Bab 12

1119 Words
“Gimana?” tanya Langit saat anak buahnya datang memberi informasi. “Tidak ada nama Sri dalam alamat yang Anda kirim, Bos,” sahut Dani sembari memberikan map berisi berkas hasil penyelidikan. Dua hari lalu Langit memberinya perintah untuk menyelidiki gadis bernama Sri yang menjadi ART baru di rumah majikannya. “Di sini lengkap berisi keterangan dari yayasan juga,” imbuhnya. Langit membuka berkas yang diberikan Dani. “Sri Mulyani?” Nama dari yayasan itu berbeda dengan nama yang tertera pada kartu identitas yang sempat Langit minta pada Rindu dengan alasan untuk laporan pada ketua RT beberapa hari lalu. Dimana dalam kartu identitas itu tertulis Srindu sebagai nama gadis itu. Agak aneh juga orang tua Rindu memberi nama. Kenapa tidak Sri saja atau Rindu, mungkin? Bukankah itu terlihat lebih luwes? “Iya, Bos, nama ART yang disalurkan oleh yayasan adalah Sri Mulyani.” Dalam kartu identitas Langit juga membaca status Rindu masih lajang berbeda dengan keterangan yayasan yang mengatakan bahwa Rindu adalah janda tanpa anak. Kedatangan Rindu satu hari lebih awal dari waktu yang dijanjikan juga menjadi hal yang membuat Langit merasa ada keanehan. “Siapa dia sebenarnya?” tanya Langit dalam hati. “Kalau benar bukan dia orang yang seharusnya masuk, lalu apa motif Sri?” “Maaf, Bos cuma itu yang saya temukan,” ungkap Dani tidak enak hati. “Nggak pa pa, ini udah cukup. Terima kasih atas bantuannya. Kamu boleh kembali.” Dani adalah orang kepercayaan Langit yang diberikan oleh mendiang ayahnya. Sebelumnya pria yang hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Langit itu mengabdi pada Lingga. “Baik, Bos.” Dani menyahut kemudian bangkit setelah berpamitan. “Penyusup!” seru Langit dengan senyum sinis. Berbeda dengan Lingga yang lebih kalem dalam menghadapi masalah, Langit cenderung berapi-api. Bahkan dengan mudah dia memarahi karyawannya jika sedikit saja melakukan kesalahan. Langit lebih dominan dan arogan daripada sang ayah. “Kamu salah tempat, Gadis! Berani-beraninya kamu masuk kandang harimau.” “Sayang hari ini kita ada pertemuan dengan Mr. Hotaka.” Pernyataan Anyelir yang tiba-tiba duduk di hadapan mengagetkannya. “Kamu bisa kan ketuk pintu dulu sebelum masuk?” protes Langit membuat Anyelir mengernyit karena tidak biasanya pria itu protes dengan hal kecil yang kekasihnya lakukan. “Kenapa sih, kok tetiba aneh?” “Nggak ada yang aneh. Saya cuma ingin kita profesional dalam urusan kerjaan.” “Saya? Hahaha.” Gelak tawa Anyelir terdengar nyaring. Dia merasa Langit seperti wanita yang tengah mengalami PMS. “Ada yang lucu?” Sorot serius itu membuat Anyelir bungkam. Gadis itu tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Anyelir hanya masuk untuk memberi laporan. Oke, dia salah karena tidak mengetuk pintu. “Kamu kenapa sih? Gara-gara nggak ngetuk pintu, kamu marah sama aku?” “Profesional, Anyelir!” “Baiklah, saya minta maaf karena masuk tanpa mengetuk pintu. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa hari ini Bapak ada meeting dengan Mr. Hotaka dari Jepang.” Langit mengangguk. “Terima kasih. Kamu boleh keluar.” “What?” pekik Anyelir dalam hati. Dia menganga tak percaya diusir langsung oleh pria terkasih. Tidak ada yang salah dengan kalimat Langit. Anyelir hanya merasakan nada berbeda dalam kalimat itu. Menjengkelkan! Tanpa menunggu diperintah dua kali gadis itu bangkit kemudian berlalu dengan wajah ditekuk namun apa Langit peduli? Tidak! “Kayaknya aku harus selidiki sendiri,” gumam Langit mengingat sikap Rindu setiap kali bertemu dengannya. “Aku udah bisa lihat dari awal kamu bukan wanita biasa. Untuk apa kamu masuk ke rumahku?” Tanpa sadar Langit terkekeh membayangkan sikap konyolnya beberapa hari lalu bersama Rindu di dapur. “Kenapa aku jadi mikirin dia sih?” Pintu diketuk membuat Langit mengalihkan tatapan ke arah pintu. “Masuk!” serunya. Sosok yang baru saja mampir dalam benaknya muncul dengan wajah tak berdosa. Walau tertutup masker Langit sudah sangat hafal bentuk wajah gadis itu. “Sri,” lirih Langit. Dia mengerjap beberapa kali berharap sosok yang berjalan mendekat itu berubah menjadi siapa pun, hantu juga boleh asal jangan Rindu karena bisa saja ini adalah hasil dari imajinasi liar Langit karena terus memikirkan ARTnya itu. “Maaf, Mas aku disuruh bu Rere bawain makan siang.” Namun panggilan Mas yang keluar dari mulut gadis itu membuat Langit yakin bahwa ini nyata. Rindu menyodorkan paper bag berisi makanan itu ke hadapan Langit. Tidak ada laporan dari Anyelir. Biasanya setiap ada tamu gadis itu selalu memberitahu lebih dulu apalagi yang datang Rindu. Wanita yang sangat Langit tahu dibenci setengah mati oleh kekasihnya. “Kenapa kamu bisa masuk? Apa nggak ada orang di depan?” tanya Langit heran. “Maksud Mas Langit, mbak Anyelir?” Rindu balas bertanya. “Siapa lagi?” “Nggak ada siapa pun di depan.” Langit melirik penunjuk waktu yang melingkar pada pergelangan tangannya. Pukul sebelas lebih tiga puluh tiga menit artinya waktu makan siang sudah tiba. Ah, gadis itu pasti sudah ke kantin. Biasanya selalu berpamitan. Mungkin Anyelir marah karena sikapnya baru saja. Pikir Langit. “Kalau gitu temenin aku makan!” titahnya tanpa menoleh pada gadis di depan yang membulatkan mulut yang tidak terlihat karena tertutup masker. “Aku?” tanya Rindu menunjuk dirinya sendiri. “Emang di sini ada siapa lagi?” Rindu menoleh sekeliling karena belum percaya dirinya yang dimaksud. Tidak ada siapa pun. Apa itu berarti Langit memintanya menemani makan siang? “Iya, aku pingin kamu nemenin aku makan siang.” Seolah mengerti apa yang Rindu pikirkan Langit kembali buka suara. “Tapi ....“ “Kenapa? Kamu mau dipecat gara-gara nggak nurut sama majikan?” Rindu menggeleng cepat. “Jangan, Mas.” Enak saja, misinya belum berhasil masa harus dipecat. Sia-sia Rindu merendahkan harga diri jika waktunya di rumah itu hanya sampai saat ini. “Ya udah.” Langit berjalan menuju sofa sambil menjinjing paper bag pemberian Rindu. “Duduk!” titahnya membuat gadis itu dengan canggung menurut. Langit membuka dua kotak nasi dari dalamnya. Biasanya Rere mengirim makanan dengan rantang kenapa ini dalam bentuk box? “Simbok nggak masak?” tanya Langit. “Ini masakan simbok.” Langit mengangguk walau otaknya dipenuhi keraguan. Dia menyerahkan satu box nasi pada Rindu. “Emang kamu mau makan pake masker?” “Aku udah kenyang, Mas.” Rindu tersenyum canggung. “Terus ini buat siapa?” “Buat mbak Anyelir, mungkin?” “Anyelir udah pergi ke kantin.” “Ya udah buat Mas Langit aja semuanya.” Tanpa menunggu lagi Langit membuka mulut dan menyuapkan sesendok makanan yang sudah dirinya buka sembari menggerutu, “Emang aku karung?” Rindu menghitung mundur, tiga, dua, satu! “Wuek! Makanan apa ini?” tanya Langit kesal karena makanan itu lebih terasa seperti garam bukan perpaduan bumbu sedap yang biasa simbok masak. “Kenapa, Mas?” tanya Rindu dengan wajah polos. “Kamu ngerjain aku ya, Sri?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD