-17-

1471 Words
32. Jason menarikku paksa. Katanya dia akan mengajariku sebuah keberanian yang alami. Selama ini keberanianku hanya dipengaruhi oleh kekuatan yang aku miliki saja. Ketika kekuatan itu tidak, aku akan seperti perempuan pada biasanya yang sering takut dengan apa-apa. Entah itu ular, kecoa, kalajengking dan bahkan anakan cicak. “Kamu lihat ada gelombang rumput itu. Itu tandanya, ada banyak ular di sekitar itu. Kita harus mencari rumput yang tidak bergoyang-goyang.” Jason menunjukkanku beberapa rumput yang bergoyang-goyang. Aku mengangguk. Benar juga. Ada rumput yang bergoyang-goyang. Ada juga rumput yang diam. Secara nalar, apa yang Jason analisakan memang benar. “Kalau kamu tidak percaya, aku akan membuktikannya.” Jason mengambil batang kayu kecil yang ada di depannya. Dia lemparkan batang itu ke sana. Mendadak aku terkejut karena ada ular cobra yang besar dan tingginya sama denganku. Lidahnya menjulur-julur. Matanya menatap kami. “Jangan bergerak. Kalau kamu bergerak, ular itu akan mengejarmu. Kalau kamu diam, dia merasa kalau kita adalah patung atau batu biasa yang tidak perlu diserang.” Tangan Jason menahanku ketika aku hendak bergerak dan lari dari sini. Aku mengangguk. Keringatku bercucuran deras. Padahal udara di sini sangat menyejukkan. Kami diam beberapa saat hingga ular itu kembali masuk ke semak-semak. “Ini pengalaman mengerikan yang pernah aku rasakan. Memang sih aku kerap melawan hewan-hewan buas tetapi kali ini aku tanpa kekuatan.” Aku merapatkan tubuhku ke tubuh Jason. Jason menggandengku memilih rumput yang tidak bergelombang. Kami melewati dengan penuh ketegangan. Setengah perjalanan bisa kami lewati. Tidak ada ular-ular yang menggubris kedatangan kami. Kami bisa lewat dengan tenang. “Aduh.” Tanpa aku adari aku menginjak sebuah lubang kecil yang membuat kakiku terjerembab di sana dan otomatis aku mengaduh. Sekitar puluhan ular cobra berdiri menatap kami dengan tatapan galak. Jason menggelengkan kepala. Kenapa bisa kakiku jatuh di lubang kecil itu dan membuat suara. Aku menggeleng. Ular itu melata dengan cepat menghampiri kami. Jason menarikku dan kami berlari. Sialnya kami sama-sama terjerembab di tanah ketika ada akar pohon yang melintang dan sialnya kami tidak melihat akar itu. “Ular-ular itu mengepung kita. Aku takut, Jason. Lihatlah mereka begitu besar.” Aku merapatkan tubuhku ke tubuh Jason. Aku sembunyikan wajahku di lengannya yang kekar. “Tenanglah. Aku akan menghadapi mereka semua demi kamu. Kita akan bisa lolos.” Jason memintaku tenang. Ular cobra itu menyemburkan racun ke tubuh kami. Jason menggandengku menghindari semburan itu. Andai kekuatanku bisa, mungkin kami tidak perlu repot-repot melawan mereka. Cukup menggunakan kekuatan menghilang, aku bisa mengajak Jason menghilang. Ular itu masih menyemburkan racunnya hingga Jason mulai kewalahan. Racun-racun itu membentu seperti asap dan menyebar. “Racunnya sangat menyengat Jason.” Aku terbatuk-batuk ketika mendapati racun itu masuk ke hidungku tanpa aku sengaja. “Aku akan mengeluarkan bola-bola api. Katanya ular akan takut dengan api.” Tangan kanan Jason yang bebas bergerak karena tangan kirinya aku peluk, mengeluarkan api-api. Api itu membentuk bola hingga sangat besar. Para ular itu kepanikkan. Kini giliran mereka yang menghindari bola-bola api itu dari kami. Mereka kepanikkan. Ada yang sudah berlari mundur menjauhi api-api yang Jason dekatkan ke arah mereka. Tetapi ada pula yang masih berani dan malah mengadu racunnya dengan api milik Jason. Gila. Pikirku sembari menggelengkan kepala karena keberanian api itu. “Apa dia tidak merasakan panas?” Aku bertanya di tengah-tengah kesibukannya menyingkirkan ular yang masih tetap bersikeras menyerang kami. “Aku rasa ular ini adalah rajanya para ular. Sehingga kekuatannya jauh lebih besar dari kekuatan ular lainnya.” Jason menggeleng. Dia menambah bola apinya hingga aku harus menghindar. Bola api itu terasa sangat panas. Aku seperti berada di depan api dengan tingkat kepanasan yang luar biasa. Jason melempari ular itu dengan api yang ada di tangannya. Tetapi ular itu tidak terbakar atau kulitnya tidak sedikit pun terluka. “Wah ini berbahaya. Bola api milikku tidak sanggup membuatnya mundur.” Jason menggelengkan kepala. Ekornya yang panjang menutup seluruh akses jalan ketika Jason melirik jalan keluar dari padang rumput ini. Aku menelan ludah berkali-kali. Ular ini bahkan bisa membaca pikiran dari lawannya. Sedikit pun dia tidak memberi ruang pada kami untuk pergi. Jason terpaksa kembali mengeluarkan kekuatannya. Di samping itu, aku tidak mau tinggal diam. Aku mencoba mengingat cara mengaktifkan kekuatanku yang pernah Ayah ajarkan padaku. “Aku harus memejamkan mata dan memfokuskan pada hati. Maka kekuatan itu akan muncul.” Aku mencoba berbicara dengan diriku sendiri. Di depanku, Jason mengeluarkan petir-petirnya untuk menyambar ular-ular itu. Tetapi ular itu menangkis dengan sesuatu yang ada di kepalanya. Aku sesekali mengamati sesuatu yang ada di kepalanya itu. “Apa mungkin sumber dari kekuatannya ada di kepala itu ya?” Aku mengangguk mencoba meyakinkan diriku sendiri. Aku amati bagaimana cara dia menangkis dan menghalau kekuatan dari Jason. Lalu tiba-tiba aku teringat dengan perkataan Agatha. “Kekuatanmu itu terletak pada kemampuanmu mempelajari kelemahan musuhmu yang tidak akan pernah dimiliki oleh orang lain.” Aku tersenyum. Entah mengapa aku merasa seperti hidup kembali setelah beberapa saat tadi mati karena kekuatanku menghilang. Aku bangkit dan berdiri berada di dekat Jason. Jason terkejut melihat keberanianku seketika muncul. Dia sempat menggerakkan bola matanya seolah sedang bertanya apa kekuatanku sudah puling? “Bukan kekuatanku yang pulih, tetapi keberaniankulah yang sudah pulih.” Aku mengambil sebatas kayu yang ada sekitarku. “Syukurlah kalau begitu. Aku tidak perlu menyembunyikan wajahmu di ketiakku lagi.” Jason meledekku. Aku mencubitnya. “Kamu lihat sesuatu yang ada di kepala ular itu?” Aku menunjuk sesuatu yang sejak tadi menyita perhatianku. Dia mengangguk. Aku membisikkan rencana yang telah aku susun dalam tempo yang begitu cepat ini. Aku meminta dia untuk menaiki ular itu dan menusuk sesuatu itu dengan pisau. Sedangkan aku akan tetap mengalihkan perhatiannya dengan batang kayu ini. “Hanya dengan batang kayu kamu berani?” Jason terkekeh mengejek. “Sialan. Bahkan dengan tangan kosong pun aku juga akan berani melawan ular ini.” Aku tertawa mumukuli lengannya. Usai bercanda dan membuat ular itu kebingungan karena bukannya takut kami malah asyik bercanda dengan romantis seperti itu. Aku mencoba menusukkan batang itu ke tubuh ular besar yang ada di depanku saat ini. Seketika tubuh ular itu menggelombang. Sepertinya dia merasa geli. “Cepatlah.” Aku meminta Jason untuk lebih cepat karena aku tidak akan mungkin menahan ular ini lebih lama lagi dengan batang kayu ini. Namun ketika melihatku dia malah terpeleset hingga jatuh ke bawah. Aku yang melihatnya refleks menjerit dan membuat ular ini kaget. Semburan racun seketika keluar karena ular ini terkejut. Racun ini mengenai tubuhku. Tiba-tiba aku merasa tubuhku beku dan sulit sekali digerakkan. Darah yang mengalir, perlahan mulai berhenti karena racun-racun ini mulai menyumbat pembuluh darahku. “Aleksia.” Aku hanya bisa mendengar suara Jason sambil tanganku memegangi leherku. Rasanya ada sesuatu yang hendak keluar dari tubuhku. Aku menahannya dan menariknya agar tidak keluar. Jason sudah mendekat. Aku mengejang-ejang karena menahan sesuatu ini. “Bertahanlah. Aku akan mengeluarkan racun ini dari tubuhmu.” Jason terpelanting jauh dariku karena ular itu menyerangnya secara mendadak. Ini keadaan yang sulit. Tidak mungkin kami bisa mengatasi semua ini berdua. Tubuhku kian melemas. Sendi-sendi, otot-otot di dalam tubuh mulai melemah. Satu per satu mereka tidak bisa berfungsi dengan baik lagi. “Brengsek.” Jason menyerang ular itu. Namun apa daya, kekuatan ular itu tidak akan mampu dikalahkan walau dengan kekuatan dariku. Tubuhku kian melemas. Keajaiban datang. Aku melihat ada seekor landak raksasa datang menghampiri kami. Ular besar itu terkejut karena kedatangan landak memang tidak diduga-duga. “Aleksia, mengapa tubuhmu menjadi hijau pucat seperti ini?” Landak itu bisa berbicara. Aku sepertinya pernah mendengar suara ini tetapi di mana. “Racun ular itu sudah membuat tubuh Aleksia terbujur kaku. Tidak lama lagi dia akan mati.” Jason mengusap-usap rambutku sambil sesekali menekan-nekan tubuhku agar racun itu segera keluar. Usahanya sia-sia. Namun landak itu mengerti apa yang harus dia lakukan. Sekilas aku bisa melihat dia mencabut durinya dan menancapkannya di tubuhku. “Tenanglah, Aleksia. Aku akan mengeluarkan racun-racun yang ada di tubuhmu dan memindahnya di duri-duriku ini.” Landak itu tersenyum. Duri-durinya terasa menyedot-nyedot tubuhku. Perlahan darahku mulai mengalir lagi. Organ-organ tubuhku yang sempat tidak berfungsi mulai berfungsi lagi. Landak ini memang hebat. Duri-durinya mampu menyedot dan menjadi penangkal racun bagi racun-racun ular berbisa. Semakin kuat duri itu menyedot semakin aku pulih. Seketika tubuhku kembali normal. Aku hanya merasakan pegal-pegal biasa di sekujur tubuhku. Tenggorokkanku juga sudah bisa aku gunakan untuk menelan ludah dan berbicara. “Sungguh aku harus bagaimana, aku sangat berterima kasih padamu, Landak. Karena mungkin aku akan mati bila tanpamu di sini.” Aku memegang tangan landak itu. Tidak mungkin aku memeluknya, duri-duri itu akan melubangi seluruh tubuhku. “Ini wujud terima kasihku. Kamu pernah menyelematkanku ketika aku terjepit di antara bebatuan. Waktu kamu hendak berlatih di salah satu hutan yang ada di seberang sana.” Landak menunjuk ke arah sungai. Aku hanya mengangguk saja. Landak menatap ular itu. Ular itu terkejut. Matanya kembali sayu. Aku berharap Landak bisa membunuhnya dan setidaknya membebaskan pada rumput ini dari para ular itu.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD