Tiga belas

1014 Words
Damian memijat pelipisnya, sudah hampir seharian ini ia berkutat pada kertas yang bertumpuk di meja kerjanya. Ia sama sekali tidak beranjak dari kursinya saat jam makan sekali pun. Namun ia sudah dibuatkan bekal oleh Klarisa sehingga tidak harus meninggalkan dokumen yang begitu menumpuk ini. Gadis yang sangat pengertian. Ternyata Derril hanya menyelesaikan sebagian dokumen saja saat dirinya dengan terpaksa menemui ayah Klarisa, karena laki-laki itu juga masih mengurus beberapa dokumen lainnya yang memang sudah tugasnya. Damian hari ini lembur, yang biasanya jam tiga sore ia sudah pulang, mungkin kali ini ia akan pulang jam tujuh malam. Tok tok tok "Masuk." Damian menatap pintu dan disana berdiri Derril yang membawa paper bag bewarna hitam polos. "Permisi tuan, saya hanya ingin mengantar ini untuk anda." Dengan sopan Derril melangkah masuk dan tidak lupa menutup pintunya terlebih dahulu. Ia meletakkan paper bag tersebut di atas meja Damian. "Terimakasih, Derril." Derril mengangguk dan pamit meninggalkan Damian diruangan ini sendirian. Damian mulai membuka paper bag tersebut. Sebuah jam tangan Alexandre Christie dan secarik surat ada di sana. Dear Damian, You'll always  interest me, and I will always love you, Damian.❤️ - your darling Damian terkekeh kecil. Ah manis sekali gadisnya ini. Seingatnya hari ini tidak ada yang spesial, maksudnya tidak ada hal yang perlu diberi kado. Ternyata gadisnya hanya ingin bilang ini saja dan memberikan jam tangan? Lucu sekali. Walau jam tangan yang di berikan Klarisa sangat kalah jauh dengan jam tangan yang ia pakai sekarang, namun tetap saja ia akan memakai jam tangan pemberian Klarisa. Damian Terimakasih untuk kado kecilnya Clay❤️ Kado apa? Damian Jam tangan dan sepucuk surat ini Clay❤️ Jangan bercanda, Damian. Aku sedang ada kelas. Aku belajar dulu ya. Bye orang tua! Damian mengernyitkan dahinya. Ah pasti Klarisa sedang berpura-pura tidak tau. Tapi kenapa gadisnya harus berpura-pura? Selama ini Klarisa selalu berbicara apa adanya tanpa disembunyikan darinya. Ah ini sangat membingungkan. Ia menghubungi Derril. "Halo tuan, ada yang bisa saya bantu?" "Siapa yang memberikan tote bag ini padamu? Apa istriku?" "Tidak, tuan. Seorang gadis lain." Damian menggeram. Ternyata benar bukan gadisnya yang memberi ini. Siapapun itu, ia sudah dapat menebaknya. Siapa lagi kalau bukan seorang gadis yang tiba-tiba datang kehidupannya untuk kedua kalinya? "Bagaimana ciri-cirinya?" "Gadis yang tidak terlalu berisi tubuhnya. Sangat terlihat jelas bentuk rahangnya. Dan memakai make up dengan warna tua terlihat sangat dewasa."  ... Klarisa kini tengah berada di perpustakaan, tentunya bersama Paula dan Vrans. Ia ingin membaca buku novel dan mungkin meminjam beberapa buku untuk dibawa pulang. "Tadi Damian menelpon ku, dan menanyakan tentang kado yang ia terima hari ini." Ucap Klarisa dengan tiba-tiba. Ia memikirkan hal ini daritadi dan membuatnya tidak fokus saat membaca buku. Paula dan Vrans yang membaca buku ilmiah pun menoleh ke arahnya. "Terus apa masalahnya, Cass?" Tanya Paula heran. "Masalahnya, aku tidak memberi kado apapun untuk Damian." Ucap Klarisa sambil menatap kosong. Ia benar-benar berpikir keras untuk saat ini. Vrans yang sudah mulai membiasakan diri untuk bersikap biasa saja pun ikut berkomentar. "Mungkin ada yang mengatas namakan dirimu, Klarisa." "Untuk apa?" Paula menyentil kening Klarisa, membuat siempunya meringis. "Tau sendiri Damian banyak yang suka, mungkin salah satu dari mereka." Klarisa hanya mengangguk. Benar juga yang dikatakan Paula. Ia harusnya tidak perlu ambil pusing tentang hal ini. "Benar juga, kenapa aku sampai kepikiran seperti ini." Sudah cukup ia berpikiran kemana-mana. Kali ini ia memilih tidak ambil pusing akan hal itu. Lagipula sejauh ini dirinya tau Damian tidak mungkin mengkhianati dirinya. "Jika Damian menyakiti dirimu, bilang padaku. Tidak pantas ia menyakiti gadis baik sepertimu, Cass." Ucap Paula dengan nada yang serius. Ia menggenggam tangan Klarisa seolah-olah menyalurkan tenaga yang dimilikinya. Ia tau Klarisa gadis yang kuat, bahkan jika ada masalah dengan Damian ia memaafkan dengan begitu cepat. Ia tidak peduli itu masalah yang serius atau hal sepele. Klarisa terlalu pemaaf. Gadis itu sangat baik dan ia sebagai sahabat sangat tidak rela jika Damian menyakiti Klarisa. Tidak apa Damian mengancam keluarganya karena terlalu ikut campur dengan urusan mereka, karena menurutnya laki-laki tidak pantas untuk menyakiti seorang gadis yang baik. Klarisa menatap Paula sangat dalam, lalu memeluknya. Ia menangis, ia bohong, ia selama ini bukan gadis yang kuat, ia berbohong pada dunia. Apalagi kejadian tadi malam, mati-matian ia menahan tangisnya. Ini sangat menyesakkan. Ia menceritakan semuanya pada Paula dan Vrans mengenai Valleri. Dari Damian yang tergoda mencium gadis kurang ajar itu, sampai kejadian tadi malam ia mempermalukan Valleri karena gadis itu sedang berusaha merebut miliknya. Ia tidak tahan, ia memakai topengnya. Ia butuh teman cerita. Paula sangat terkejut. Ia tidak menyangka akan seburuk ini kondisinya. Padahal setau dia Klarisa dan Damian sangat humoris dan romantis, ia hanya tau kejadian Klarisa kabur dari rumah. Itu juga dirinya tidak tau akar permasalahannya. Ternyata ini. "Aku tidak tau harus bagaimana." Lirih Klarisa dengan mata memerah karena menangis. Ia sesegukkan kecil dan berusaha nangis tanpa suara karena mereka kali ini berada di perpustakaan. Untung saja mereka memilih bangku paling pojok yang jauh dari jangkauan siswa yang berlalu lalang mencari buku. Vrans mengepalkan tangannya. Ia marah, ia sudah merelakan Klarisa untuk laki-laki bernama Damian. Namun yang ia dapatkan adalah pengakuan menyakitkan dari Klarisa. "Aku akan bicara pada Damian." Klarisa membelalakkan matanya, ia menatap memohon kearah Vrans agar tidak melakukan hal itu. "Aku mohon Vrans, jangan. Aku hanya ingin berbagi pada kalian. Tolong jangan cerita apapun pada Damian. Ku mohon..." Paula yang menyaksikan sangat membuat dadanya sesak. Baru kali ini ia melihat Klarisa selemah ini, bahkan saat dirumahnya pun Klarisa tidak seperti ini, ia lebih memilih diam dan menyendiri. Sedangkan Klarisa yang ini ia menangis sesenggukan dan memohon-mohon seperti ini. Vrans pun menatap kasihan pada Klarisa ia merasa gagal menjadi sahabat laki-lakinya yang seharusnya menjaga gadisnya. Gadisnya? Ah lebih tepat adalah sahabatnya. Ternyata kenyataan sepahit ini untuk seseorang yang mencintai sebelah hati saja. Sangat menyakitkan. "Hmm baiklah." Ucap Vrans dengan nada tidak rela. Ia sangat ingin menonjok wajah Damian saat ini juga. Ia marah namun tidak bisa bertindak apa-apa karena Klarisa melarangnya. "Terimakasih banyak, maaf Klarisa jadi kelihatan payah seperti ini." Ucap Klarisa sambil mengusap jejak air mata yang tersisa di pipinya. Kemudian ia tertawa. "Ah semuanya hanya gara-gara cinta." Benarkan? Hanya beberapa menit saja Klarisa sedih. Ia sangat cepat merubah ekspresinya. Lalu melanjutkan membaca novel romansa, genre kesukannya. Paula dan Vrans yang melihat itu dibuat terheran-heran. Bahkan Paula bila merasa sedih akan berlarut-larut sampai dua jam kurang lebih lamanya. Tapi Klarisa? Sangat ajaib. // Next chapter... ❤️❤️❤️❤️❤️❤️ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD