Hari-hari terus berlanjut. Jarum jam terus berdetak. Terang telah berubah menjadi gelap. Kehidupan terus berjalan. Dan Kelvin masih tetap menjadi seorang pembegal. Begitupun Feri masih terus mengikuti balap liar. Hanya untuk mendapatkan uang, mereka mengabaikan sesuatu yang jelas dilarang.
Perjalanan panjang telah sama-sama dilalui Feri dan Kelvin. Mereka berdua telah berjuang keras untuk mencari uang di tepi jurang kematian. Mereka sama-sama melakukan hal yang sangat berbahaya. Dan mengabaikan bagaimana kelanjutan hidup mereka kedepannya.
Terlebih lagi Feri. Dia memang sudah sangat lama bergelut di dunia permotoran dan balap liar. Tapi baru kali inilah dia mengikuti sebuah balap yang hasil balapnya itu bukan untuk dinikmatinya sendiri. Melainkan untuk membantu Kelvin agar bisa keluar dari kecanduannya akan obat-obatan haram itu. Feri tidak ingin hidup Kelvin selalu ada dalam kegelapan, ia yakin suatu hari ini sang teman akan menemukan cahaya untuk berubah.
"Gue kadang suka heran sama lo fer, ngakak juga sih," ujar Kelvin sambil tertawa. Ia baru bangun tidur setelah bekerja pada malam hari. Pekerjaan Kelvin tentu tidak baik dan menyebabkan kerugian bagi orang lain.
Feri hanya bersikap acuh, dia segera menggulung sajadah dan meletakkan di tempat biasa sajadah itu berada. Ia baru saja selesai mengerjakan kewajiban shalat.
"Alah yang penting gue nggak kerja haram ya kayak kalian," balas Feri menatap Kelvin jengah. Saat awal kuliah ia mencoba untuk mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi hanya bertahan sebentar lagi. Rasa lelah yang ia rasakan tidak sebanding dengan upah yang diberikan. Akhirnya Feri memilih jalan yang salah yaitu balapan liar. Ia sudah 2 tahun melakukan aktivitas ini. Uangnya lumayan sehingga Feri bisa bertahan hidup sampai sekarang. Kadang saat ia kekurangan uang, Kelvin membantu begitu saja tanpa pernah pikir panjang. Namun Feri yang merasa tidak enakan jika selalu mengharapkan uang dari sang teman.
Nada menyindir selalu keluar dari mulut Feri, ia berharap ada sedikit saja kesadaran dari sang teman. Feri tidak akan berkata panjang kali lebar karena Kelvin pasti akan merasa sakit kepala saat itu terjadi.
Jika saja Feri tahu bawah kalimat sindiran yang terus diucapkan begitu menancap diri Kelvin. Kelvin sadar perbedaannya dengan Feri sangat jauh. Feri masih menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim, dari SMA Kelvin tahu bahwa Feri sudah menjalankan kewajiban itu. Semua tidak bisa dinilai dari cover semata sehingga jangan pernah merasa diri lebih baik dari orang lain apapun maksiat yang dia kerjakan. Allah yang berkuasa membolak balikkan hati manusia, bisa saja di siang hari ia bermaksiat tetapi di malam hari ia bertaubat kepada Allah.
Balapan liar yang Feri lakukan hanya sekedar hobi saja, tidak ada niat untuk mengumpulkan pundi pundi uang dari sana pada awalnya. Tetapi semenjak Kelvin mengalami kesulitan, Feri terobsesi untuk membantu mengumpulkan uang dengan cara yang dia bisa.
"Okey kita memang kerja haram seperti yang lo bilang," ujar Kelvin tidak membantah perkataan dari sang teman. Ia sangat tahu bahwa mendapat uang dengan jalan yang salah. Tetapi apa boleh buat karena Kelvin harus menghasilkan uang.
"Gue nggak percaya sama tuhan. Mau gue baik ataupun buruk, hidup gue juga nggak bakal berubah. Gue tetap akan dibuang sama Pak tua itu," lanjut Kelvin lagi. Ia tidak percaya lagi terhadap kehidupan ini, terlalu kejam untuk dijalani. Terlalu lelah untuk dipikirkan.
"Lo banyak berubah ya Vin, dulu lo nggak kayak gini. Allah itu selalu ada buat lo cuma lo aja yang menutupi kenyataan itu dengan alibi dipikiran lo. Lo sendiri yang membuat kehidupan lo hancur, jangan nyalahin tuhan."
Feri kesal dengan pemikiran Kelvin, bagaimana mungkin hidupnya tidak hancur jika ia sendiri yang memulai untuk menghancurkannya. Hidup ini adalah pilihan, maka tergantung individu pilihan mana yang mereka ambil.
"Haha lo ngelawak, waktu gua diperlakukan layaknya binatang sama pak tua itu kemana tuhan? Coba lo jawab, jangan berlagak nyeramahin gue lo." Kelvin tidak terima dengan penuturan sang teman.
"Lo nyalahin tuhan sekarang? ayah mana didunia ini yang akan terima sama kelakukan anaknya yang kayak lo. Lo harusnya sadar, kalau aja dulu lo nggak berubah, seandainya lo masih Kelvin polos yang ngejar prestasi. Haha gue kayaknya banyak berandai." Feri menjedah ucapannya sejenak. Ia menarik nafas panjang.
"Jangan nyalahin tuhan. Lo harus sadar, semua yang terjadi karena lo yang nggak mampu ngontrol diri sendiri."
Kelvin sejenak terdiam merenungi kehidupannya mulai hancur. Benar semua karena dirinya sendiri, tetapi sayang egonya lebih besar sehingga untuk mengakuinya saja tidak bisa.
"Dari kecil gue udah dipukul padahal gue nggak salah apa-apa, gue baru pulang dari sekolah tetapi kaki gue langsung ditendang. Apa itu pilihan hidup gue?" tanya Kelvin mencari jawaban atas pertanyaan yang sejak dulu muncul.
"Apa gue yang minta lahir di keluarga gila itu? Jawab Fer!"
"Memang bukan lo yang minta punya orang tua kayak mereka, setidaknya jika lo hidup normal hal ini nggak akan terjadi. Tetapi apa, lo malah ngerusak hidup lo sendiri. Lo yang rusakin hidup lo dan sekarang lo nyalahin tuhan? Sampai SMA lo mampu bertahan, kenapa tidak bertahan sebentar lagi. Kenapa lo bisa gini? Oh lo bilang mau cari bahagia, lo nggak bakal dapat tenang jika mencarinya dengan jalan salah. Gue salah?"
Kelvin mendadak terdiam. Ia hanya ingin diperhatikan saja sehingga sampai seperti sekarang. Kalau saja orang tuanya bisa melihat ke arah mereka sedikit saja, maka Kelvin tidak akan menjadi seperti sekarang.
"Sekarang lo nggak bisa jawabkan, karena apa yang gue bilang itu kenyataan yang lo alami. Lo selama ini selalu nyari nyari siapa yang pantas disalahkan, karena kehidupan lo nggak enak. Gue nggak buta Vin, lo nggak mau hidup kayak gini. Lo nggak bahagia dengan semua yang udah lo lakuin. Jangan menutupinya Vin. Obat haram lo itu nggak bisa buat lo bahagia sesungguhnya, kebahagian lo semu Vin."
"Berhenti ikut campur sama kehidupan gue," tegas Kelvin yang langsung berdiri.
Kelvin tidak tahan dengan segala ucapan yang dilontarkan sahabatnya itu, dan sialnya itu semua adalah kebenaran yang dirasakannya. Bogeman mendarat mulus di wajah Feri. Tidak tahu seberapa kuat bogeman yang diberikan Kelvin, tetapi darah segar mengalir di sudut bibir Feri.
Feri mengusap sudut bibirnya, ia sama sekali tidak marah atau berniat untuk membalas. Ia menatap Kelvin dengan raut wajah yang sulit untuk dijelaskan.
"Mungkin ini terakhir kali gue kasih tau kebenaran dalam hidup lo, gue nggak pengen lo hidup kayak gini. Asal lo tahu rahmat Allah lebih besar dari murkanya. Ingat kata-kata gue ini."
Bogeman itu tidak membuat Feri kesakitan, hanya senyum yang dia berikan. Seharusnya dalam keadaan biasa, jika seseorang dipukuli karena menyampaikan kebenaran akan dibalas hal yang sama tetapi Feri tidak melakukannya. Seakan hari ini dia ingin melepaskan beban untuk menyadarkan Kelvin.
"Gue ada tanding nanti malam, mungkin ini yang terakhir. Gue udah capek balapan, gue harap lo juga capek buat begel dan ngobat Vin."
Feri tertawa samar, suasana kali ini berbeda dari biasanya.
"Lo kok aneh gini Fer?" tanya Kelvin.
Feri memeluk sahabatnya itu erat, entah apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Gue nggak tahu kenapa jadi aneh gini, tetapi lo sahabat gue yang paling hebat. Gue selalu doa buat kebaikan lo Vin."
Setelah mengucapkan itu Feri tertawa nyaring seakan-akan bermain drama televisi. Kelvin juga begitu, mereka terlihat konyol tanpa ada beban yang dirasakan. Padahal baru beberapa menit yang lalu Feri mendapat bogeman keras dari Kelvin.
Sore itu mereka berdua sama-sama akan berangkat ke dunianya masing-masing. Kelvin pergi menuju geng begalnya, dan Feri pun menuju arena balapannya.
Gerimis sore itu semakin meneduhkan senja yang kian jingga. Menghancurkan semua rasa gelisah bagi orang yang menikmatinya. Kelvin bersandar di dinding luar markas geng begalnya. Menikmati jatuhnya rintikan air hujan yang seakan menyampaikan sebuah pesan. Sedangkan Feri menikmati perjalananya menuju lokasi balapnya dengan kilaunya matahari senja dan rintikan gerimis itu.
Malam ini Kelvin melakukan aksinya seperti biasa. Tidak ada yang berubah, dia tetap diberi kepercayaan untuk melakukan peran yang sama. Berkeliling mencari korban sudah menjadi hal yang biasa bagi Kelvin dan gengnya. Disaat orang-orang sangat mengecam perbuatan itu. Mereka menganggap itu sebagai sebuah pekerjaan.
Di lain pihak Feri sedang mempersiapkan motornya di tepi jalan arena balapnya. Dia sangat mempersiapkan diri dengan baik kali ini, karena lawan yang dia hadapi sekarang adalah sekelompok geng besar. Feri yang sudah berkali-kali memenangkan balap liar karena tekadnya yang kuat telah mendapatkan nama baik di seputaran para pembalap liar. Dia cukup ditakuti dan diperhitungkan kan jika berada di arena balap.
Kelvin melakukan aksinya malam ini dengan penuh semangat. Dia sudah sangat profesional dengan tugasnya. Akhir-akhir ini dia selalu mendapatkan kepercayaan lebih dari gengnya karena kemampuan nya dan keberanian nya yang semakin membaik.
Tanpa banyak halangan aksi pun selesai dengan cepat. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan korban malam ini. Kelvin dan gengnya pulang dengan membawa sejumlah uang, handphone,dan beberapa perhiasan. Mereka mendapati seorang suster rumah sakit yang sedang dalam perjalan pulang dari dinas malamnya.
Setelah sampai ke markas. Kelvin berpesta bersama gengnya itu. Di tengah-tengah pesta dia melihat handphone. Di situ ada belasan panggilan tak terjawab dari nomor tidak dikenal. Dan ada 1 pesan masuk.
Kelvin yang membaca pesan itu reflek langsung merebut kunci motor yang ada di tangan Yuda. Dia berlari keluar markas untuk segera mengambil motor dan menuju lokasi balap Feri.
Dengan laju motor yang tidak terkontrol, Kelvin menembus angin malam itu dengan rasa khawatir yang sangat besar. Ternyata nasib tidak selalu baik, Kelvin mengalami sebuah insiden kecil. Ban motor yang digunakannya tergelincir di jalan yang licin. Kelvin mencoba kembali bangkit, sakit fisik yang dia rasakan tidak sehebat sakit dibagian dadanya.
Darah segar masih mengalir di area tangan, kaki dan dahinya. Semua dihiraukannya begitu saja, seakan-akan tidak ada insiden kecelakaan yang menimpanya.
Kelvin tiba di lokasi dengan sangat cepat. Terlihat banyak kendaraan yang parkir di tepi jalan. Dan segerombolan penonton yang bersorak. Suara bising dari knalpot motor menggema kemana-mana.
Pertandingan baru saja dimulai, Kelvin berlari menuju sumber suara knalpot yang terus-menerus berbunyi itu. Dia menjatuhkan motor yang dipinjam nya itu begitu saja. Di bawah gelapnya malam Kelvin berlari tanpa henti. Tanpa sadar tetesan air mata mulai membasahi pipi. Tapi tidak sedikitpun langkah kakinya terhenti.
Bayangan obrolan bersama Feri terlintas dipikiran Kelvin, banyak pemikiran yang membuat Kelvin muak.
"Fer, Stop!!!" Teriak Kelvin. Suaranya parau akibat tangis yang keluar begitu saja.
"Tuhan gue tahu dosa gue banyak banget, tapi gue mohon sekali ini dengerin gue. Jangan terjadi sesuatu sama teman gue." Kelvin mengucapkannya dengan penuh pengharapan. Tetesan air mata dan tetesan darah seakan menjadi saksi malam itu.
Kelvin berusaha menerobos gerombolan penonton yang berkumpul di tepi jalan. Mereka hanya bersorak melihat pertandingan itu.
"Feri, berhenti. Gue mohon," teriakan Kelvin kembali. Ucapannya selaras dengan kejadian yang terasa mimpi.
Disaat itu juga di bawah penglihatan yang kabur dan berkaca- kaca oleh air mata itu dia melihat Feri yang sudah jatuh dan terseret jauh dari motornya. Tubuhnya terhempas-hempas hingga keluar dari arena balap. Sorak penonton kian riuh ketika melihat kejadian itu.
"Ini mimpi kan, gue harus bangun!"
Seakan tidak menerima kenyataan pahit itu, Kelvin memukul wajahnya dengan keras. Berharap semua hanya mimpi.
Riuhan penonton seakan menghilang ditelan oleh bumi, objek yang sedang terkapar di jalan itu yang melatarbelakanginya.
Kelvin berlari mengejar tubuh Feri yang sudah terseret jauh keluar arena balap itu. Tubuhnya bergetar ketika melihat tepat di depan matanya. Sahabat yang selalu menyayangi nya. Seorang sahabat yang tak pernah menyerah untuk menolongnya. Sudah berlumuran darah. Tulang tangan nya sudah tidak lurus lagi.
Kelvin langsung terduduk dan menjadikan pahanya sebagai alas kepala sang teman. Air matanya semakin terbendung. Rasa penyesalan tiba-tiba menghantuinya. Dia menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpa Feri.
"Fer, lo jangan nakutin gue. Woi!!!"
Kelvin menyentuh pipi sang teman.
"Haha Fer lo mau main drama kan sama gue"
"Bangun woi, jangan buat gue kayak orang gila gini!"
Perlahan mata itu terbuka, Feri merasakan sakit disekujur tubuhnya. Air matanya keluar menahan sakit yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Darah keluar dari kepalanya dan tidak berhenti-berhenti. Bahkan dari mulutnya juga keluar darah segar.
"Lo-lo harus janji sama gu-gue, berhenti Vin," lirih Feri parau. Tenaganya untuk berbicara itu sudah hampir habis.
"Diam jangan bahas gue, yang penting lo baik-baik aja. Jangan buat gue jadi gila," bantah Kelvin.
Kelvin memaki maki beberapa orang yang mengerumuninya. Ambulan tidak juga datang, padahal temannya sedang berada di ujung jurang kematian.
"Na-nanti lo ambil atm di lemari gue, disana ada duit buat lo berobat. Ja-jangan ke-kecewain gu-gue Vin."
Kesadaran Feri perlahan menghilang, umpatan demi umpatan keluar dari mulut Kelvin. Akhirnya ambulance memunculkan dirinya, Kelvin mengangkat tubuh sahabatnya yang telah berlumuran darah itu. Perasaannya campur aduk tidak tentu arah.