “Bu Rere?” tanya Sri bingung. “Ah, maksud saya bu Andrea. Beliau biasa disapa bu Rere.” Setelah mengangguk Sri berjalan menuju teras kemudian mengetuk pintu. Seorang wanita lumpuh yang Sri perkirakan berusia hampir setengah abad menggunakan kursi roda menyapa penglihatannya. Rere membuka sendiri pintu yang tertutup itu tanpa menunggu ART di rumahnya. “Siang, Bu,” sapa Sri. Rere mengangguk. “Siang,” balasnya tersenyum ramah. “Perkenalkan, Bu, nama saya Sri dari Yayasan Semangat Gawe,” ucap Sri memperkenalkan diri. Wanita di depannya mengulas senyum. “Saya Rere.” “Seorang wanita lumpuh?” tanya Sri dalam hati. Rere mengamati gadis di depannya. “Kalau gitu mari silakan masuk.” Rere menarik kursi rodanya menyingkir ke sisi pintu membiarkan ART barunya masuk. Gadis itu mengangguk kemudian mulai berjalan masuk. “Saya bantu dorong ya, Bu.” Sri meraih pegangan kursi roda kemudian mulai membawa Rere masuk setelah mendapat anggukan sang majikan. Kesan pertama bertemu bisa Sri nilai wanita yang tengah didorongnya adalah jenis wanita welas asih. “Apa dia sedang bermain drama?” Hati Sri berbisik. Benarkah wanita paruh baya itu terlibat dalam pembunuhan orang tuanya? Rasanya Sri tidak bisa mempercayai. Tapi dia tidak akan terpengaruh. Bukankah orang jahat selalu akan terlihat lebih baik daripada orang baik untuk menutupi kejahatannya? Sri mengingat percakapannya bersama paman dan bibinya dua tahun lalu pasca kejadian tragis itu. Dengan kilat penuh kemarahan Rindu memutar-mutar cincin emas putih dengan inisial LA. “Siapa pelakunya, Om?” tanyanya tidak sabar. “Kamu benar-benar ingin tahu?” Rindu mengangguk penuh keyakinan. “Linggananda Brown.” “Pa, apa nggak sebaiknya diselidiki dulu?” Laura memberi saran. Dia tidak ingin Rindu gegabah dan salah sasaran yang akan menyebabkan sang keponakan celaka. “Belum tentu mereka pelakunya,” imbuh Laura. “Orang-orangku sudah menyelidiki, Ma dan satu-satunya saingan bisnis Dharma cuma Lingga,” balas Rudi. Dia meyakini bahwa pelakunya adalah keluarga Lingga. “Linggananda Brown?” Rindu membeo. “Lalu A?” “Andrea Clave, istri dari Lingga.” Rindu mengepalkan tangan kuat. “Akan aku buat kalian mengalami hal yang sama dengan yang menimpa orang tuaku,” tekadnya. Untuk alasan inilah Rindu masuk dalam keluarga Lingga. Tyas Rindu Praditya memperkenalkan diri menjadi Sri, anggota baru dalam kediaman Lingga sebagai ART untuk menjalankan misi balas dendam atas kematian orang tuanya. Rindu tidak serta merta melakukan aksinya. Dia tidak ingin gegabah dan berakhir dengan kegagalan. Walau informasi yang diberikan oleh Rudi terlihat akurat, dia tetap harus berhati-hati dalam mengambil tindakan apalagi setelah memperhatikan sikap majikannya baru saja yang terlihat sangat mustahil melakukan kejahatan. Jika benar Rere adalah salah satu pelakunya, bukankah terlalu lihai wanita paruh baya itu menyembunyikan sikap? Mungkin sambil menjalani peran Rindu bisa melakukan penyelidikan sendiri. “Kita duduk di taman belakang, Sri.” Rere menginterupsi dijawab anggukan gadis itu yang sama sekali tak terlihat oleh Rere karena berjalan di belakangnya. “Iya, Bu.” Rere memperkenalkan Rindu pada dua orang ART yang sedang memasak begitu melewati dapur kemudian meminta tolong salah satu dari keduanya membuatkan minum untuk ART barunya itu. “Berapa usiamu?” tanya Rere begitu mereka berhenti di taman belakang. “Saya dua puluh lima tahun, Bu.” “Sudah menikah?” Rupanya Rere ingin melakukan sesi wawancara. “Mm ... belum, Bu.“ Rindu menjawab ragu. Dia hanya tidak ingin ada pertanyaan lanjutan jika dirinya menjawab jujur bahwa dirinya bersuami. Rere ingat data yang diberikan yayasan padanya bahwa Rindu sudah berkeluarga namun belum memiliki anak. Mungkin gadis itu malu untuk mengakui dirinya berkeluarga. Rere pikir. Dan itu sama sekali tidak masalah selama gadis itu bisa bekerja dengan baik. “Mungkin kerjaan kamu akan lebih berat daripada dua ART di dapur tadi,” kekeh Rere membuat Rindu mengernyit namun tetap diam. “Kamu akan mengurus segala keperluan saya. Apa kamu bersedia?” tanyanya. “Huh? Mengurus orang lumpuh? Yang benar saja!” Lagi-lagi Rindu berucap dalam hati. Di rumah dia adalah ratu yang selalu dimanja kecuali dua tahun terakhir. Dan sekarang dia harus mengurus orang lumpuh. Ternyata balas dendam butuh pengorbanan juga. Pikirnya. “Iya, Bu, saya bersedia.” Memang Rindu punya pilihan? “Jangan khawatir gajimu lebih besar dari dua ART saya sebelumnya.” “Aku nggak butuh uangmu,” bisik hati Rindu sambil tetap mengangguk. “Diminum dulu tehnya.” Sri terkekeh. “Seharusnya ini untuk, Ibu, bukan saya.” “Tidak apa, kamu pasti lelah abis perjalanan jauh.” Sebelumnya pihak yayasan memberitahu orang yang akan mereka kirim berasal dari Solo. Cukup jauh untuk menempuh perjalanan ke Jakarta dan melelahkan tentu saja. “Terima kasih, Bu.” “Kamu akan mulai bekerja besok ya, Sri, sekarang gunakan waktumu untuk istirahat karena setelah itu kamu akan kecapekan mengurus saya,” kekeh Rere. Rindu mengulas senyum kemudian kembali mengangguk. Rere menoleh ke arah dapur. “Mbok Yem bisa minta tolong anter Sri ke kamar?” “Njih, Non.” Mbok Yem bekerja pada Rere setelah kedua kakek nenek Rere meninggal pasca musibah kebakaran tiga tahun silam yang juga menewaskan Lingga. Wanita yang kini terlihat renta itu masih memanggil Rere dengan sebutan Nona. Kebiasaan. Kata mbok Yem saat Rere memintanya untuk memanggil dengan nama saja. “Monggo, Sri,” ucapnya membuat Rindu mengekor. “Ini kamarmu, semoga betah ya, Sri.” Mbok Yem berujar kemudian berlalu setelah mendapatkan ucapan terima kasih gadis itu. “Lumayan nyaman untuk ukuran kamar pembantu,” gumam Rindu mengamati kamar berukuran tiga kali tiga meter persegi dengan dinding warna putih itu. Dia berjalan menuju lemari dua pintu dalam kamar kemudian mulai menata barang bawaanya. Bukan pakaian seperti yang dibayangkan setiap orang tapi yang dibawa Rindu adalah sebuah kamera pengawas, sebuah laptop, sebuah senjata api yang dilengkapi alat yang dapat meredam suara ledakan dan beberapa peralatan kecil yang dirasa berguna. Dia hanya membawa dua pasang pakaian, sisanya akan dia beli kemudian. Rindu mulai mencari celah untuk memasang kamera pengawas di kamarnya agar tidak terlihat oleh siapa pun. Dengan obeng yang dia bawa Rindu berhasil membobol sedikit kayu pada sisi lemari kemudian menyisipkan alat itu. Tidak terlihat karena berukuran mini. Tujuan Rindu memasang kamera pengawas adalah untuk mengamati jika ada orang yang mencurigai dan memeriksa kamarnya. Dia ingin memastikan rencananya berjalan mulus tanpa halangan apapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD