27.
Pagi-pagi Amanda sudah mempersiapkan anak buahnya yang terlatih untuk menyerang markas aparat. Sesuai perintahku, hari ini dia dibantu Agatha akan menyerang markas itu. Aku rasa Agatha akan bisa mengatasi semuanya.
Namun ada satu hal yang terpenting, mencari tahu identitas Jason. Agatha baru bangun setelah semalam membantu menaklukan para penjahat tanpa menggunakan kekuatan apa pun.
“Melelahkan juga ya, bertarung dengan para penjahat tanpa menggunakan kekuatan apa pun. Biasanya hanya dengan satu kekuatan, kita bisa mengalahkan mereka dalam waktu sekejap.” Agatha menggerutu kesal ketika dia mandi.
“Rasanya juga sama. Aku merasa sangat lelah hari ini.” Aku menggerakkan kepalaku. Pegal-pegal punggungku.
Tetapi hari ini Agatha akan datang ke markas bersama Amanda. Dia sudah berjanji dan tidak mungkin akan mengingkarinya, begitulah katanya ketika aku meminta untuk istrahat sejenak.
Aku tidak memaksanya makanya aku harus turun untuk menyertai kepergian mereka. Amanda memberiku salam. Di sana sudah ada Ayah dan yang lain juga.
“Aku tidak akan berpesan banyak. Karena aku yakin kalian adalah petarung tangguh. Aku hanya ingin bilang, bila ada apa-apa aku akan datang membantu kalian. Kali ini aku akan membantu karena kemarin kalian sudah berjuang sekuat tenaga.”
Amanda dan yang lain mengangguk. Agatha sudah bergabung dengan mereka. Aku menyusun rencana. Posisi bertarung mereka harus aku atur sebaik mungkin. Agatha aku tempatkan di belakang. Serangan dari arah belakang lebih menakutkan.
“Terima kasih. Ini akan menjadi posisi berperang terbaik. Kami akan kokoh dari segala penjuru.” Amanda tersenyum dan mereka semua meminta izin untuk berangkat.
Mereka pergi meninggalkan kami yang ada di sini. Ayah yakin mereka akan menang. Padahal bukan hanya itu tujuanku mengirim mereka.
***
Selesai mandi aku bersantai di taman markas. Secangkir teh hangat dan roti bakar sudah melambai-lambai ke arahku. Tanganku sudah tidak menahan godaan itu, aku raih keduanya dan aku nikmati satu per satau dengan kebahagiaan yang berhembus ke relung hati.
Kemarin sore aku merasakan kebahagiaan. Hampir beberapa jam lamanya, aku dan Aleksia menghabiskan waktu bersama.
“Bos, markas kembali di serang.” Salah satu penjaga menghampiriku dan mengabarkan hal yang menyebalkan. Belum selesai aku menikmati secangkir teh, markas ini sudah diserang lagi.
“Nanti aku membantu. Aku ingin menikmati sarapan pagi ini dulu.” Aku mendengus kesal.
Penjaga itu mengangguk. Kini aku memilih untuk menikmati sarapan pagiku. Kemarin ketika sarapan, aku juga diganggu dengan kabar ini. Menyebalkan memang.
Roti belum juga habis, penjaga itu datang lagi ke arahku. Katanya mereka hanya ingin mencariku saja. Hanya aku yang sepadan dengan mereka.
“Apa perempuan yang kemarin lagi?” Aku bertanya spontan ketika mengingat perempuan kemarin.
“Benar kali dia membawa temannya. Jadi dua perempuan yang menyerang markas ini.” Aku segera turun dari kursi usai mendengar itu dan menuju lapangan.
Ketika aku menemui mereka, memang benar ada dua perempuan yang sedang bertarung dengan anggota lainnya. Anehnya, perempuan yang berada di posisi belakang menutupi wajahnya seperti ninja.
“Mau kalian apa?” Suaraku mengejutkan mereka. Mereka menatapku dengan tatapan terkejut.
“Kemarin aku berjanji, aku akan datang lagi untuk menyerang kalian.” Aku mengangguk ketika Amanda menerangkan tujuan mereka kemari.
Aku katakan kalau dua orang sekaligus tidak akan mengubah apa-apa. Markas ini akan aman jika masih ada aku di sini.
Mereka langsung menyerangku. Aku rasa mereka tidak mau berbasa-basi lagi. serangan demi serangan kami gencarkan.
“Kali ini mulutmu yang jumawa itu akan aku bungkam.” Amanda menggunakan kekuatan terbaiknya untuk menyerangku. Tubuhku terluka terkena serangan itu.
Kedua bajuku yang tepat berada di lengan terlepas, aku meringis kesakitan. kekuatannya bertambah dua kali lipat.
Namun bukan dia yang menjadi perhatianku. Tetapi perempuan yang menutupi wajahnya itu. Dia tidak menyerangku sama sekali dan memilih melakukan pertahanan. Mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Aku mencoba menyerangnya, dia terkejut dan menghindar. Bagaimana pun caranya, aku harus mencari cara agar penutup wajahnya terlepas.
Seranganku beralih tepat di wajahnya. Bagian pipi kirinya itu ada pengkait yang bisa membuka wajahnya.
“Kalau berani menyerangku pengecut.” Amanda mencoba mengalihkan perhatianku. Dia mengganggu fokusku.
Dengan satu serangan dariku, Amanda terjungkal ke tanah. Perempuan itu terkejut. Dia menyerangku dengan kekuatannya.
Mengejutkan. Kekuatannya bisa mengimbangi kekuatanku. Bahkan aku dibuat kerepotan oleh serangannya yang bertubi-tubi itu.
“Siapa kamu? Kenapa kamu tutupi wajahmu?” Aku bertanya di tengah erangan rasa sakitku.
“Tidak perlu kamu mengetahui aku siapa. Yang jelas aku musuhmu. Ayo lawan aku.” Perempuan itu menyerangku lagi.
Kali ini serangannya bisa aku hindari. Pisau-pisau kecil meluncur dengan deras dari semua sisi. Rasanya menyenangkan mendapatkan semua ini.
Mendapatkan lawan yang sepadan membuatku merasa tertantang. Bagaimana bisa perempuan mengimbangi kekuatan laki-laki.
“Jujur aku penasaran denganmu. Dari bentuk tubuhmu dan samar-samar suaramu, sepertinya aku pernah bertemu denganmu. Siapa sebenarnya kamu?” Aku mulai curiga. Rasa-rasanya dia mirip dengan Agatha, temannya Aleksia yang selalu ikut ketika datang ke taman kota.
“Kita tidak pernah bertemu sama sekali. Baru kali ini aku melihat laki-laki selemah dirimu. Dengan perempuan saja kamu tidak bisa mengalahkannya.” Perempuan itu berkata sombong.
Aku tertawa. “Memangnya kalau aku mengeluarkan kekuatanku yang sesungguhnya, kamu bisa menghalaunya?”
Dia memintaku untuk mencobanya. Baiklah kalau itu yang dia inginkan. Aku menyerangnya secara insten. Dia gelagapan dengan semua kekuatan yang aku miliki. Serangannya dan pertahanannya mulai goyah.
Tetapi dia tidak kurang akal, dia juga mengeluarkan kekuatan yang membuatku lagi-lagi terheran-heran. Aku ingin menguji kekuatannya. Seberapa besar kekuatannya.
Namun sepertinya, dia tidak mampu mengimbangi. Tubuhnya mulai goyah. Ketika aku menyerang kaitannya, kain yang menutupi wajahnya terlepas.
“Agatha.” Seketika bibirku menganga melihat wajahnya. Perempuan itu terkejut karena baru menyadari kainnya terlepas.
Dia pun langsung lari menghindariku. Aku mengejarnya. Amanda menggangguku. Berkali-kali dia menyerangku agar tidak bisa mengejar mereka.
“Agatha. Tunggu. Kamu benar Agatha kan?” Aku meneriakki perempuan itu. Perempuan itu berusaha mengaitkan lagi kain penutup wajahnya.
Larinya semakin kencang. Aku pun mempercepat lariku juga. Kali ini aku harus bisa menangkap mereka. Sungguh aku ingin mematiskan kalau perempuan itu adalah Agatha. Dugaanku benar, selama ini ada kaitannya antara Amanda, Agatha, dan Aleksia.
Tetapi aku belum bisa meyakinkan diriku kalau aku hanya melihat sekilas dan hanya beberapa detik saja. Entah apa, tiba-tiba ada gumpalan hitam mencegahku. Gumpalan itu sulit aku pecahkan. Sudah berkali-kali aku menendangnya, tetapi gumpalan itu masih mengurungku.
“Sialan. Siapa yang mengirim gumpalan ini.” Aku memejamkan mata mulai mengeluarkan seluruh kekuatanku untuk menghancurkan gumpalan itu.
Sialan ketika aku berhasil keluar dari gumpalan ini. Mereka sudah tidak terlihat dengan jelas. Bahkan aku tidak menemukan jejaknya. Baik dari indera penciuman, pendengaran dan penglihatan, aku tidak bisa menemukan mereka.
***
Amanda dan Agatha terengah-engah ketika sampai di markas. Aku menanyakan tentang keadaannya. Sejak mereka mengirim sinyal untuk menolong mereka, aku tahu kekuatan laki-laki itu memang luar biasa. Makanya aku mengirim gumpalan hitam itu untuk mengurungnya.
“Kami kewalahan. Laki-laki itu memang kuat.” Amanda melaporkan pertarungan tadi usai napasnya mulai teratur.
Aku mengangguk. Perlahan aku mengerti kalau memang Jason itu adalah Jason yang aku kenal. Tadi aku sempat melihatnya dari kejauhan dengan mata batinku. Ini akan menjadi hal yang sulit. Di sisi lain aku ingin hidup normal tanpa harus memihak pada siapa pun.
“Aku sudah melawannya. Satu serangan dari dia membuatku tersungkur ke tanah, Aleksia. Begitu juga dengan Agatha. Mulanya dia bisa mengimbangi laki-laki b******k itu. Tetapi akhirnya kekuatan laki-laki itu bertambah dua kali lipat. Agatha pun memilih mundur.” Mendengar Amanda menyebut Jason sebagai laki-laki b******k hatiku terasa ngilu.
Sebenarnya tanganku ingin menamparnya dan memukulnya. Tetapi tidak mungkin aku lakukan hal itu. Dia akan kebingungan karena dia sendiri pun tidak melakukan kesalahan. Toh semua ini hanya soal perasaanku saja.
Untuk mengurangi ketegangan ini. Aku hendak memintanya beristirahat. Namun tiba-tiba Amanda mengucapkan sesuatu yang membuatku bungkam.
“Anehnya, laki-laki tadi mengenal Agatha. Apa kalian pernah ketemu, Agatha?” Amanda menanyai Agatha dengan tatapan curiga.
“Tentu saja tidak pernah. Bukankah selama ini aku berada di luar pulau? Bagaimana bisa kita pernah ketemu?” Agatha mengelak dengan kikuk. Sesekali matanya melirikku.
“Benar juga ya. Tetapi tadi seperti mengenalmu dan ingin berbicara denganmu empat mata.” Amanda masih mengejarnya.
“Mungkin Agatha lain. Sekarang banyak wajah yang hampiri mirip satu dengan lainnya. Bukankah kamu sering dikira aku, Amanda?” Aku membantu Agatha yang kehabisan jawaban karena serangan intens dari Amanda.
Amanda tertawa membenarkanku. Lalu dia meminta izin untuk beristirahat. Katanya dia lapar, sejak pagi tadi perutnya belum terisi apa-apa.
Usai Amanda pergi, aku menarik Agatha untuk cepat masuk ke kamar. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan.
“Kita harus bagaimana ini? Mana mungkin aku akan berhubungan dengan musuh bebuyutan dari VENOM, Agatha?” Aku bertanya panik. Kakiku tidak mau berhenti membawa tubuhku mondar-mandir tidak jelas di kamar.
“Kemarin aku sudah bilang padamu. Jangan pernah mencampurkan perasaan dengan organisasi ini, Aleksia. Jika kamu ingin bersamanya, kamu tinggalkan saja VENOM dan hiduplah berbahagia dengan dia. Aku nanti juga akan ikut. Aku sudah muak dengan semua ini.” Mata Agatha berkaca-kaca.
Untuk keluar dari VENOM aku harus melalui banyak hal dan tentunya rintangan. Ayah, Mark dan yang lain pasti tidak akan setuju. Mereka akan menyusun rencana agar aku bisa bertahan di VENOM ini.
“Kamu adalah ratu. Tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatanmu saat ini. Bahkan kekuatan mereka jika digabung, tidak akan membuatmu mati atau kalah. Aku akan membantumu melawan mereka. Tetapi usai kamu meminta penjelasan tentang perasaan Jason padamu.” Agatha berdiri memegang pundakku.
“Maksudmu aku harus berterus-terang padanya agar aku tahu kepastian yang ada? Mana mungkin?” Aku memprotes usulan yang Agatha berikan. Tetapi Agatha menggeleng.
Saat ini tidak ada hukumnya laki-laki yang harus dulu menyatakan perasaan. Perempuan pun berhak mengatakan terlebih dulu. Dia pun mencotohkan dirinya yang menyatakan cinta pada laki-laki yang dia cintai.
“Nanti kita akan menanyakan hal itu. Kita saling terbuka. Setelah kita akan melawan dua kubu sekaligus. Aku akan membantu kalian melawan LIGHTBORN dan VENOM. Karena aku yakin mereka akan menyerang kalian jika kalian pergi meninggalkan mereka.” Agatha tersenyum. Ide gila ini membuat kegelisahanku luluh lantah.
“Baiklah kalau begitu. Nanti kita akan menemui Jason dan mengatakan yang sesungguhnya.” Ketika aku mengucap itu, ada suara orang jatuh di depan pintu.
Agatha bilang pasti Amanda menguping. Segera aku berlari ke arah pintu dan membukanya. Ternyata benar, Amanda menguping sejak tadi.
Aku mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke kamar. Dengan nada marah aku menanyai maksud dan tujuannya menguping.
“Sungguh aku hanya penasaran dengan Jason. Ternyata kamu menyukainya, Aleksia. Aku tidak menyangka kamu akan memilih hidup bersamanya ketimbang bersama kami.” Amanda memasang wajah kesal.
“Memangnya apa pentingnya semua ini untukmu. Ini hidupku, aku berhak menentukan hidupku sendiri. Kamu tidak perlu untuk cari tahu atau ikut campur sekalipun.” Amarahku meluap-luap.
Amanda akan mengatakan hal ini pada Ayah. Aku mempersilakannya. Bahkan aku tidak takut jika dia juga bilang pada Mark sekalipun.
“Keputusanmu sudah bulat ketika mempersilakan Amanda pergi dan akan lapor ke Ayah?” Agatha menyadarkanku dari amarah yang menggebu-gebu.
“Aku sudah lelah. Aku sudah muak. Saatnya kita memberontak, Agatha. Kita sejak kecil diperlakukan seperti kelinci percobaan. Hidup kita banyak diatur. Rasanya aku mulai bosan dengan semua aktivitas hidup yang seperti ini.” Aku mengepalkan tangan.
Agatha mengangguk. Kapan pun dia akan mendukungku. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Puluhan perajurit mengepung kami. Ayah berjalan memasuki kamar usai mereka berbaris mengepungku.
“Apa benar yang dikatakan oleh Amanda kalau kamu mencintai seseorang yang bukan dari anggota VENOM?” Ayah bertanya dengan nada yang tidak suka.
“Benar. Aku mencintai laki-laki itu.” Aku juga tidak gentar.
“Lalu kenapa kamu ingin keluar dari VENOM?” pertanyaan Ayah membuatku terdiam.
Aku jelaskan kalau laki-laki itu adalah Jason. Anggota dari musuh bebuyutan VENOM. Aku memberinya tawaran. Jika aku tidak boleh keluar, izinkan aku menjalin hubungan dengan Jason.
“Mana mungkin kami mengizinkanmu berhubungan dengan musuh bebuyutan kita. Bisa-bisa mereka menyerang kita tanpa sepengetahuan kita dari hubunganmu ini, Aleksia.” Ayah masih bersikeras memegang prinsip kalau dia tidak mengizinkanku.
“Sudah jelas kalau memang Ayah ingin aku keluar dari VENOM.” Aku bergerak memunguti semua pakaianku.
Seketika Ayah memerintah perajurit itu untuk menangkap kami. Aku tersenyum. Hanya dengan mengangkat jariku, mereka semua tersambar petir dan aliran listrik yang mempunyai ketegangan yang tinggi.
Ayah mengejarku hingga sampai di depan markas. Dia dengan dibantu Amanda mencoba menyerangku. Tetapi usaha mereka sia-sia. Hanya dengan serangan dari Agatha, mereka sudah terkapar.
“Aku akan pergi dari VENOM. Jaga VENOM baik-baik.” Aku meminta izin pada mereka yang masih terkapar untuk pergi selama-lamanya.
Sepanjang perjalanan Agatha bernyanyi-nyanyi dan berteriak-teriak. Dia menari-nari dengan riang gembira. Karena baru kali ini dia merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.
Aku mengajak dia ke taman kota. Meskipun sore belum menjelang. Aku harus menenangkan diriku dengan memakan ice cream di sana.
“Tuang Ice cream itu sudah datang siang begini. Jadi ajakanmu tidak salah.” Agatha mengacungkan jempol ke arahku.
“Syukurlah. Mungkin dengan ice cream hatiku bisa sedikit tenang. Aku ingin bertemu dengan Jason dan mengajaknya untuk lari dari anggota bodoh itu setelah memakan ice cream.” Aku meremas baju bawaanku.
Namun di tengah jalan. VENOM menghalangi jalanku. Dia mengirim laba-laba raksasa dengan bulu-bulu racun di seluruh tubuhnya dan matanya memerah menyala.
“Kalau kamu tidak kembali. Akan aku bunuh seluruh manusia yang ada di sini.” Laba-laba itu bisa berbicara.
“Salah apa dia denganmu laba-laba bodoh.” Aku mengernyitkan dahiku.
28.
Laba-laba itu mengeluarkan jaring racunnya yang berwarna hitam ke tubuh kami. Kami melompat menghindari jaring itu. Laba-laba itu juga memiliki air liur yang mematikan. Mataku yang bisa aku gunakan untuk menganalisa kekuatan lawan pun mulai bekerja dengan baik.
“Selama aku menjadi anggota, aku tidak pernah melihat laba-laba ini, Aleksia. Memangnya selama ini dia tinggal di mana?” Agatha menggaruk-garuk kepalanya karena baru pertama kali meihat laba-laba raksasa itu.
“Laba-laba ini tinggal di gua yang ada di Papua. Di sana banyak gua-gua besar yang ditinggali hewan-hewan raksasa milik VENOM. Ada kalajengking raksasa. Kaki seribu, dan ini laba-laba sialan yang mengganggu hariku saat ini.” Aku menggerutu.
Laba-laba itu menyerangku lagi. Tetapi aku menghindarinya. Ketika dia tidak bisa menyerangku, dia menargetkan lain. Dia memilih untuk merusuh keadaan sekitar. Satu dua manusia dia makan. Keributan pun terjadi.
Alarm kepanikan membuat semua orang berlarian. Aku mengumpat, menyumpahi laba-laba itu. Aku mengajak Agatha untuk mengejar laba-laba yang larinya semakin kencang sembari memakan orang-orang yang ada di depannya.
“Berhenti kamu k*****t!” Aku menyerang tubuhnya dengan serangan berkali-kali. Tetapi laba-laba itu bisa menghindarinya.
Aku rasa laba-laba itu sudah dibekali kekuatan agar bisa mengimbangi kekuatanku. Aku tersenyum ketika menyadari hal ini. Bagaimana bisa kekuatannya menjadi bertambah berkali-kali lipat.
Polisi mulai berdatangan. Dia menembakki laba-laba itu. Tetapi mustahil rasanya bisa mengalahkan laba-laba itu hanya dengan pistol kecil senjatanya itu. Laba-laba itu mengamuk dan memakan salah satu darinya.
“Maju. Aku bukan laba-laba selemah dulu.” Laba-laba itu menyombongkan diri ketika kami datang.
Agatha yang menawarkan diri untuk melawan laba-laba itu. Dia menggunakan kekuatan bola api dan pisau kecil untuk menyerang tubuhnya. Tubuhnya mendadak mengeras. Evolusi yang dilakukan oleh mereka memang luar biasa.
“Kulitnya bisa menjadi sekuat kulit badak, Aleksia. Tetapi aku tidak mau menyerah. Akan aku serang lagi dia.” Agatha kembali mengeluarkan pedang saktinya.
Dia coba melompat dan memenggal kepalanya. Namun pedang saktinya patah menjadi dua. Agatha terperangah. Tidak menyangka pedangnya bisa patah menjadi dua.
“Dia sudah berevolusi menjadi laba-laba yang kuat, Agatha. Bahkan aku sendiri pun tidak bisa mengatasinya. Kekuatannya berkali-kali lipat bertambah. Sulit rasanya mengalahkan dia hanya dengan mengandalkan kekuatan kita. Kita harus analisa terlebih dulu baru kita cari cara mengalahkannya.” Aku mengingatkan Agatha. Agatha mengangguk mengerti.
Dia memakan polisi yang mencoba menembakinya. Lalu mengincar kami. Aku menarik Agatha yang berusaha melawannya. Dia memprotes. Tetapi aku menggelengkan kepala. Mengingatkannya lagi. dia menepuk jidat.
Laba-laba itu mengejar kami. Aku mengajak Agatha terbang untuk menghindari serangannya. Dia melempar jaring-jaring racunnya.
“Ini hadiah balik untukmu.” Aku melempar racun yang sangat mematikan. Namun sayangnya, racun yang berfungsi hanya bisa untuk mematikan satu organ saja.
Tubuh laba-laba itu bergetar secara mendadak. Kakinya tiba-tiba berhenti. Aku berhenti melihatnya. Agatha menatapku.
“Apa yang kamu lempar ke tubuhnya itu?” Agatha keheranan karena apa yang aku lempar bisa membuat tubuh laba-laba itu bergetar nyaris dengan kejang-kejang.
“Aku hanya melempar racun ke tubuhnya. Tetapi sayangnya, racun itu hanya bisa menghentingkan satu fungsi organ saja. Aku menyerang organ yang menjadi pusat produksinya jaring-jaring itu. Dengan itu, jaring-jaring itu tidak akan bisa keluar lagi dari tubuhnya.” Aku tersenyum.
Agatha mencubit pipiku gemas. Katanya aku senantiasa bisa diandalkan. Siapa pun lawannya, aku bisa mengatasinya.
“Itulah kekuatan yang tidak pernah dimiliki oleh siapa pun. Mempelajari kelemahan musuh hanya dalam waktu secepat itu hanya bisa kamu lakukan, Aleksia.” Agatha menggeleng keheranan.
Aku tersenyum mengangguk. Laba-laba itu terduduk usai mendapatkan serangan dari racun. Tetapi tak berselang lama dia berdiri lagi.
Dia melempar liurnya. Sialan, ternyata liurnya juga mengandung racun. Aku mengumpat dan mengajak Agatha lari lagi.
“Memangnya kalau kamu berhasil melumpuhkan jaringku, aku akan mati dan kalah? Tidak semudah itu perempuan tengik!” laba-laba itu mempercepat larinya dan menembakkan liurnya.
Aku menabrak pohon karena tidak melihat depan saat menghindari air liurnya. Aku terjatuh sedangkan Agatha mencoba menyelamatkanku. Tetapi laba-laba itu terus menembakkan air liurnya ke arah Agatha.
“Bertahanlah di sana, Aleksia. Aku akan membantumu.” Agatha berusaha menghindari gumpalan air liur itu sembari berusaha menghampiriku.
Aku meringis kesakitan. Kepalaku terasa dipenuhi kunang-kunang karena terbentur dua kali: pohon dan jalanan. Pandanganku juga samar-samar. Aku tidak bisa melihat dengan jelas laba-laba yang ada di depanku.
Pasarah. Hanya itu yang bisa aku lakukan karena tidak mungkin aku bisa mengeluarkan kekuatan dalam keadaan seperti ini.
“Aleksia.” Ada tangan laki-laki menyahutku ketika laba-laba itu hendak memakanku.
“Jason.” Agatha yang memanggil nama itu dan membuatku sadar kalau yang menolongku tadi adalah Jason.
Jason memegang kepalaku. Seketika pusingku hilang dan kunang-kunang yang berterbaran menjadi guguran bunga yang begitu indah.
Kesadaranku pulih sempurna. Aku berterima kasih padanya karena telah menyelamatkanku. Jason mengangguk.
“Aku akan melawan laba-laba itu. Kalian tunggu di sini.” Jason melompat dari pohon dan berduel dengan laba-laba itu.
“Bagaimana ini? Apa kita hanya akan menonton saja sedangkan Jason dalam keadaan berbahaya seperti itu?” Aku menarik tangan Agatha.
Agatha memintaku untuk diam. Lebih baik menyaksikkan ketimbang membuat dia khawatir. Jason juga memiliki kekuatan yang hebat jadinya aku tidak perlu risau. Begitulah usulan Agatha yang aku terima dengan anggukkan.
Jason melawan laba-laba itu dengan kekuatan paranormalnya. Kini dia tidak lagi malu mengeluarkan kekuatan itu. Mungkin karena keadaan ini memang darurat, makanya dia mengeluarkannya di depanku.
“Tempatmu bukan di sini.” Jason berbicara di tengah-tengah kesibukannya bertarung dengan laba-laba itu.
“Apa hakmu melarangku ha. Dasar manusia tidak berguna.” Laba-laba itu menyemburkan api. Jason melompat dan membalasnya dengan pukulan.
Laba-laba itu mundur beberapa langkah karena pukulan itu. Tetapi ludah yang dia lempar ke tubuh Jason tidak bisa Jason hindari. Aku berteriak.
“Tenanglah aku tidak akan apa-apa.” Jason memejamkan mata dan air liur itu menghilang seketika.
“Syukurlah. Hati-hati dia bukan laba-laba biasa.” Aku mengingatkannya. Jason mengangguk.
Beberapa polisi membantu Jason mengalahkan laba-laba itu. Beberapa orang melihat dari balik kaca dengan wajah ketakutan.
Laba-laba itu mengeluarkan gumpalan hitam yang entah apa aku tidak tahu, hingga tiba-tiba membuat Jason terbatuk-batuk. Gumpalan hitam itu seperti gas racun.
“Agatha kamu menyelinap masuk ke awan itu. Tutup mulut dengan ini dan bawa Jason naik ke pohon ini. Aku akan memutus gumpalan itu karena kalau tidak aku putus akan sangat mematikan.” Aku melompat usai memberinya masker anti racun.
Brengsek, ucapku ketika aku memotong gumpalan itu. Laba-laba itu terpental jauh ke belakang karena gumpalan itu membawa tekanan ke belakang. Aku menyemburkan air ke arah gumpalan yang membumbung kian membesar.
Polisi-polisi yang ada di sekitar mulai pingsan. Aku menjadi panik. Apa yang bisa membuat gumpalan ini menghilang.
“Kamu tidak akan bisa menghilangkan gumpalan itu.” Laba-laba itu kembali mendekat. Aku berjaga-jaga sembari mencari cara.
Gumpalan itu menyebar dengan cepat hingga menutupi seluruh wilayah yang ada di sini. Aku menelan ludah. Kalau aku biarkan gumpalan ini terus menyebar, bisa-bisa seluruh manusia akan mati. Mereka tidak akan ada lagi.
Aku meremas-remas tanganku sendiri karena gemas. Ketika aku hendak marah, Jason turun dan mensejajariku.
“Aku akan membantumu mengalahkan laba-laba ini. Semuanya tentangmu aku sudah mengetahuinya. Tenanglah aku akan tetap bersamamu.” Jason tersenyum padaku. Bibirku menganga karena tidak bisa mencerna dengan apa yang terjadi barusan.
Jason mengeluarkan gumpalan udara untuk membungkus gumpalan itu menjadi. Gumpalan udara itu menyedot gumpalan-gumpalan hitam yang mengandung racun untuk masuk di dalamnya.
“Kamu fokus menyerang laba-laba itu saja.” Jason memintaku untuk menyerang laba-laba sialan. Aku mengangguk.
Seketika aku mengeluarkan kekuatan untuk melawannya. Laba-laba itu kelimbungan karena kekuatanku semakin meningkat.
“Dari mana kekuatan itu muncul?” laba-laba itu bertanya keheranan.
“Apa kamu lupa denganku? Lupa aku ini siapa ha?” Aku memukul kepala laba-laba itu. Laba-laba itu terpentang mundur.
Aku terus mengejarnya. Ketika tubuhnya terlentang, aku menghidangkan tendangan yang besar hingga membuatnya terpental semakin jauh lagi.
Jason masih sekuat tenaga menyedot gumpalan hitam itu hingga masuk ke dalam gumpalan udara yang dia buat.
“Gumpalan itu terlalu kuat.” Jason menggelengkan kepala.
“Biar aku yang membantunya.” Agatha ikut turun tangan. Dia membuka lebar kedua tangannya dan menciptakan gumpalan udara lagi.
Aku mengangguk mengacungkan jempol untuk mereka. Laba-laba itu berdiri lagi. Dia kembali menyerangku. Tetapi tak berselang lama, ada kalajengking yang menyerangku dari arah berlawanan. Aku tersengat racunnya yang mematikan itu.
Tubuhku menjadi biru semua. Aku meraung kesakitan. Racun itu berhasil masuk ke tubuhku hingga sampai ke organ-organ penting.
“Aleksia apa kamu baik-baik saja?” Jason menanyaiku dengan penuh kekhawatiran. Aku mengangguk.
“Tenanglah. Aku bisa mengatasi racun-racun ini.” Aku memejamkan mata mencoba mengeluarkan racun-racun yang tidak biasa ini dari tubuhku.
Racun itu bisa keluar dan aku lemparkan ke batang pohon. Seketika pohon itu mengkerut dan hangus terbakar.
“Dua lawan satu. Ingatkah kalian waktu aku melatihkan kalian hingga menjadi seperti ini?” Aku tersenyum mencoba membuka ingatan mereka lagi.
“Kami ingat. Memang tidak seharusnya kami menyerangmu. Tetapi kata bos kamu sudah berkhianat hanya karena laki-laki itu.” Kalajengking menunjuk Jason.
“Aku hanya ingin hidup layaknya manusia biasa. Bukan diperintah sesuka mereka.” Aku berlari menyerang kalajengking hitam itu.
Tanganku yang mengepal aku berikan kekuatan seperti ribuan palu. Kepala kalajengking itu hancur lebur dan membuat laba-laba di samping terperangah.
“Apa kamu juga ingin bernasib seperti dia?” Aku meludah ke kiri ketika berhadapan lagi dengan laba-laba itu.
“Jangan jumawa dulu.” Kalajengking itu menjadi utuh kembali. Aku menggelengkan kepala.
Bagaimana bisa mereka mempunyai kekuatan sehebat itu. Dari mana mereka belajar kekuatan seperti ini. Aku mengumpat di dalam hati.
Kalajengking itu mengeluarkan racun dari ekornya. Racun itu langsung membakar jalanan dan membuat jalanan itu berlubang.
“Selama ini kami berlatih untuk meningkatkan kekuatan kami. Kamu kira kami hanya makan saja dan tiduran di gua itu?” Kalajengking mengejekku. Sialan sekali.
Aku mencoba memfokuskan penyeranganku pada ekor itu. Dengan kekuatan menghilang, aku sudah berada di depan di ekornya. Ketika aku hendak memotongnya racun itu lebih dulu menyembur ke tubuhku. Aku menjerit dan terpelanting hingga berada di depan Jason dan Agatha.
29.
Sebenarnya aku tahu semua pasukan yang aku kerahkan untuk menghentikan Aleksia tidak akan berhasil. Tetapi setidaknya dengan cara itu dia akan merasa kapok dan kembali lagi ke VENOM.
Aloysius juga tidak berharap pasukan kami menang. Kami hanya akan menggagalkan apa yang menjadi rencana Aleksia.
“Aleksia terkena racun dari kalajengking itu. Apakah dia akan mati?” Aloysius bertanya padaku ketika melihat Aleksia kesakitan dan tubuhnya menjadi hitam legam.
“Dia perempuan yang luar biasa. Bahkan racun yang lebih kuat pun tidak akan bisa membunuhnya. Aku tidak berharap kita bisa menang dengannya. Tetapi setidaknya, kita bisa membuat dia jera dan kembali sebelum pasukan kita kalah. Kalau dia masih bersikeras dan mengeluarkan kekuatannya yang sesungguhnya, sudah kita tidak akan bisa memintanya kembali.” Aku menggelengkan kepala pasrah.
Amanda masuk ke dalam. Dia mengusulkan kalau dia juga akan ikut bertarung melawan Aleksia. Tetapi aku mencegahnya. Dia bukan tandingannya.
“Bagaimana kalau kita juga meminta singa padang pasir untuk menyerangnya? Bukankah singa itu sangat kuat?” Amanda mengingatkanku akan singa padang pasir yang selama ini hampir aku lupakan.
“Boleh juga usulanmu. Sebaiknya kita minta singa itu untuk membantu mereka merepotkan Aleksia agar dia mau kembali pada kita.” Aku tersenyum mengangguk.
Aku memejamkan mata lalu menghilang menuju padang pasir. Di sana aku tidak melihat siapa-siapa. Kawanan singa padang pasir tidak terlihat. Aku bersiul mencoba memanggilnya keluar. Sepuluh menit menunggu, singa itu belum juga muncul.
“Algator. Muncullah. Aku butuh kamu.” Setelah memanggil namanya, aku mendengar auman keras dari arah barat.
Singa jantan bertubuh besar berlari ke arahku. Dia menjilatiku ketika sampai di hadapanku. Beberapa keluarganya pun juga ikut mendekat.
“Sudah lama kamu tidak menengokku.” Algator berkata memprotes.
“Maafkan aku. Masih banyak kepentingan yang perlu aku urus. Tetapi jatah makanmu amankan?” Aku tertawa ketika dia menggelitikki punggungku.
“Kalau tidak aman, anak buahmu itu akan aku makan sendiri.” Algator tertawa.
Dia sempat menanyakan tentang Aleksia. Bahkan hewan-hewan pun ketika aku menemuinya, selalu menanyakan tentang Aleksia. Aura pemimpin memang ada di diri Aleksia sehingga membuat dia selalu dirindukan bahkan para hewan sekalipun.
“Aleksia telah berkhianat. Makanya aku kemari untuk memintamu melawan dia.” Tanganku sibuk mengelus-elus lehernya.
“Jangan sembarangan. Aku tidak akan mungkin menang melawan Aleksia. Dia sangat kuat. Bisa-bisa aku akan mati dibunuh tangan kecilnya itu. Dia yang mengajariku cara bertarung yang hebat.” Algator menggeleng karena dia mengetahui kemampuan yang Aleksia miliki.
“Tidak. Aku hanya ingin membuat Aleksia berubah pikiran setelah mendapatkan serangan bertubi-tubi. Aku sudah memerintahkan si laba-laba dan kalajengking untuk melawannya. Mereka sepertinya berhasil mengalahkan Aleksia untuk saat ini. Makanya aku meminta tolong padamu untuk membantunya.”
Algator setuju. Aku membawanya pergi dari padang pasir. Semua penghuni markas terkejut ketika melihat Algator yang datang bersamaku. Singa sebesar itu tidak akan mudah dikalahkan. Namun aku agak sedikit ragu, karena dari sekian hewan, hanya Algator yang paling dekat dengan Aleksia.
“Berangkatlah. Mereka menunggumu.” Aku meminta Algator untuk menyusul mereka.
“Aku tidak bisa berjanji untuk kekalahan Aleksia. Dia sangat kuat. Aku takut malah aku yang akan matinya nanti.” Algator mengangguk ragu. Tetapi aku menyertainya dan mengatakan berjuanglah terlebih dulu. Urusan menang itu urusan akhir.
***