Langit pagi mulai menyapa. Suara kicauan burung silih bersahutan di luaran sana. Sinar matahari pun menyusup melalui celah tirai jendela kamar Nara yang terbuka sedikit.
Nara sedikit menggeliat di tempatnya karena merasakan sesuatu yang berat menindih diperutnya. Perlahan mata wanita itu terbuka, mengerjapkan matanya sesaat lalu menurunkan pandangannya ke bawah.
Seketika matanya membelalak. Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan memutar kepalanya kebelakang, untuk memastikan jika tebakan dalam pikirannya, benar.
Dan kini, bulatan matanya semakin sempurna, ketika mendapati Arion sedang terlelap tidur dibelakangnya dengan wajah yang nampak tak tenang.
Dahinya berkerut dengan bulir keringat kecil semakin membasahi dahinya. Napas pria itu pun terdengar sangat pendek, dan mulai kesulitan bernapas.
Nara segera berbalik–menghadap Arion, berusaha membangunkan pria berwajah tampan yang terlihat pucat, dengan menggoyang-goyangkan lengan pria itu.
"Pak!" seru Nara.
Arion masih tetap dalam mimpi buruknya, dan bahkan terlihat semakin kesakitan.
Gadis itu segera bangkit, dan memindahkan posisi Arion menjadi terlentang. Nara menampar-nampar kecil kedua pipi Arion, agar ia membuka matanya.
"Onion! Astaga, bernapas!" seru Nara dengan nada semakin khawatir.
Tepat sesaat setelah mengatakan itu, mata Arion terbuka dan membelalak. Pria itu segera duduk dan menarik napas sangat dalam, menatap wajah Nara yang terlihat nampak khawatir. Arion tiba-tiba menarik tubuh Nara, dan memeluknya sangat erat, seakan tak ingin melepaskan wanita yang untuk kesekian kalinya, membantu Arion terlepas dari trauma men dalam yang selama ini ia rasakan.
Nara hanya bisa pasrah, dan berdiam diri untuk sesaat karena terkejut. Napas pria itu terdengar cepat dan terasa sangat hangat di kulit lehernya.
"Aku benar-benar lelah, Alnara. Sangat lelah," bisik pria itu dengan lirih.
Ada perasaan iba saat mendengar perkataan Arion barusan. Nara seperti melihat dirinya yang dulu, saat seluruh keluarganya dinyatakan meninggal, dan jasadnya baru diketemukan setelah tim sar melakukan pencarian selama tujuh hari, diketemukan dalam keadaan sudah membusuk.
Nara bahkan sempat mengalami depresi berat dan sering dilarikan ke rumah sakit oleh tetangganya yang saat itu menemukan Nara tergeletak di lantai, setelah melakukan percobaan bunuh diri dengan memotong urat nadinya.
Nara membalas pelukan Arion lebih erat, berusaha memberikan ketenangan dan kehangatan pada pria itu, karena yang Nara rasakan dulu, saat ia terpuruk, yang ia butuhkan hanya satu–sebuah pelukan hangat dari orang yang bisa membuatnya nyaman.
"Aku lelah, sangat lelah." Gumamnya dengan nada melirih. Pria itu semakin mengeratkan pelukannya pada Nara, membuat Nara sedikit terkejut dengan perlakuan Arion yang tiba-tiba.
"Izinkan aku seperti ini, hanya sebentar," bisiknya.
Nara kembali terdiam, dan membiarkan Arion membenamkan wajahnya pada lekuk lehernya. Wanita itu mengusap lembut punggung Arion.
"Untuk sementara, biarlah segalanya berjalan seperti ini. Karena suatu saat nanti, semuanya akan berjalan seperti seharusnya. Keluar dari lubang hitam itu, pak. Berusahalah bangkit. Saya pernah berada di posisi bapak–tujuh tahun lalu. Saya berjuang sendiri untuk keluar dari lubang keterpurukan. Walaupun nyatanya, orang yang menjadi motivasi saya buat bangkit dan memberikan saya rasa nyaman adalah pria yang salah," tutur Nara.
Arion terdiam sesaat mendengar perkataan Nara. Pria itu melepas pelukannya dan menatap Nara dengan dalam.
"Bagaimana ... Jika orang yang membuat aku nyaman adalah, kamu?" tanya Arion tiba-tiba.
Kini giliran Nara yang terdiam. Wanita itu terduduk dan menatap Arion dengan raut wajah kebingungan.
"Tapi pak, saya–,"
"Hanya sebatas teman. Tolong aku sebagai temanmu, Alnara. Aku tidak punya teman yang dapat membuatku merasa tenang dan nyaman setiap kali bayangan itu datang kembali," Potong Arion.
Nara yang mengerti, seketika tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Teman," beonya.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Pak?" tanya Nara.
Arion menganggukkan kepalanya. Wajah pria itu mulai terlihat tenang, dan napasnya pun perlahan kembali normal. Arion duduk bersandar pada dinding kamar, dengan kedua kaki yang ia lipat, bersila.
"Kenapa saya? Ah bukan! Kenapa aku?" tanya Nara tiba-tiba, ia merubah bahasa formalnya, menjadi bahasa layaknya pada seorang teman.
Arion menggelengkan kepalanya. Ia sendiri bahkan masih bertanya-tanya, apa yang sebenernya terjadi pada dirinya. Kenapa Nara? Kenapa gadis pelayan restaurant ini? Apa yang spesial dari gadis dihadapannya sekarang? Bahkan pertanyaan-pertanyaan itu selalu ia lontarkan dalam hatinya beberapa hari terakhir.
Arion yang bahkan masih sangat kesulitan melupakan mantan istrinya itu, hanya bisa meyakini dirinya, bahwa semua yang terjadi saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengobati luka akibat kehilangan Cleo.
Arion termenung untuk sesaat. Sudah terlalu lama pria itu berdiam dalam dasar lubang kegelapan masa lalu, hingga ia kesulitan untuk kembali bangkit dan selalu memilih kembali duduk dan bersemayam dalam kesendirian.
Berkali-kali, Arion ingin bangkit demi mengobati trauma yang sudah terlalu lama mengusik dirinya. Namun, tak ada satu pun uluran tangan yang dapat ia raih untuk membawanya keluar dari dasar jurang keterpurukannya.
Dan untuk pertama kalinya, satu uluran tangan itu mampu membawanya perlahan naik, dan kembali kepermukaan cahaya. Membuat Arion, perlahan-lahan dapat menguasai dirinya dan membuat trauma itu menyamar, dan sedikit demi sedikit menghilang.
Arion menatap Nara begitu dalam. Berharap mendapat jawaban dari pertanyaan yang baru saja Nara tanyakan padanya dari tatapan gadis itu. Tetapi, nihil.
"Aku tidak bisa menjawab itu. Bahkan, aku sendiri tidak tahu, Al." Sahut Arion.
"Kamu bahkan baru bertemu denganku beberapa kali," timpal Nara.
"Ah benar ... Kenapa kamu semalam tidak tidur di kamar temanmu?" tanya Arion berusaha mengalihkan pembicaraan.
Nara yang sejak tadi menekuk kakinya ke atas, kini menjatuhkannya ke lantai dan duduk bersila dengan santai seraya menghela napas.
"Kekasih Kak Rey menginap semalam, mana mungkin aku tidur satu kamar dengan mereka berdua?" sahut Nara dengan nada suara seperti pada temannya.
Arion tersenyum mendengar celotehan gadis cantik di hadapannya.
"Aku benar-benar merasa jadi temanmu, Alnara."
"Kamu sendiri kan yang bilang kita teman?" tanya Nara dengan wajah polosnya.
Arion menganggukkan kepala, dan mulai kembali tersenyum lembut. "Iya, kita teman."
Nara menatap wajah Arion dengan seksama. Memperhatikan wajah hangat, pria yang selama ini tak pernah terlihat tersenyum,
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Nara tiba-tiba.
Senyum pria itu perlahan memudar. "Saat aku sudah siap, aku akan menceritakan semuanya sama kamu. Tapi tidak sekarang!" sahut Arion dengan pandangan menerawang.
Ya ....
Tak ada satu orang pun yang berani membahas mengenai kematian istri Arion sejak kecelakaan saat itu. Bahkan, para pegawai Darres hotel hanya mengetahui status Arion sebagai duda. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Nara tak ingin memaksa. Ia hanya menganggukkan kepalanya mengerti.
"Bagaimana dengan pria di hotel beberapa hari yang lalu?" tanya Arion, berusaha mengalihkan pembicaraan kembali.
"Kami berpisah." Sahutnya.
"Apa kalian tidak berusaha membicarakannya terlebih dahulu?" tanya Arion.
Nara menggelengkan kepalanya. "Semuanya udah jelas. Aku gak butuh penjelasan apa-apa lagi."
"Kamu gak merasa sakit hati?" tanya Arion penasaran.
"Aku bahkan merasa menyesal karena aku terlalu menyayangi dia. Dan aku bersyukur, Tuhan membuka mata aku sebelum kami melangkah ke jenjang pernikahan," jawab Nara.
Arion masih terdiam, mendengarkan setiap perkataan yang terlontar dari mulut wanita asing yang kini menjadi temannya.
"Sayang? Jujur ... Aku gak bisa memungkiri perasaan sayang aku sama Victor. Tapi jika untuk kembali bersama setelah dihianati, aku akan pergi menjauh. Pak, aku sudah bukan lagi rumahnya, ada rumah lain yang sudah dia singgahi. Peluk hangatnya bukan lagi milik aku, tapi sudah milik wanita lain. Aku hanya kecewa, pernah mempercayainya sepenuh hati. Hanya itu," lanjut Nara dengan air mata yang sudah tak dapat ia bendung lagi.
***