Empat belas

1009 Words
Daniel Ricolas Wesley, laki-laki paruh baya yang mengorbankan kebahagiaan anaknya dengan menikahkan Klarisa sebagai jaminan perusahaan. Tentu saja ia sudah memikirkan semuanya matang-matang. Bukan tanpa alasan ia menerima pernikahan itu selain untuk membantu perusahaan, ia yakin Damian pasti akan jauh lebih membahagiakan gadis kecilnya daripada bersamanya. Bahkan Neril Vannesa Wesley, yang merupakan istrinya lebih memilih tinggal di Sidney dan mengurus butiknya yang sudah lumayan dikenal oleh dunia. Bahkan istrinya sudah lupa jalan pulang, karena terlalu memikirkan uang dan kekayaan. Membuat dirinya sendirian mengurus Klarisa dan juga mengurus perusahaan. Ia tidak bisa membagi waktu mana untuk pekerjaan dan mana untuk Klarisa. Sampai akhirnya ia membayar pengurus anak untuk memenuhi segala aktifitas Klarisa. Ia pikir semuanya baik-baik saja. Sampai suatu hari ia melihat pintu kamar gadisnya sedikit terbuka. Saat itu pukul sudah menunjukkan tengah malam karena ia selalu lembur. Ia dapat melihat dengan jelas Klarisa yang masih berumur sebelas tahun menangis di atas kasur king sizenya. Tangisannya sangat memilukan, membuat hatinya tersayat menyadari kasih sayang yang ia berikan sangat kurang. "Aku rindu dengan ibu. Aku ingin ayah menemaniku bermain di salah satu tempat wahana permainan seperti teman-temanku. Aku iri." Lirih Klarisa ditengah tangisnya. Seperti di hujam ribuan jarum, Daniel menahan sesak di dadanya. Ia pikir Klarisa anak yang kuat karena selalu pengertian kalau ia harus bekerja demi gadis itu. Bahkan Klarisa tidak pernah mengeluh dan selalu tersenyum tulus bahkan selalu mencium kedua pipinya saat ia hendak berangkat ke kantor. Bayangan masa lalu terus saja menghantui dirinya. Seorang Daniel Ricolas Wesley, pengusaha sukses yang berhasil bangkit dari masa sulitnya ternyata masih belum mampu menyelamatkan keluarganya yang berantakan. Ia tersenyum miris melihat foto keluarga yang nampak disana ada dirinya, dan Neril yang menggendong putri kecilnya. Ia merindukan semua itu. Merasakan perjuangannya gagal kembali. Ia saat ini benar-benar mematahkan hati Klarisa. Acara pernikahan itu adalah pilihan satu-satunya. Namun resikonya anaknya yang paling manis, dan pengertian telah berubah menjadi membenci dirinya. Bisa dibayangkan bagaimana terlukanya ia saat ini? "Sekarang aku hanya sendiri, istri yang tidak kunjung pulang bertahun-tahun lamanya. Dan anakku sudah sangat membenciku. Apalagi yang harus diharapkan?" Daniel Ayah merindukanmu, nak. Setidaknya berilah ayah kesempatan Send Ia memijat pelipisnya merasakan pening yang luar biasanya. Semua rasa yang menghampiri kinerja otaknya sangat membuat dirinya tidak bersemangat dan selalu mengalami cemas yang berlebihan. Ia butuh Klarisa, butuh putri kecilnya yang selalu tersenyum ceria. ... Klarisa hari ini niatnya ingin mengajak Paula dan Vrans ke pusat perbelanjaan. Namun sayangnya Paula tidak bisa ikut karena acara keluarga. Jadilah disini hanya ada Klarisa dan Vrans. "Baru kali ini kita jalaj berdua ya, Klarisa." Ucap Vrans sambil menatap Klarisa yang sedang menikmati jus mangga dengan tambahan es krim vanilla didalamnya. Klarisa mengangguk antusias. "Iya benar, ku pikir Vrans membosankan karena kamu kaku sekali. Ternyata kamu lebih seru dari Paula yang hanya mengeluh karena kakinya pegal." Vrans terkekeh lalu mengacak rambut coklat milik Klarisa. Walaupun ia sudah ia buang jauh-jauh perasaanya pada Klarisa, tetap saja tidak bisa. Rasa sayangnya terlalu dalam, tapi ia cukup tau diri karena Klarisa sudah menikah. Bahkan ia sudah kalah sebelum perang, mengenaskan bukan? Saat ini Klarisa berbelanja banyak hal. Tentu saja ia merengek pada Damian sebelum pergi ke kampus meminta kartu ATM Damian karena ia ingin membeli baju dan beberapa keperluan di rumah mereka. Dan Damian dengan sangat baik hati memberikannya tanpa protes sedikitpun. Klarisa tipe yang jarang sekali meminta sesuatu, jadi tidak apa menurut Damian untuk menuruti kemauannya. "Terimakasih ya, Vrans. Aku senang sekali hari ini." Ucap Klarisa dengan tulus menatap Vrans yang sedang memakan roti dengan topping keju mozzarella yang menggiurkan. Vrans tersenyum. Ia sangat anti sekali dengan pusat perbelanjaan seperti ini, bahkan jika mommy nya menyuruh untuk menemani berbelanja ia akan menolak dengan cepat. Tapi untuk Klarisa, semuanya akan ia berikan. Ia juga sudah lelah pergi kesatu tempat lalu ketempat lainnya karena jujur Klarisa adalah gadis yang labil. Namun kembali lagi, ia tidak mengeluh, dan seperti yang kalian tau cinta mengubah kepribadian orang. Karena lapar, Klarisa mengajak Vrans untuk makan di restoran cepat saji. Ia memesan beberapa makanan untuk dirinya dan juga Vrans. Dalam beberapa menit semuanya sudah tersaji di meja. Lalu dengan jahilnya Vrans mencolek saus tomat dan diletakkan di ujung hidung Klarisa. Klarisa membelalakkan matanya, lalu membersihkan noda saus dihidungnya dengan tisu. Ia membalas perlakukan Vrans dan tertawa lebar. Vrans sempat tertegun. Manis. Namun ia segera menghapus pikiran itu, jangan sampai ia menjadi perusak hubungan Damian dan Klarisa. Jangan. "Sudah habiskan makanmu, Klarisa. Sudah semakin sore nanti Damian mengkhawatirkanmu." Ucap Vrans sambil melahap burgernya. Klarisa mengangguk. Lalu menikmati makanana cepat sajinya. Ting Ayah Ayah merindukanmu, nak. Setidaknya berilah ayah kesempatan Deg Klarisa menghentikan makannya. Dadanya menjadi sesak dan matanya mulai memanas. Ia tidak siap, sama sekali belum siap. Mengingat bagaimana perlakuan ayahnya membuat dirinya sakit. Jika saja ayahnya meminta lebih lembut bukan dengan cara meneriaki dirinya mungkin ia akan setuju. Throwback "AYAH SAYANG SAMA KAMU KLARISA! AYAH MAU KAMU TERCUKUPI! KAMU YANG EGOIS TIDAK PERNAH MEMIKIRKAN BAGAIMANA LELAHNYA AYAH SELAMA INI!" Daniel berteriak didepan wajah Klarisa. Membuat gadis itu mematung dengan air mata yang tidak berhenti untuk keluar. Ia tidak menyangka ayahnya akan seperti ini. Daniel sudah di puncak emosinya. Amarah yang ia redam selama ini terlampiaskan, namun ia salah orang. Satu-satunya sumber semangatnya sudah menunjukkan sorot kecewa, dan disitu ia sadar apa yang ia lalukan sudah kelewatan. "Maafkan ayah, Klarisa." Daniel mendekat ke arah Klarisa namun yang ia dapatkan hanya penolakan dari anaknya. Klarisa mundur secara perlahan, "Aku tidak ingin mengenalmu lagi setelah acara pernikahan ku, ayah.". Seluruh pertahanan yang Klarisa punya selama ini hancur begitu saja. Bukan ini yang ia harapkan. Ia hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan Daniel. "Ayah sudah minta maaf, Klarisa!" Lagi-lagi, Daniel menaikkan nada bicaranya. "Ayah berubah cepat sekali ya. Klarisa kecewa, kalau suatu saat nanti ayah mohon-mohon maaf sama Klarisa, Klarisa akan menutup telinga." Bayangan itu lagi. Ah Klarisa benci, ia menjadi sosok yang sangat lemah mengingat keluarganya yang hancur berantakan. Vrans yang melihat itupun terkejut, dan segera memeluk Klarisa yang tangisnya semakin pecah. "Ada apa, Klarisa?" Klarisa menggeleng di dalam dekapan Vrans. Ia tidak tau harus apa, ia bimbang. Disisi lain ia tergiur dengan 'kesempatan' yang diusulkan oleh ayahnya, namun pikirannya mulai mengulang masa lalu bersama ayahnya yang kelam. Miris. "Antarkan aku ke rumah Daniel Ricolas Wesley, Vrans. Ku mohon." // Next chapter... ❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD