Bab 11

1093 Words
Rindu berjalan menuju dapur kemudian mengambil sebotol air mineral dari kulkas sebelum menuangnya dalam gelas dan mulai menenggak perlahan. Lagi-lagi dia terbangun tengah malam karena mimpi buruk. Bayang-bayang orang tuanya terus menari sekalipun dalam mimpi membuat Rindu tidak tenang. Dalam keremangan Langit yang duduk sendiri di ruang keluarga memperhatikan dengan seksama. Fokus Langit tertuju pada pakaian yang dikenakan ART barunya. Baru kali ini dia dapati Rindu dengan penampilan berbeda. Sebuah dress di atas lutut dengan tali spageti nampak menarik di tubuh gadis itu. Walau tidak begitu jelas memperlihatkan lekuk tubuhnya tapi bisa Langit tangkap bayangan tubuh Rindu karena bahan dress itu sedikit transparan. Gerakan yang biasa itu terlihat berbeda di matanya. Rindu terlihat seksi malam ini. Sial! Sisi liar Langit bangkit. “Astaga!” kaget Rindu ketika berbalik menabrak tubuh kekar sang tuan muda. Langit menyilangkan tangan di depan d**a memperhatikan dari atas ke bawah tubuh di depannya membuat Rindu menunduk malu. Detik berikutnya gadis itu mengambil langkah ke samping dan melipir ke kamar. Namun sebelum niatnya terwujud Langit sudah lebih dulu mencekal pergelangan tangannya dan menghimpitnya ke dinding. “Kamu nggak sadar kalau di rumah ini ada laki-laki normal?” tanyanya mengundang kernyitan di dahi Rindu. “Kamu nggak sadar penampilan kamu bisa membangkitkan gairah seorang laki-laki?” Blush “Maaf, Mas, permisi.” Rindu coba melepaskan diri dari kungkungan Langit. Tenaganya cukup kuat karena sering melakukan latihan fisik namun tak mampu melawan Langit yang terpaksa menggunakan sedikit tenaga untuk menahannya. Langit sendiri heran, badan kecil seperti Rindu bisa mengeluarkan tenaga yang cukup kuat. “Tolong lepasin, Mas, saya mau ....“ “Mau apa?” potong Langit. “Mau godain aku?” Rindu menggeleng cepat. Tidak terbersit secuil pun dalam benaknya untuk menggoda pria sombong itu. Lagi pula Rindu memiliki suami yang menurutnya lebih sempurna daripada Langit. Rindu terbiasa tidur dengan pakaian seperti itu. Sebelumnya dia hanya memakai daster karena tidak ingin terlihat mencolok namun lama-lama gerah juga sehingga dia memilih melakukan kebiasaannya seperti saat di rumah. “Enggak,” elak Rindu. “Terus ngapain pake baju seksi gini?” “Aku biasa pake baju gini kok.” Hilang sudah rasa hormat Rindu untuk si tuan muda hingga panggilan diri yang biasa dia gunakan kata ‘saya’ berubah menjadi ‘aku’. Langit mengangkat sebelah sudut bibirnya. Sudah mulai berani rupanya gadis itu. Rindu memberanikan diri mengangkat wajah. Entah kenapa senyum smirk itu terlihat menarik baginya hingga lekat ditatapnya bibir pria di depannya. Menyadari Rindu memperhatikan bibirnya, Langit dengan gerakan perlahan mendekatkan wajah. “Suka sama bibirku, huh?” bisiknya. Blush “Menjengkelkan!” Batin Rindu berteriak. Kenapa pula dia harus memperhatikan bibir sialan itu? Terlanjur malu, Rindu jadi ingin membalas. “Suka sama tubuhku, huh?” tantangnya. Netra Langit sontak membola. Bukan cuma berani berpakaian seksi ART barunya juga berani menantangnya. Belum pernah sekali pun dia melihat ART berani bersikap seperti itu pada majikan. Apa jangan-jangan Rindu sengaja melakukan itu benar-benar untuk menggodanya? “Hahaha,” gelaknya mengalihkan pandangan. “Kenapa?” “Kamu pikir aku doyan sama pembantu?” Rindu mengedikkan bahu. “Ada yang terasa keras di perutku,” bisiknya tepat di depan wajah Langit karena pria itu kembali mendekatkan wajah. “Sri sialan!” geram Langit dalam hati. Berani-beraninya gadis itu mempermalukannya. Kesal, Langit meraih bagian belakang kepala Rindu kemudian menariknya. Ciuman itu tak terelakkan. Dengan kasar Langit memagut bibir indah di depannya. Persetan dengan cibiran yang akan Rindu layangkan setelahnya. “Nantangin, huh?” tanya Langit begitu pagutan keduanya terlepas. Namun bukan sorot berani seperti sebelumnya, yang nampak di depan Langit saat ini adalah wajah merona Rindu dengan bibir bengkak dan tatapan menghindar. Sepertinya Rindu salah memilih lawan bermain dan dia kalah. Langit memundurkan tubuh kemudian kembali menyilangkan tangan di depan d**a. Melihat kesempatan itu Rindu segera menyingkir dan berjalan cepat menuju kamar. “Jangan pernah nunjukin tubuh kerempengmu dengan baju kayak gitu depan aku!” seru Langit sedikit kencang karena Rindu mulai menjauh. “Kerempeng gini bikin kamu nafsu,” gumam Rindu. “Aku denger, Sri.” Langit memperhatikan gadis itu hingga pintu tertutup. Dia tersenyum geli. Bisa-bisanya Langit melakukan hal konyol seperti tadi. *** Rindu urung melanjutkan langkah dan memilih menguping dari balik pintu saat mendengar bisik-bisik dua simbok tengah membicarakan keluarga majikannya. Kesempatan bagus! Tidak akan dia sia-siakan. “Banyak banget belanjaannya, Mbok?” tanya mbok Darmi karena belanjaan yang dibawa rekannya tumpah ruah, sepertinya cukup untuk makan warga satu RT jika dimasak semua. “Lupa? Nanti malam kan ada acara tahlilan almarhum pak Lingga dan bapak ibu sepuh.” “Almarhum?” tanya batin Rindu dengan netra membola. Entah karena jaraknya yang terlalu dekat atau telinganya bermasalah hingga terdengar hal tidak masuk akal itu. “Oh iya, ini tahun ketiga ya. Aku malah lupa, Mbok.” “Tahun ketiga?” Lagi, Rindu bertanya dalam hati. Otaknya berpikir keras. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan sekitar dua tahun dua bulan lalu tapi Lingga meninggal tiga tahun lalu? Ada yang tidak beres. Mbok Yem mengangguk. “Aku juga ndak inget tapi kemarin non Rere memberi tahu. Nggak terasa ya, sudah tiga tahun non Rere menjalani kesendirian. Kehilangan tiga orang sekaligus. Kalau aku ada di posisi non Rere mungkin aku sudah gila, Mbok.” “Non Rere juga sebenarnya mungkin sama seperti orang lain, Mbok, merasa kehilangan, merasa sedih luar biasa cuma non Rere itu pandai menyembunyikan perasaan. Aku sering melihat dia menangis diam-diam.” “Iya, bukan cuma non Rere, mas Langit juga sering termenung dan menghabiskan malam sendirian di ruang tengah.” “Mosok to, Mbok?” Suara Mbok Darmi meninggi karena terkejut. Dia tidak menyangka sang tuan muda yang terlihat baik-baik saja juga nyatanya banyak menanggung beban mental. “Ssstt, jangan kenceng-kenceng!” “Keceplosan, Mbok.” Tidak ingin ketahuan, Rindu melangkah kembali ke dalam kamar. Dia akan mencari informasi melalui internet apa yang baru saja didengarnya. Orang seterkenal Lingga tidak mungkin tidak diberitakan. Dia merutuki diri karena tidak pernah bermain sosial media dan hanya fokus pada dendam. Rindu membuka laptop dan mengetikkan kata kunci ‘Linggananda Brown’ dalam pencarian. Semua informasi tentang Lingga terpampang di sana. Rindu membuka artikel dengan judul ‘Linggananda Brown Meninggal Dalam Musibah Kebakaran’ yang ditulis hampir tiga tahun lalu. Kurang puas dengan satu artikel, Rindu membuka artikel berikutnya dan isinya hampir sama. Ternyata benar, Lingga sudah meninggal dunia. Apakah Rudi sudah mengetahui informasi itu sehingga selalu mengatakan untuk mengabaikan Lingga dan fokus pada Langit? Karena sebenarnya Lingga sudah meninggal dan itu terjadi sebelum orang tua Rindu meninggal? Apakah itu berarti pelaku kecelakaan orang tuanya bukan keluarga Lingga. Ini aneh. Rindu sibuk dengan isi otaknya. “Lalu siapa pelakunya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD