Bab 8

1154 Words
“Sayang, kayaknya aku nggak asing deh sama cewek tadi,” ucap Anyelir merasa sedikit familiar meskipun Rindu menutup wajahnya dengan masker. “Oh ya?” Langit menoleh tertarik. “Kok kamu semangat gitu?” Anyelir bertanya tidak suka. Mendengar ada ART baru muda dalam rumah itu saja membuat hatinya panas apalagi Langit memberikan atensi lebih saat dirinya membahas gadis yang konon ART itu. “Bukan gitu ... masalahnya dia baru datang dari kampung.” “Emang dari mana?” “Solo kayaknya.” “Tapi ... postur tubuhnya mirip Rindu.” “Rindu?” Langit familiar dengan nama itu namun otaknya tidak sampai mengingat. “Iyah, Rindu ... itu loh, cewek adik tingkat kita di kampus dulu.” Langit menggeleng tidak mengingat apapun. Saat kuliah pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan jarang mengurusi hal-hal yang berbau wanita. Lagi pula mereka berbeda fakultas walau gedungnya berdampingan. “Namanya Sri, bukan Rindu.” “Emang bukan sih kayaknya, soalnya yang ini glowing. Kalau Rindu kan dekil, item.” “Nggak tahu deh.” “Kutu buku, sih!” cibir Anyelir membuat seutas senyum terbit di bibir Langit. “Nggak penting juga!” Ini yang Anyelir suka dari Langit. Pria itu tidak pernah memikirkan wanita lain selain dirinya. Bahkan dirinya yakin akan segera menjadi nyonya dalam rumah mewah milik keluarga Langit. “Sayang, nggak mau lanjut, nih?” Anyelir melangkah mendekat kemudian duduk tepat di samping kursi sang CEO. Langit terkekeh namun tak urung meraih tubuh sintal itu mendekat. “Lanjut dong,” balasnya menggoda. Tanpa menunggu lagi segera dia lumat bibir yang menggodanya sejak tadi. Mereka memang kerap kali melakukan aksi m***m di kantor. Tentu saja karena Langit adalah lelaki normal yang tidak kuat godaan. Dari segi apapun gadis yang sekarang berstatus kekasihnya itu terlihat menarik. Wajahnya yang cantik dengan tubuh seksi. Dan itu selalu membuat Langit lupa segalanya. Tidak peduli dengan kondisi Anyelir yang sudah tidak suci saat dirinya sentuh pertama kali. Paling penting baginya adalah Anyelir selalu mampu menuntaskan hasrat untuk mengurangi stres yang kerap menghampiri otaknya beberapa tahun ini. Anggap Langit jahat karena memanfaatkan gadis itu dengan embel-embel status kekasih karena sejujurnya tidak ada sedikit pun perasaan cinta untuk gadis itu. Itu juga alasan yang membuat Langit enggan menjadikan Anyelir sebagai istri meskipun hubungan mereka sudah terlalu jauh. Langit tidak pernah mencintai siapa pun kecuali mama dan adiknya, Senja. Dua wanita terhormat yang akan dijaganya sampai mati. Tok Tok Tok “s**t!” umpat Langit mendengar pintunya kembali diketuk. Bagian inti tubuhnya sudah menegang dan lagi-lagi ada gangguan. Langit bersumpah akan memarahi sang pengganggu jika tidak ada hal penting yang disampaikan. “Siapa sih, ganggu aja!” kesal Anyelir berjalan membuka pintu. Rindu muncul dengan wajah polos tanpa dosa karena lagi-lagi wajahnya tertutup masker tanpa ada yang tahu mimik menyebalkan di baliknya. Yah, gadis itu sengaja kembali karena merasa dua manusia m***m itu akan kembali melanjutkan aksi mereka. Terbukti saat Rindu kembali memutar handle pintu diam-diam karena lagi-lagi tidak terkunci. Ceroboh memang dan Rindu sangat menyukai permainan ini. “Ada apa lagi?” tanya Langit marah. Sudah dia katakan akan dia marahi siapa pun jika tidak ada kepentingan. “Anu, Mas, saya ... mau nunggu di sini sama mas Langit untuk nebeng pulang.” “What?” Dua manusia m***m kompak berteriak. “Eh, Pembantu! Nyadar dong, kamu pikir kamu siapa, huh?” Anyelir tidak bisa lagi menahan amarah. Dua kali dia gagal membuat Langit menggagahinya. Padahal dia merencanakan untuk membuat pria itu melakukannya tanpa pengaman dengan menyembunyikan balon yang biasa Langit pakai. Hal itu sengaja dia lakukan agar dirinya hamil dan segera mendapat pertanggung jawaban dari laki-laki yang konon mencintainya tapi tidak juga menikahinya itu. “Tadi kamu ke sini naik apa?” tanya Langit berusaha menguasai amarah. “Taksi online.” Rindu menjawab polos. Sok polos lebih tepatnya. “Ya udah pake aja taksi online. Apa susahnya sih?” sambar Anyelir kesal bukan main. “Masalahnya saya nggak bawa HP, Mbak.” Itulah alasan penuh kebohongan yang membuat Rindu nekat kembali, selain karena dirinya ingin bermain-main sebentar dengan dua manusia korban nafsu itu. “Ya udah nih!” Langit mengambil dompetnya dalam laci meja kemudian memberikan beberapa lembar uang berwarna merah. “Tapi saya tidak biasa naik taksi umum, Mas. Saya lebih merasa aman pakai taksi online.” Lagi-lagi Rindu memberi alasan hanya untuk mengulur waktu hingga jam makan siang tiba. Karena dia yakin saat itu tiba maka habis lah kesempatan untuk keduanya berbuat m***m. “Mau kamu apa sih sebenernya?” tanya Anyelir habis kesabaran. “Pulang.” “Ya udah pulang sana! Susah amat!” Teriakan Anyelir bahkan sampai membuat Rindu berjengkit saking kencangnya. Refleks gadis itu menutup telinga. Beruntung ruangan itu didesain kedap suara sehingga para karyawan yang sudah mulai berhamburan karena jam makan siang tiba tidak sampai mendengar jeritnya. Rindu mengulurkan tangan meminta uang yang sempat dirinya tolak. “Baiklah, saya akan naik taksi umum aja. Oh ya, Mas, bu Rere pesan agar bekalnya dimakan. Kasihan mbok Yem dan mbok Darmi capek-capek masak kalau nggak dimakan.” Langit tidak lagi menjawab dan hanya mengibaskan tangannya mengisyaratkan agar Rindu segera keluar. “Permisi,” pamit Rindu membuat Anyelir mengepalkan tangan. Musuh baru nih! Anyelir pikir. “Ya udah, kita makan aja.” Langit meraih tangan Anyelir membawanya ke sofa untuk menikmati makan siang mereka. “Udah, jangan manyun aja, ntar jelek loh.” “Iyah, kayak Sri!” ketusnya. “Kok Sri?” tanya Langit tidak mengerti. “Kenapa? Nggak terima pembantu baru itu dibilang jelek?” Wah, Anyelir makin jengkel. “Lah, kok jadi marah sama aku?” Anyelir tidak suka saja Langit tidak tegas pada ART baru itu. Dia merasa akan mendapatkan saingan karena sepertinya Rindu sengaja membuatnya naik darah. “Tegas dikit lah sama pembantu macam dia! Lagian ngapain nyari pembantu muda?” Tawa Langit berderai. “Hahaha, jadi si cantik ini jealous ceritanya?” “Enggak level!” Langit mengangkat wajah gadis yang kini lebih banyak berpaling karena marah itu untuk menatapnya. “Kamu pikir aku akan jatuh cinta sama pembantu?” “Siapa yang tahu?” Anyelir mengedikkan bahu. “Udah nggak usah dipikirin. Lagian Sri itu dikirim dari yayasan dan mama emang nggak nentuin kriteria kayak gimana orang yang mau diambil. Jadi ya ... udah, emang yang dateng dia, masa mau diusir?” Tetap saja Anyelir tidak bisa terima. Di kantor pembantu itu memakai masker pasti di rumah akan cari-cari perhatian dengan berpakaian seksi. Itulah isi pikiran Anyelir mencerminkan dirinya sendiri. Karena biasanya seseorang akan memiliki kecenderungan menilai orang lain berdasarkan perilaku sendiri. Seseorang akan menganggap orang lain ghibah karena dirinya suka ghibah. Seseorang tidak akan mudah percaya pada orang lain karena dirinya sering kali berbohong. Bukankah seperti itu? Sementara di tengah kemarahan, Langit justru merasa geli dengan sikap ART barunya. Tidak mungkin sang mama membiarkan Rindu pergi tanpa memberinya ongkos jalan. Apa itu hanya akal-akalan gadis itu saja untuk meminta uang jajan atau Rindu memiliki maksud tertentu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD