Bab 10

1199 Words
Seminggu, waktu yang dihabiskan Rindu dalam rumah keluarga Lingga tapi tidak menghasilkan apapun. Ini yang membuat Rudi uring-uringan. Semakin lama sang keponakan bertahan dalam keluarga Lingga semakin berbahaya untuk gadis itu. Rudi yakin Langit bukan laki-laki yang tidak peka jika sedikit saja Rindu melakukan kesalahan. Rudi mendial nomor Rindu untuk ke sekian kali tanpa direspon sang keponakan. “Ngapain aja kamu di sana, Rindu?”geram Rudi sambil terus berusaha menghubungi. “Kamu pikir sedang bermain petak umpet kalau ketahuan hanya dijadikan penjaga? Kamu akan mati kalau Langit menyadari penyamaranmu.” “Halo, Om,” bisik Rindu dari seberang. “Kemana aja, Kamu?” tanya Rudi tidak sabar. “Aku abis nganter Rere ke kamarnya.” Bohong! Rindu sedang fokus menggunakan laptop untuk coba meretas data perusahaan milik Langit. Niat awal tidak ingin melibatkan perusahaan urung karena Langit terlihat mengintimidasinya. Rindu ingin sedikit bermain-main dengan pria muda yang suka meledak-ledak saat marah itu. “Sepertinya kamu terlalu nyaman dengan pekerjaan baru kamu?” cibir Rudi. “Cuma pingin main-main bentar, Om, sambil nunggu Lingga balik.” “Omong kosong apa itu, Rindu? Ini masalah nyawa dan kamu ingin bermain-main?” “Selow, Om, aku akan hati-hati. Om nggak usah khawatir.” “Gimana Om nggak khawatir, udah seminggu dan kamu belum juga melakukan aksimu. Kalau Langit sampai tahu gimana?” “Ya udah, tinggal tembak dan pergi,” kekeh gadis itu membuat Rudi menggeleng tak percaya. “Sudah Om katakan, habisi Langit segera. Tidak perlu menunggu ketahuan.” “Lalu Lingga?” “Dengan membunuh Langit kamu sudah berhasil membuat Lingga hancur. Jadi jangan buang waktu.” Benar yang Rudi katakan, hanya saja Rindu masih penasaran dengan keluarga itu yang terkesan penuh misteri. Banyak hal yang ingin Rindu ketahui namun tidak bisa dia dapatkan dengan mudah. Bahkan dua simbok juga tidak pernah lagi membahas tentang keluarga itu membuat Rindu seolah kehilangan clue. Mau tidak mau harus dia selidiki sendiri dan sebelum kenyataan itu dia dapatkan, Rindu tidak akan melakukan aksinya. Bodoh memang, karena itu sama saja membahayakan nyawanya sendiri. Yang membuatnya heran adalah dirinya justru merasa nyaman berada di dekat Rere. “Aku akan bertahan sedikit lebih lama, Om. Dan selama itu aku harap Om jangan terlalu sering hubungin aku karena bisa aja rahasiaku kebongkar kalau ada yang denger percakapan kita.” “Tapi Rin ....“ “Udah dulu ya, Om aku ada kerjaan,” potong Rindu mengakhiri panggilan. Dia tidak ingin berlama-lama berbicara khawatir mengundang kecurigaan. Rindu mematikan laptop. Belum berhasil dirinya menembus keamanan data perusahaan Langit, tenggorokannya terasa kering. “Lagi ngapain, Mbok?” tanya Rindu menghampiri mbok Darmi yang terlihat sibuk sendiri di dapur, untuk mengambil minum. “Eh, Sri ... ini Simbok lagi bikin sop iga.” “Wah, enak tuh, Mbok,” balas Rindu dengan mata berbinar. Masakan yang menjadi salah satu favorit Rindu. “Mbok Yem ke mana?” Simbok yang aktif walau usianya sudah tua itu tidak terlihat batang hidungnya. “Lagi anterin minum ke depan. Ada tamu ... pacarnya mas Langit.” Uhuk! Rindu terbatuk hingga minuman di mulutnya muncrat. “Gawat! Masker mana masker!” seru batin Rindu kemudian berjalan cepat masuk kamar. “Sri, mau ke mana?” “Kamar bentar, Mbok.” “Nggak pingin kenalan? Baik lho orangnya.” Rindu menggeleng dan menular pada lawan bicaranya, dalam artian berbeda. “Padahal mau tak suruh bantuin biar cepet selesai,” gumam mbok Darmi. “Tadi kayaknya ada Sri di dapur, Mbok?” tanya Rere tiba-tiba membuat mbok Darmi berjengkit. “Ya Allah, kaget Simbok, Non.” Rere terkekeh. “Maaf, Mbok.” “Tadi ada tapi buru-buru masuk pas Simbok bilang ada pacar mas Langit di depan.” Rere mengernyit. Dia berpikir Rindu takut bertemu dengan Anyelir karena sudah membuat ulah di kantor. Dia jadi gemas sendiri. “Ya udah, Mbok, saya ke depan dulu.” “Njih, Non.” Sementara di ruang tamu, Anyelir beberapa kali melirik ke dalam mencari-cari sosok yang Langit katakan ART baru dalam rumah itu. Sudah hampir satu jam dirinya berbincang dengan calon mertuanya, gadis udik yang dia cari belum juga muncul. “Tante punya pembantu baru, ya?” Anyelir memberanikan diri bertanya. “Ah, iya ... namanya Sri.” “Kok dari tadi nggak keliatan, Tan.” “Mungkin di kamar.” “Di kamar? Enak banget tuh pembantu, dua temennya sibuk dia malah asik-asikan di kamar.” Batin Anyelir berucap. Seolah mengerti apa yang Anyelir pikirkan, Rere berkata, “Dia nggak bertugas ngurus rumah jadi agak santai.” “Terus kerjaan dia ngapain, Tante?” Sudah seperti detektif saja Anyelir banyak bertanya. “Apa jangan-jangan dia sengaja disuruh buat mata-matain gue sama Langit?” lanjut batinnya. “Kamu tahu sendiri kan Tante nggak bisa ke mana-mana sejak lumpuh, makanya Tante cari orang buat nemenin Tante kalau lagi ada hal yang pingin Tante lakuin. Istilahnya, buat ngurusin Tante lah.” “Kan udah ada duo simbok, Tan.” “Tante nggak tega nyuruh mereka ngurus Tante juga. Simbok udah makin tua dan cepet capek.” Anyelir manggut-manggut walau hatinya terus berspekulasi. Dia yakin bahwa Rere sengaja menghadirkan ART baru untuk membuat pergerakannya tidak bebas bersama Langit. Lagi pula apa susahnya wanita paruh baya itu meresmikan hubungan keduanya, toh Langit sudah sangat mapan secara financial. Mereka juga sudah sangat dekat. Namun berbeda dengan isi pikiran Rere yang tidak ingin gegabah mengambil keputusan. Bukan ingin memilih menantu dengan standar tinggi. Hanya saja bukan perkara mudah memilih orang untuk menemani hidup sang putra yang akan bersedia menua bersama. Apalagi menurut penilaian Rere, calon menantunya itu memiliki gelagat kurang baik. “Assalamualaikum,” sapa suara bernada bas menghampiri kemudian bergabung dengan dua wanita beda generasi yang sepertinya tengah asik berbincang. “Waalaikumussalam.” Rere membalas. “Udah selesai meetingnya?” Sebelumnya Langit ada meeting dengan klien di restauran dekat rumah mereka. Karena itulah Anyelir meminta ikut namun bukan untuk menemani Langit melainkan untuk berkunjung ke rumah calon mertuanya dengan alasan kangen dengan wanita paruh baya itu. Jelas bukan itu maksud Anyelir sebenarnya. “Udah, Ma.” Langit menjawab namun fokusnya beralih pada Rindu yang tengah berjalan ke dapur dengan wajah tertutup masker. “Kenapa tuh anak? Tumben-tumbenan di rumah pakai masker?” tanya hati Langit. “Sri sakit, Ma?” Langit tidak sadar pertanyaannya mengundang kekesalan seseorang. “Hah, sakit?” Rere menoleh ke arah pandang sang putra. Cukup geli dengan sikap Rindu yang sepertinya benar-benar takut hingga nekat menggunakan masker di dalam rumah. “Mungkin flu,” ucap Rere mendukung sandiwara gadis ART barunya. “Tadi pagi nggak pa pa,” gumam Langit membuat sang kekasih berdeham. Sungguh, Anyelir kesal bukan main karena Langit terlihat perhatian pada Rindu. Langit mengalihkan atensinya pada sang kekasih yang dia tahu sedang kesal. “Balik kantor sekarang?” Anyelir mendengus. “Ya udah ayok,” ajaknya dengan wajah tak lagi dibuat ramah kemudian berjalan lebih dulu setelah berpamitan. “Sri,” panggil Rere begitu Langit dan Anyelir berlalu membuat gadis itu mendekat. “Kamu sakit?” “Enggak, Bu, rada gatel aja hidungnya. Kayaknya mau flu.” Rere manggut-manggut disertai senyum geli. “Sepertinya akan seru kalau aku manfaatin Sri buat bikin Anyelir kebakaran jenggot.” Batin Rere tersenyum setan. Biarlah dia jadi setan untuk menyelamatkan sang putra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD