-16-

4730 Words
Aku mencoba mengeluarkan seluruh racun yang melilit tubuhku. Sekujur tubuhku terasa beku karena racun ini menyumbat pembuluh darahku. Darahku tidak mengalir dengan baik. Racun yang menyumbat di dalam tubuhku aku coba pecahkan dengan kekuatan. Kekuatan supranatural itu berhasil menghilangkan racun-racun itu. “Aleksia membaik, Jason. Lihatlah.” Agatha menunjukkan bentuk tubuhku yang memerah serupa manusia biasa. “Aleksia.” Jason memanggil namaku ketika tangannya berusaha menyerap semua gumpalan gelap yang dipenuhi dengan racun itu. Aku mengangguk. Kembali aku angkat tubuhku dan memandang semua hewan-hewan itu. Mataku merah menyala. Aku sudah tidak bisa menahan lagi. Ketika aku hendak menyerang, aku mendengar Jason berhasil membungkus gumpalan hitam itu dengan gumpalan udaranya miliknya. “Kini giliranku. Aku tidak mau kamu terluka lagi, Aleksia. Menepilah.” Jason tersenyum. Tangannya membelai rambutku lalu dia maju menghadapi mereka. “Hati-hati, Jason. Jaga dirimu juga. Jangan gegabah.” Aku memeluknya sebelum menepi bersama Agatha. Jason menyerang dengan pukulan cepatnya. Kalajengking dan laba-laba itu tidak bisa membalasnya. Jason tidak sedikit pun memberi kesempatan mereka untuk menyerang balik. Mereka terjungkal, terpelanting, dan terlentang karena pukulan yang Jason berikan memang begitu cepat dan keras. “Aku tidak akan memberi kesempatan untuk menyerang balik. Tadi kalian sudah membuat tubuh Aleksia teracuni. Untuk itu, aku tidak akan memaafkan kalian.” Tangan Jason mengeluarkan seberkas cahaya. Tangan itu menghantam d**a kalajengking hingga dadanya sobek terbuka. Seluruh organ dalam terlihat. Aku terkejut. Jason benar-benar marah kali ini. Dia dengan tega membunuh kalajengking itu. “Tubuhmu akan kembali lagi jika aku tidak memisahkan tubuh ini secara acak.” Dengan kedua tangannya dia membedah tubuh kalajengking itu hingga terbagi menjadi dua. Laba-laba yang ada di sampingnya hanya bisa melihat temannya dibunuh secara mengenaskan oleh Jason. Bagian sebelah kanan, Jason bawa ke gunung yang ada di dekat daerah ini. Sedangkan sebelah kirinya dia pendam di bawah tanah. “Sekarang giliran kamu. Temanmu sudah aku bunuh.” Jason berjalan mendekati laba-laba itu. Laba-laba itu melangkah mundur. Kali ini dia tidak berani mendekati Jason. Namun ketika Jason hendak membunuh laba-laba itu, tibat-iba Algator, singa padang pasir berlari dan menyerang Jason. “Jason.” Aku berteriak histeris ketika Algator mencabik-cabik tubuh Jason. Jason meringis kesakitan. Luka di tubuhnya benar-benar menganga. Melihat itu, seketika amarahku memuncak. Mataku memerah semua. Urat-urat di tubuhku kelihatan. Aku tahu Algator dekat denganku selama ini. Tetapi caranya menyerang Jason, membuatku ingin membunuhnya. “Algator.” Tubuhku seketika mengeluarkan api, udara, tanah dan kilatan petir. Seketika Jason dan Agatha terkejut. Mereka belum pernah melihat kekuatanku yang sebenarnya. Perubahan perwujudan ini hanya akan aku lakukan ketika amarahku sudah tidak bisa dibendung. Seperti melihat kekasihku dicabik-cabik tubuhnya membuatku tidak tahan lagi. “Agatha. Obat Jason. Aku ingin menghabisi mereka sekaligus.” Kataku dengan tegas. Agatha mengangguk. Dia tahu amarahku sudah tidak bisa terkontrol lagi. Aku berlari dan menghajar mereka. Mereka semua kewalahan. Bahkan kecepatan seranganku lebih cepat dari serangan yang Jason berikan tadi. Semua ini mengerikan. Kedua tanganku menebas kaki-kaki dari laba-laba itu. Semuanya patah dan hanya menyisakan tubuhnya saja. “Kamu pasti sudah tahu dan sudah mendengarnya. Bagaimana kekuatanku ketika marah. Rasakan amarahku ini. Tadi aku sudah memintamu kembali. Tetapi kamu malah memilih menantangku dan ingin membunuhku.” Hanya dengan satu gerakkan, tubuh laba-laba itu hancur berkeping-keping. Algator menelan ludah melihat semua. Kini giliran dia. Dia menatapku dengan tatapan takut. Aku sebenarnya dia tidak ingin menyerangku. Semua ini pasti ancaman dari Mark. Aku membiarkan dia untuk kembali ke padang pasir. “Keluargamu membutuhkanmu. Kembalilah atau aku akan berubah pikiran.” Aku meminta Algator kembali. Algator yang memang sudah ketakutan ketika melihat perubahan wujudku memilih kembali ke padang pasir. Tidak cukup sampai di situ. Mereka mengirim lagi. Hewan kaki seribu dan elang gigitan tajam datang menyerangku. “Aku sudah bisa menoleransi kalian lagi. Tadi aku sudah membuat teman kalian mati. Kini giliran kalian yang harus mati.” Aku terbang dan memukul elang tadi. Si elang raksasa masih bisa bertahan. Tubuhnya begitu kuat. Dia menggigit tanganku tetapi paruhnya seketika patah karena tanganku lebih kuat dari paruhnya. “Maafkan aku Tuan Aleksia. Karena suruhan dan ancaman Mark, aku terpaksa ingin menyerang kalian.” Si elang raksasa memilih kembali dengan paruhnya yang separuh patah karena gerakkan tanganku tadi. Namun saat hendak balik, aku melihat ada bayangan hitam yang memiliki kecepatan berpindah di luar nalar. Mereka membekap Jason dan Agatha. Bayangan hitam itu membawa mereka pergi. “Mark kalau kamu berani membunuh mereka. Jangan pernah berharap akan hidup lagi esok hari.” Aku berteriak semakin marah. Kekuatan tubuhku meningkat sepuluh kali lipat. Aku mengejar mereka dengan membuka mata batinku. Kejaranku benar-benar membuat mereka ketakutan. Mereka tidak bisa menghindar dariku. Aku terus mengejarnya. “Rasakan ini.” Aku menyebar petirku. Seketika mereka kejang-kejang mendapatkan serangan petirku. Aku berlari lagi mengejar yang lain. Mereka yang membawa Agatha dan Jason masih belum bisa aku kejar. Kecepatanku aku tambah. Mereka sudah tampak ada di depan. Lagi aku memberi mereka petir ke tubuh mereka. Mereka kejang-kejang dan melepaskan Jason serta Agatha yang sudah tidak sadarkan diri secara bersamaan. Aku menggelengkan kepala. “Jason, Agatha. Bangunlah. Kalian sudah aman. Aku ada di sini.” Aku mengalirkan sedikit kekuatanku untuk mereka. Mereka masih belum bangun. Aku tambah lagi. tubuh mereka mulai menggeliat. Tak berselang lama, mata mereka terbuka. “Ada apa, Aleksia? Kenapa aku ada di sini?” Jason langsung bertanya padaku. Aku jelaskan tentang bayangan hitam yang menyerang kami secara mendadak. “Sialan makanya aku tadi mencium bau tidak enak. Ternyata mereka membius kami dengan sengaja.” Agatha mengumpat. Aku mengangguk dan mengajak mereka untuk lari. Keadaan belum aman. Mereka masih akan terus mengejar kami sampai aku mau kembali lagi untuk mereka.  [][][][][][][][][][][][][][][][][] 30. Kami tiba di taman kota. Di bukit itu kami terengah-engah. Napas kami tidak beraturan. Tanda-tanda mereka akan kembali mengejar kami tidak ada. Mungkin semua pasukkan yang mereka miliki sudah habis. Bola mataku bergerak ke kiri, melihat Agatha dan Jason yang masih berupaya mengatur napas mereka. Kali ini aku yang memulai berbicara dengan menanyakan perihal Jason. “Apa benar kamu anggota dari LIGHTBORN, Jason?” tanpa berbasa-basi aku menanyakan intinya langsung. “Benar. Pasti Agatha yang memberitahumu soal ini.” Jason tersenyum tenang. Wajahnya sama sekali tampak tenang dan bersahabat. Aku mengangguk dan mataku berselancar di tubuh Agatha. Jason mengatakan kalau tidak menjadi masalah bagaimana latar belakang kami. “Aku juga tahu, kamu bagian dari VENOM. Terlebih lagi ketika kamu bertarung dengan semua hewan-hewan tadi, aku mengerti kekuatanmu bahkan lebih besar dari kekuatanku. Aku tidak pernah tahu kekuatan seperti itu sebelumnya.” Jason menggeleng kagum. Aku meraih tangannya. “Semua itu bukan murni kekuatanku, tetapi hanya tenaga yang keluar dari amarahku karena kamu terluka tadi.” Aku menaikkan bahuku. Jason menggerakkan bibirnya, tanda dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Sore semakin gagah berdiri di atas kami. Taman kali ini agak sepi. Mungkin karena warga sempat syok dengan kedatangan para hewan itu, sehingga banyak yang tidak berani keluar. “Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?” Ketika mengucapkan hal itu, Agatha meminta izin untuk membeli ice cream. Aku tahu ini dia memahami kalau kami butuh waktu berdua saja. “Jujur. Sejak pertemuan denganmu, bayanganmu selalu muncul di pikiranku. Hampir setiap hari.” Jason menatapku. Pandangannya masuk ke mataku dan tenggelam di dalamnya. Aku juga mengatakan hal yang sama dengannya. Kami merasa saling cocok. Tetapi kekhawatiran yang kami rasakan juga sama, yakni kami masih menjadi anggota paranormal. “Kita sama-sama paranormal dan kita sama-sama saling suka, apa kamu mau kita keluar dari LIGHTBORN untuk bisa bersamaku?” aku seketika meminta kepastian. Bukan saatnya untuk menunda lagi. “Tentu saja aku mau. Sebenarnya aku juga tidak ingin terikat oleh organisasi apapun. Aku muak karena hal itu.” Jason menyetujui penawaranku. Kami pun sepakat untuk tidak mendatangi markas dari masing-masing organisasi kami. Sore itu aku habiskan dengan memakan ice cream bersama setelah Agatha aku minta untuk kembali membawakan kami ice cream. “Bagaimana? Berarti kita resmi keluar dari organsiasi kita masing-masing?” Agatha menanyakan hal itu lagi karena dia sendiri juga belum mengetahuinya. “Kita keluar dan membuat aliansi sendiri. Jika ada yang menyerang, kita akan saling membantu.” Mereka mengangguk mengikuti arahanku. Tak berselang lama, Agatha menerima telepon dari nomor baru. Dia melirikku. Aku mengangguk dan memintanya mengangkat telepon itu. Sembari menunggu, aku dan Jason menghabiskan ice cream tersisa. Senja perlahan mulai pudar di langit. Gelap mulai menelan sisa-sisa kenangan hari ini membungkus dengan rapi dan menyisipkannya melalui dinginnya malam. “Apa? Siapa yang menculikmu?” Aku menatap Agatha. Siapa yang dimaksud oleh Agatha? “Aku harus kembali, Aleksia. Laki-laki yang aku cintai diculik oleh seseorang. Aku harus membebaskannya.” Agatha berkata panik. Dia beranjak dari tempat duduknya dan hendak pergi. Aku mencergahnya. Kita berangkat ke sana bersama-sama. Itulah kataku. Dia mengangguk dan kami menghilang bersama. ***   Agatha sudah sangat marah. Setibanya di sana dia langsung mencari tempat yang ditunjukkan oleh laki-lakinya. Aku dan Jason hanya mengikutinya dari belakang. Siapa tahu ada orang yang mencoba menyerangnya dari semua penjuru. Kami terus merangsek mendekati tempat itu. Sebuah bangunan tidak terpakai dengan tumbuhan liar yang menjalar di dinding-dindingnya membuat kami berhenti. “Namanya Atar. Dia laki-laki yang aku cintai dan pernah aku ceritakan waktu itu, Aleksia. Dia ditahan di dalam. Biar aku yang masuk membebaskannya. Karena ini urusan pribadiku, aku tidak ingin merepotkan kalian.” Agatha bersiap masuk tetapi aku menarik tangannya. “Urusanmu, urusan kami juga. Aku sudah bilang, kita akan menghadapi bersama-sama.” Aku mengangguk. Agatha berterima kasih lalu meminta kami untuk masuk ke dalam. Sudah ada puluhan paranormal yang menjaga bangunan itu. Mulanya aku pikir, aku ingin menampakkan wujud asliku. Tetapi aku urungkan. Jika aku menampakkan wujudku, mereka semua akan lari terbirit-b***t. “Aku ingin kita mengulik tujuan mereka menculik Atar.” Aku memberi komando pada Agatha. Agatha mengerti. Dia mengajak berkomunikasi para paranormal itu dengan nada kesal. Emosinya sudah hampir meledak-ledak ketika mereka menjawab sembarangan. “Lepaskan Atar atau kalau tidak tubuh kalian akan aku potong menjadi sepuluh bagian.” Agatha mengepalkan tangannya. “Silakan saja.” Para Paranormal itu menantang Agatha. Agatha langsung menyerangnya. Sebenarnya aku ingin Agatha menanyakan banyak hal tentang mereka. Tetapi karena emosinya yang meluap-luap aku membiarkannya memberi pelajaran untuk paranormal yang mencoba bermain-main dengannya. Paranormal yang berjumlah puluhan itu tidak merasakan apa-apa ketika Agatha menyerang mereka. Aku rasa Mark benar-benar ingin membuatku kembali pada mereka. “Sudah aku bilang, kamu tidak akan menang denganku.” Paranormal itu menertawai Agatha yang napasnya tersengal-sengal karena kelelahan menyerang mereka. Berbagai kekuatan sudah dia keluarkan. Namun mereka terlalu tangguh untuk itu semua. Aku masih menyamar menjadi perempuan ninja. Mereka belum menyadari kedatanganku. Jason meminta izin untuk membantunya. Bukannya menghindar mereka malah mengejek dan menjatuhi gelar Jason sebagai pahlawan kesiangan. Dia tidak peduli akan hal itu. Makanya dia memilih untuk menyerang mereka tanpa mempedulikan kata-katanya. “Apa hanya itu kekuatan kalian?” Laki-laki yang menjaga bangunan ini mendadak berubah menjadi besar. Tangannya dia ayunkan ke seluruh wilayah agar Jason atau Agatha dapat dia ambil. Jason bukan anak-anak atau orang biasa yang tidak menerima kekuatan. Jadinya tangan itu tidak pernah bisa meraih tubuhnya dan tubuh Agatha. Jason mengeluarkan pisau kecil lalu berlari ke tubuh laki-laki yang berubah menjadi raksasa. Tangan kanan raksasa itu sempat hampir mengenai tubuh Jason kalau dia tidak menghindar. “Rasakan ini sialan!” Jason berteriak sembari melompat dari lengan menuju matanya. Dia tancapkan pisau itu tepat di matanya. Raksasa itu bergerak-gerak sendiri menahan rasa sakit yang luar biasa. “Aduh sakit.” Raksasa itu berjalan sempoyongan dan terjatuh. Jason ikut terjatuh namun karena kekuatan itu dia bisa terbang dan berdiri di dekatku lagi. Aku memegang wajahnya, mengecek apakah ada luka di wajahnya. “Perjuangan kita belum selesai. Kita masih akan melawan banyak penjaga yang ada di dalam bangunan tua yang sudah tidak terpakai ini.” Aku mengingatkan Jason. Jason mengangguk. Kini giliran Agatha yang bertarung dengan penjaga itu. Ada banyak penjaga di sini kataku sembari menggerakkan telunjuk agar penjaga yang lain tetap diam di tempat tanpa perlu ikut campur. Biar satu per satu mereka berduel dengan Agatha. “Apa kamu yang menahan penjaga lainnya?” Jason yang sempak melihat para penjaga tidak bisa menggerakkan kakinya. “Aku ingin Agatha bertarung satu per satu. Nanti usai dia mati, satu penjaga aku lepas untuk bertarung dengannya.” Aku menjelaskan tujuanku. Jason mengangguk dan kini kami hanya bisa menyaksikkan bagaimana  Agatha bertarung dengan sekuat tenaga melawan para penjaga itu. Aku rasa Agatha mendapatkan lawan yang sepadan. Laki-laki yang Agatha lawan berubah menjadi beruang ganas. Sapuan tangannya mengenai wajah Agatha hingga terluka. Aku menarik Agatha keluar karena darahnya bercucuran lumayan deras. “Hati-hati, Agatha. Serangan mendadak bisa membuat kita terluka sendiri.” Aku sibuk mencari dedaunan yang ada di sekitar untuk menyembuhkan luka di wajah Agatha. “Aku juga terkejut. Laki-laki itu bisa berubah menjadi beruang yang sangat besar. Aku tidak sempat menghindar. Tangannya terlalu kuat dan cepat untuk dihindari.” Agatha meringis kesakitan ketika aku memberikan daun itu. Daun itu aku selipkan mantra agar lukanya sembuh serta kekuatannya bertambah dua kali lipat. Agatha menggelengkan kepala karena tidak menyangka akan mendapatkan serangan semacam itu. “Memang berat ujian yang akan kita lalui ini, Aleksia. Mereka akan berupaya membuat kita kembali padanya. Bahkan Atar yang tidak berdosa apa-apa, bisa-bisanya mereka culik.” Agatha menggerutu kesal ketika menceritakan hal itu. “Benar, Agatha. Ini hanya soal siapa yang kuat bertahan dengan pendiriannya.” Aku tersenyum dan mengangkatnya dari rebahan. “Mereka juga akan terus mencari dan menyerang kita. Mungkin bukan hanya VENOM, organisasi yang Jason ikuti juga akan mencari kita.” Aku menambahkan. Kami menyusul Jason yang masih berupaya melawan beruang itu. Ketika kami masuk, kami terkejut, baju yang Jason kenakkan sobek-sobek karena serangan dari beruang itu. “Beruang ini sangat kuat. Bahkan kekuatanku tidak mampu mengalahkannya. Dulu aku paling sulit mengalahkan beruang waktu ujian kelulusan.” Jason menggeleng dan berjalan ke belakang. Aku mengobati Jason terlebih dulu sebelum menyerang beruang itu. Agatha yang belum sepenuhnya pulih, menggantikan posisiku. Mereka kembali terlibat pertarungan yang sengit. “Beruang mempunyai kekuatan dua kali lipat dari kekuatan manusia. Nah tidak terbayangkan bagaimana kekuatannya ketika ada yang memberinya kekuatan tambahan.” Aku tersenyum ketika mengobati luka yang ada di sekujur tubuh Jason. “Makanya, seranganku tidak berarti apa-apa. Lalu bagaimana caranya untuk menyelamatkan kekasih Agatha?” Jason bertanya sambil meringis karena lukanya aku sentuh. Aku memintanya untuk tenang. Aku akan berupaya mengalahkan beruang itu dengan tangan-tangan tidak terlihatku ini. Sudah lama aku tidak menggunakan tangan-tangan ghaib ini. Agatha mulai kewalahan. Kali ini dia tidak menyerang tetapi hanya berupaya menghindari serangan dari beruang itu. Sulit memang bagi Agatha yang tidak pernah melawan beruang seperti itu. “Kembalilah. Akan aku bereskan beruang ini agar kamu bisa bertemu dengan Atar.” Aku menarik pundak Agatha yang nyaris saja terkena sapuan lagi. “Ah terima kasih, Aleksia. Hampir saja aku terkena serangan itu.” Agatha menggelengkan kepala. Aku membuka penutup wajahku. Beruang itu terkejut. Kami pernah bertemu sebelumnya saat Ayah memintaku bertarung dengan beruang legenda ini. Banyak paranormal yang sudah mati di tangannya. Kekuatannya memang tidak tertandingi. “Aku tahu kamu masih ingat denganku. Apa kabar?” Aku tersenyum ke arahnya sembari menanyakan kabarnya. “Beruntung sekali aku bisa bertarung denganmu dan mempelajari cara bertarung yang baik, Aleksia. Kabarku baik-baik saja. Sayangnya kita di sini harus berhadapan sebagai musuh. Andai kamu masih mau bergabung dengan VENOM, aku akan mempelajari semua yang kamu berikan.” Beruang itu memberiku salam. Aku menggeleng. Aku tegaskan lagi padanya kalau aku tidak akan kembali pada VENOM jika mereka masih berbuat seenaknya dengan anggotanya. Semua anggota dipaksa bekerja sesuai dengan keinginan mereka. “Tetapi bukankah kamu diberi jabatan yang tinggi di sana? Kamu bisa memerintah orang-orang sesukamu, Aleksia?” Beruang itu keheranan dan spontan menanyakan hal itu. “Memang benar. Dan karena itu juga aku merasa bersalah. Kenapa aku suka memerintah mereka seenaknya.” Aku menggelengkan kepala. Beruang itu menyerangku dengan kekuatan yang biasa. Sepertinya ada rasa tidak enak pada dirinya sehingga serangannya tidak terlalu terasa untukku. “Kenapa kamu melemahkan seranganmu seperti itu?” Aku tidak senang jika harus bertarung dengan lawan yang hanya mengeluarkan sebagian dari kekuatannya saja. “Tidak mungkin aku menyerangmu. Aku kira hanya Agatha yang akan berhadapan denganku. Tetapi kamu juga datang membantunya. Ini tidak sesuai dengan apa yang Mark katakan tadi. Katanya Agatha sendiri yang akan datang kemari.” Beruang itu menggelengkan kepala. Aku memukul bagian tangannya hingga dia meraung kesakitan. Suara yang keluar dari bibirnya menciptakan getaran hingga salah satu bagian bangunan ini ada yang terjatuh. Beruang itu membalasku tetapi masih saja menggunakan separuh kekuatannya. Sifat beruang ini apabila dia marah, dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya. Makanya saat ini aku ingin memercik api amarahnya. Dan semua terjadi begitu cepat. Rasa sakit yang aku berikan akhirnya membuatnya marah. Dia menyerangku tanpa mempedulikan aku siapa. Serangannya begitu cepat dan terarah. Walaupun dia hanya menggerakkan tubuhnya sesukanya, tetapi serangannya selalu tepat sasaran. “Aku akan membunuhmu, Aleksia!” beruang besar itu meraung mencoba menyerangku. Kedua tangannya juga berupaya menangkapku dan meremukkan tubuhku. Aku membiarkan dia mengangkat tubuhku. Cengkramannya begitu kuat hingga tubuhku merasa akan hancur berkeping-keping. “Hancurlah! Hancurlah tubuhmu, Aleksia!” beruang itu berteriak sembari meremas tubuhku. Tangan-tangan ghaibku aku gunakan. Tangan itu keluar dan membantuku menahan remasan tangannya. Beruang itu terkejut. Bukan tubuhku yang hancur, tetapi telapangan tangannya sendiri. Jari-jarinya patah karena tekanan tangan ghaibku sangat kuat. Agatha tersenyum. Sudah lama dia tidak melihat tangan-tangan ghaibku membantuku dalam melawan musuh. Beruang itu meraung kesakitan. Telapak tangannya yang kanan telepas. Kini dia hanya mempunyai satu tangan yang normal. “Jadi enggak mengancurkanku?” Aku tersenyum menantangnya. Dia mengamuk. Kali ini kakinya berupaya menginjak tubuhku yang sangat kecil dibandingkan tubuhnya yang besar. Aku menghindari kaki itu terlebih dulu. Kaki itu terus mencariku, namun beberapa saat kemudian dia mencari tubuh Agatha dan Jason. “Awas.” Aku meminta mereka untuk menyingkir. Tentu saja hal itu mengundang amarahku. Aku tidak pernah menyerang yang bukan menjadi lawan bertarungku. Beruang ini rasanya memang bosan hidup. Aku mengeluarkan tangan-tangan ghaib itu dan menambah kekuatannya. Kaki beruang itu segera aku pegang, dengan sekuat tenaga aku menghancurkan kakinya hingga tidak berbentuk kaki lagi. Beruang itu meraung. Darahnya mengucur deras dari kaki yang aku hancurkan tadi. Mungkin sudah saat aku membunuh beruang ini lagi dan membereskan semuanya. “Berhenti, Aleksia.” Aku menengok ke belakang. Aku melihat ada beruang betian yang berlari ke arahku. Ketika dia lebih dekat denganku, aku ingat kalau beruang ini adalah pasangan dari beruang yang akan aku bunuh. “Maafkan suamiku, Aleksia. Dia hanya diperintah oleh Mark. Dia tidak tahu apa-apa dan sebenarnya tidak ingin membuat masalah denganmu. Aku mohon ampuni dia. Jangan bunuh dia, kalau kamu membunuhnya, aku tidak tahu lagi bagaimana kehidupanku dan anak-anakku nanti bila tanpa dia.” Beruang itu menangis. Aku mengerti lalu mengembalikkan tangan dan kaki beruang tadi seperti semula. Karena keinginan pasangannya, aku membebaskannya. Dia sangat berterima kasih padaku. Dan pergi meninggalkan bangunan tua ini.   31. Aku mengajak mereka untuk ke ruangan setelah beruang dan yang lainnya pergi. Atar tergeletak dengan tubuhnya yang diikat ke tiang besi. Agatha langsung menghampirinya dan melepaskan ikatan tali tersebut. Atar dia peluk-peluk dan sesekali dia gerakkan wajahnya agar Atar cepat bangun. “Apa Atar masih hidup?” Jason menggenggam tanganku. Bajunya yang sobek memperlihatkan bekas luka. Aku meliriknya, “Atar masih hidup. Dia tidak dibunuh dan hanya menjadi tawanan biasa. Mereka tidak mungkin bertindak sesuatu yang akan menyulut amarahku. Mereka sudah memperhitungkannya.” Ketika Agatha semakin erat memeluknya, tiba-tiba tangan Atar bergerak ke belakang mengambil pisau. Aku yang mengetahui hal itu berlari sembari berteriak agar Agatha menjauhinya. Tetapi semua terlambat. Pisau itu berhasil menembus perutnya hingga darah menyembul keluar. Agatha! Aku meneriakkinya dan menangkap tubuhnya yang terjatuh. “Maafin aku. Aku tidak tahu kalau Atar hanya samaran anak buah Mark, Aleksia.’ Kata Agatha terbata-bata karena bibir dan perutnya mengeluarkan darah yang sangat banyak. Aku tidak menjawab dan menggotongnya keluar. Jason aku tugaskan untuk mengatasi Atar dan sekutunya yang ternyata ada banyak di belakang sana. Tubuh Agatha aku letakkan di tanah dan aku sandarkan kepalanya di batu yang agak lebar. Aku memintanya berbuat sesuatu agar darahnya bisa tersumbat dan dia tidak kehilangan banyak darah. “Bertahanlah. Aku akan mencarikanmu sesuatu yang bisa menyumbat darahmu.” Aku mengambil guguran daun yang telah menguning. Dengan menggunakan kekuatanku aku mencoba menyusun daun-daun itu menjadi seperti kulit. Ketika Agatha mengerang kesakitan, aku menempelkan daun itu ke tubuhnya. Darah berhenti seketika. Tetapi aku tidak bisa membuatnya pulih seperti semula. Entah mengapa, kekuatanku tidak bisa aku gunakan untuk merapatkan kulitnya dengan daun itu. “Ada apa? Kenapa semua ini bisa terjadi?” Aku menggelengkan kepala. Agatha sudah mulai kehilangan kesadaran. Tirai matanya perlahan mulai tertutup. Tidak mungkin, aku tidak mau Agatha mati saat ini. Aku terus berupaya memaksakan daun-daun itu agar bisa menutup lukanya. Kekuatanku seperti hilang dari tubuhku. Aku yakin ini pasti ulah Ayah. Hanya dia yang bisa membuat kekuatanku tertahan. “Sebaiknya Ayah muncul. Jangan membuatku semakin marah.” Aku menoleh ke seluruh penjuru. Tetapi aku tidak menemukan Ayah ada di sana. Kalau bukan Ayah? Siapa lagi? aku mengumpat dan berteriak-teriak memanggil siapa saja yang membuat kekuatanku menghilang. “Memang kamu memiliki kekuatan yang tiada batasnya. Tetapi kamu perlu ingat, kekuatanmu juga perlu istirahat. Dia akan kembali hadir pada dirimu usai kamu menemukan daun tiga warna.” Seketika aku menoleh ke sumber suara itu. Ada kakek tua dengan rambutnya yang putih datang menghampiriku dengan tongkat hitamnya yang berkepala naga. “Tapi kenapa kekuatanku hilang di saat sahabatku kritis seperti ini?” Aku memprotesnya. “Itu hanya kebetulan. Aku tahu kamu ingin membantu temanmu untuk bisa hidup kembali. Hanya saja kamu lupa, kekuatanmu sudah banyak kamu keluarkan tanpa memberinya istirahat. Sehingga kekuatan itu lelah dan tidak bisa keluar dari tubuhmu.” Jason keluar ketika aku berbincang dengan kakek tua itu. Jason terkejut ketika melihat ternyata Kakeknya sendiri. “Kakek? Kenapa kakek kemari?” Jason seketika menyalami dan memeluknya. “Aku datang di saat kalian benar-benar terdesak. Aku juga sudah tahu perasaan yang kalian miliki. Makanya aku mendukung kalian sepenuhnya. Dua organisasi itu sudah memiliki tujuan yang berbeda. Mereka miliki ambisi masing-masing.” Kakek itu menggelengkan kepala. Dia juga menceritakan tentang kekuatanku yang habis karena aku sering memakainya. Katanya aku belum sepenuhnya sempurna menguasai kekuatanku sendiri. Bahkan aku adalah paranormal yang unik. Kekuatan yang aku miliki tidak akan cukup ditampung oleh tubuh paranormal pada umumnya. “Makanya kekuatanmu adalah anugerah untukmu. Hanya saja, mereka tidak mencoba mengajarimu cara mengendalikan kekuatan yang baik. Mereka hanya ingin memanfaatkan kekuatanmu saja untuk kepentingan mereka. Selebihnya mereka acuh dan memilih menikmati hasil yang kamu berikan.” Kakek menggerutu kesal sembari mengetukkan tongkat itu ke tanah “Lalu bagaimana caranya agar aku bisa mengembalikan kekuatanku dan mengatur kekuatan secara sempurna?” Kakek itu menjelaskan. Katanya kami diminta untuk mendatangi sebuah hutan yang di dalamnya ada gua. Di sana ada daun yang tumbuh sendiri tanpa batang dan akar. Daun ajaib itu memiliki tiga warna. Kalau aku berhasil memakan daun itu, maka kekuatanku akan menjadi kekuatan superior. Siapa pun tidak akan ada yang bisa menandinginya. “Benarkah, Kek? Lalu bagaimana dengan temanku ini?” Aku menunjuk Agatha. “Biar Kakek jaga. Nanti datanglah di gubuk ghaib yang ada di belakang bangunan ini. Belum ada yang pernah mendatangi gubuk itu kecuali aku sendiri. Nanti kalian tarik saja bunga melati yang tumbuh di belakang bangunan ini. Aku dan gubukku akan muncul di depan mata kalian.” Kakek itu tersenyum. Aku mengangguk dan langsung mengajak Jason pergi ke hutan yang kakek tua maskud. Jason mau dan meminta izin terlebih dulu pada Kakek. Kakek itu langsung menghilang usai kami berpamitan. Dia membawa Agatha ke gubuknya. Sepanjang perjalanan Jason menceritakan soal Kakek itu. “Dia memang orang paling sakti di desa paranormal waktu itu. Namun dia memilih meninggalkan dunia seperti itu yang akan membuat orang saling berambisi. Makanya dia memilih tinggal di gubuk ghaib yang tidak bisa diakses oleh siapa pun.” Jason bercerita sungguh-sungguh. “Berarti dia juga ada sambung rapatnya denganmu dan Mark?” Aku pernah mendengar kalau Mark juga berasal dari desa paranormal. Jason mengangguk. Bahkan atasannya juga merupakan keluarga dari desa paranormal. Mereka dulu adalah teman dekat. Sama seperti aku dan Agatha, begitu kata Jason. Lalu karena Mark ingin menguasai dunia, mereka bercerai-berai dan membuat organisasi masing-masing. “Mark mendirikan VENOM, sedangkan Gareth mendirikan LIGHTBORN. Misi mereka berbeda-beda tetapi ambisi mereka sama. Ingin berkuasa atas manusia biasa. Hanya saja LIGHTBORN lebih licik karena mendekati manusia. Namun terlepas dari itu aku juga tidak tahu.” Jason berhenti bercerita. Memang ambisi kadang membutakan semua. Aku tidak habis pikir kenapa mereka sangat berambisi ingin berkuasa. Padahal andai, hidup berdampingan maka semua akan tampak begitu indah. Ketika kami melangkah beberapa meter, kami dihadang oleh dua sungai kembar. Dua sungai itu memiliki bentuk, tatanan, dan suasana yang sama. Aku hendak melangkah ke salah satu sungai itu, tetapi Jason melarangnya. “Jangan terburu-buru memilihnya. Lihatlah ada sungai tipuan yang dapat menjerumuskan kita ke lembah api yang menyala-nyala dan kita akan mati di sana nanti.” Jason tersenyum mengingatkanku. “Aku tidak pernah berhadapan dengan situasi seperti ini. Sungai yang disamar-samarkan memang cara paling efektif untuk membuat musuh kebingungan.” Aku menggeleng kesal. Jason terdiam lalu beberapa saat dia mengambil batu-batu kecil yang ada di sekitar. Dia memintaku melempar batu itu agar nanti bisa mengetahui mana sungai yang asli. Katanya sungai yang asli akan menimbulkan suara air. Jason membawaku lebih mendekat dua sungai itu. Airnya mengalir dengan deras. Lebar sungai ini juga tidak bisa diremehkan. Selain lebar, arusnya juga deras. “Kamu harus berhati-hati. Nanti takutnya terpeleset ketika menginjak batu yang ada di pinggirannya ini.” Jason menunjuk susunan batu yang ada di pinggiran sungai. “Arusnya deras. Aku takut jatuh ke dalam sungai itu. Apalagi kekuatanku belum bisa aku gunakan.” Aku menggelengkan kepala penuh ketakutan. Jason menggenggam tanganku. Dia menenangkanku. Kapan pun dia akan selalu ada untukku meskipun aku sudah tidak mempunyai kekuatan lagi. Kami bersama-sama melempar batu itu ke dua sungai yang memiliki bentuk sama. Sungai di sebelah kanan tidak menimbulkan suara tetapi malah suara percikkan. “Ini bukan sungai. Sebaiknya kita memilih yang kiri.” Jason mengajakku masuk ke dalam sungai itu. Aku menarik tangannya. Aku benar-benar takut. “Aku benar-benar takut. Aliran sungai itu sangat deras.” Ketakutanku membuat Jason tertawa kecil. Ketika semua kekuatanku hilang, keberanianku seolah juga ikut hilang. Begitu katanya. Aku tidak boleh seperti itu, keberanian harus ada dan digunakan bagaimana pun kondisinya. Jason memberiku semangat agar aku tidak terlalu bergantung pada kekuatan supranaturalku saja. Ada banyak hal yang bisa membuat seseorang hidup selain hanya kekuatan yaitu keyakinan. “Apabila kamu yakin akan bisa melewati sungai ini. Maka kegagalan minim terjadi padamu. Berhati-hatilah jangan sampai membuatmu takut dan bergantung pada kekuatan supranaturalmu itu.” Jason mengajakku melangkah. Air sungai itu sangat dingin ketika menyentuh kakikku. Kami terus berjalan menyeberangi sungai itu. Air sungai itu seperti membelas sehingga membuat kami tidak terlalu kesulitan ketika menyeberanginya. “Bisa kan kamu melewati bahaya tanpa kekuatanmu itu?” Jason tersenyum menggoda ketika kami sampai di seberang. “Bisa karena memang ada kamu. Mana mungkin air itu akan membelah sendiri bila tanpa kekuatanmu itu.” Aku cemberut. Dia tertawa sembari memintaku berjalan lagi. Hutan masih jauh terlihat. Kami baru sampai seperempatnya saja. Masih ada tempat entah itu sungai atau apa pun yang harus kami lewati. “Bapak pernah mengajakku ke hutan itu. Tetapi tidak sampai masuk. Makanya sedikit-sedikit aku bisa menghafal jalan menunju hutan itu.” Jason menunjukkan beberapa tempat di mana dia pernah singgah bersama bapaknya. Aku mendengar ceritanya yang penuh kekaguman itu. Dia tidak menyangka mendatangi tempat itu merupakan modal awal untuk membantuku ke sana. “Mungkin ini sudah digariskan oleh Tuhan sendiri. Kalau manfaat dari pergi ke hutan adalah untuk membantumu ini. Kita bisa mendatangi hutan itu berdua saja. Mengobrol dan menghabiskan waktu.” Jason yang kini banyak bicara. “Aku rasa begitu. Pertemuan kita ketika membantu menangkap pencopet juga merupakan cara Tuhan mempertemukan kita.” Aku tersipu malu mengingat kejadian itu. Padang rumput yang dihuni ribuan ular. Aku berhenti ketika melihat ada patok di depan gapura masuk. Telunjukku lurus mengarah ke patok itu. Jason mendekat dia membaca sekilas lalu menghampiriku. “Tenang. Akan aku bantu mengalahkan ular-ular itu. Ada trik untuk membuat ular tampak tidak agresif.” Jason melangkahkan kakinya duluan meninggalkan aku yang masih terperangah melihat ekspresi tenangnya. Memasuki padang rumput yang menjadi rumah ribuan ular sama saja upaya bunuh diri yang terencana dengan baik. Tetapi dia masih menganggap kalau semua akan baik-baik saja. Ular akan bersembunyi di rumput-rumput yang lebat lalu menyerang dengan cepat tanpa sepengetahuan kami. “Ini ular melata lo, Jason. Bukannya terbang. Padang rumput itu pasti akan dia gunakan untuk bersembunyi sebelum menyerang kita.” Aku menggelengkan kepala.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD