05

2575 Words
Senyum masih tercetak di wajah manisku ketika aku menatap Ian dengan lembut, menyadari bagaimana pria itu sangat memperhatikan diriku dan menjagaku. Aku sangat berterima kasih dengan Ian yang selalu perduli padaku. Sayangnya Ian tidak mengetahui betapa berharganya pria itu untukku. Kenyataannya, kehadiran dia di sisiku saja sudah sangat cukup bagiku. Aku merasa aku bisa bertahan hidup walau di dunia ini hanya ada Ian saja di sisiku. Aku tidak membutuhkan siapa pun yang lain. Sungguh. Aku hanya membutuhkan seorang Ian saja dalam hidupku. Karena itu, aku ingin Ian tahu betapa pentingnya posisi dirinya bagiku. “Tapi Ian, aku sungguh tidak membutuhkan itu. Aku tidak perduli dengan pendapat orang-orang di sekitarku. Entah mereka menyukaiku atau tidak, atau bahkan berbicara buruk tentangku, aku sungguh tidak perduli itu semua. Aku tidak ingin berurusan dengan mereka, sama seperti mereka yang tidak ingin berurusan denganku. Biarkan saja mereka membenciku dan berbicara buruk tentangku. Tidak ada gunanya juga aku berusaha mendekatkan diri pada mereka yang memang sedari awal sudah membenciku. Aku hanya cukup dengan kau untuk berada di sisiku, Ian. Aku hanya perlu seseorang yang memahami diriku, dan itu kau. Selama kau bersamaku, maka aku yakin aku akan baik-baik saja,” balasku dengan penuh keyakinan. Aku sungguh mengatakan isi hatiku pada Ian. Berharap dia tidak lagi terlalu mengkhawatirkan diriku dan memaksaku untuk berbaur dengan semua orang. Aku bisa melihat Ian tertegun mencerna ucapanku dalam keterdiamannya. “Alea,” panggil Ian kemudian. “Ya?” jawabku segera, menanti apa yang akan pria itu ucapkan setelah ini. “Hahh ...” Aku menatap Ian dengan tatapan polos ketika pria itu justru menghela napas kemudian. Apa aku telah mengatakan hal yang salah? Batinku menjadi bertanya-tanya. Ian terlihat seperti orang dewasa yang merasa prihatin dengan pertumbuhan global yang berjalan tidak baik. “Terkadang aku berpikir kalau aku telah salah membesarkanmu, Lea,” ucapnya. Seketika aku menjadi bingung dengan maksud dari ucapan Ian. “Ha?” Sejak kapan Ian membesarkanku? Apa dia sudah gila? “Dengar, Alea sayang.” Ian memegang kedua bahuku dan menatapku dengan raut wajah begitu serius. “Aku menyukaimu.” Aku menatap Ian dalam diam, memerhatikan apa yang akan diucapkannya. “Aku menyukai dirimu apa adanya. Kau terlihat menggemaskan dengan sikap polosmu yang terlahir natural sejak kau kecil. Tapi aku tidak menyangka sikap polosmu itu akan bisa jadi bumerang untukmu seiring kau beranjak dewasa. Mungkin aku terlalu sering memanjakanmu, sehingga kau tidak mengerti betapa berbahayanya dunia di luar sana.” Aku semakin tidak mengerti apa inti dari percakapan ini. Ian benar-benar terlihat seperti orang tua di mataku saat ini. “Bicaralah dengan benar. Aku tidak mengerti apa yang ingin kau bicarakan Ian,” tegurku yang mulai merasa pembicaraan ini semakin terdengar konyol karena ucapan Ian yang terdengar Hyperbola di telingaku. “Maksudku adalah, Kau harus tahu bahwa manusia perlu bersosial, terutama untuk manusia dewasa yang beranjak dewasa seperti kita, Lea. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kau juga pasti akan membutuhkan bantuan dari kenalan yang kau punya suatu saat nanti. Aku tidak ingin kau kesulitan nanti. Karena itu, memiliki hubungan baik dengan beberapa orang tidak akan merugikan. Tidak perlu banyak. Cukup beberapa orang yang bisa kau percaya, Lea.” “Tapi aku sudah punya kau.” Aku masih merasa berat menerima ucapan Ian. Aku sungguh tidak ingin berurusan dengan orang-orang asing. Aku hanya ingin sendiri, berada dalam duniaku sendiri. Aku sudah tidak memiliki niat untuk membangun hubungan dekat dengan orang karena hubungan itu tidak menjamin akan bertahan selamanya. Sama seperti hubunganku dengan Mama dan Papa. Bagaimana Ian bisa menyuruhku untuk menjalin hubungan dekat dengan orang asing, sementara hubunganku dengan keluarga sendiri sudah jelas tidak berjalan baik? Itu hanya akan menimbulkan luka baru dalam hatiku. Aku sudah tidak berminat menjalin hubungan yang baru. Lebih baik aku sendiri. “Bukan aku saja. Kau perlu menambah beberapa orang juga.” “Aku tidak mau.” “Kau harus mau, Lea!” “Kenapa aku harus mau?” “Karena aku tidak mau melihatmu sendirian.” “Aku tidak sendirian. Aku punya kau, Ian.” “Aku juga tidak mungkin untuk tetap bersama denganmu Lea!” Sekali lagi aku tertegun mendengar ucapan Ian. Kenapa Ian sangat ingin memaksaku melakukan hal itu? Kenapa Ian mengatakan tidak mungkin untukku tetap bersama dengannya? Apa itu karena Ian tidak ingin bersama denganku selamanya? “Kau memang ingin meninggalkanku, kan?!” “Kenapa itu lagi?!” Ian berseru dengan raut wajah frustasi mendengar balasanku. Dia bahkan sampai mengacak rambutnya dengan gemas. “Aku tidak ingin membicarakan hal ini lagi. Jangan ganggu aku, Ian!” putusku dengan nada suara yang dingin. Aku tahu aku bersikap kekanakan saat ini, tapi aku sungguh tidak suka dengan pembicaraan ini. Ian memang satu-satunya orang yang paling dekat denganku, tapi dia juga tidak berhak untuk mengatur hidupku. Aku tidak ingin berinteraksi dengan siapa pun lagi. Aku tidak ingin berurusan dengan siapa pun lagi. Itu baik-baik saja jika semua orang pergi menjauhiku atau pun meninggalkanku. Aku sudah tidak perduli. Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup sendiri. Aku sudah terbiasa sendiri, tidak diakui, tidak diinginkan bahkan oleh orang tuaku sendiri. Ian tidak akan mengerti perasaan itu karena aku tahu Ian selalu hidup dalam kasih sayang banyak orang. Bahkan dengan kepribadian Ian pun, tidak akan sulit untuk membuat orang di sekitarnya berada di sisinya. Ian tidak akan mengerti perasaan gelap yang telah tumbuh dalam relung hatiku sejak kecil ini. Ian tidak tahu betapa besar takutnya aku untuk membuka diri pada orang lain. Karena itu, Aku tidak ingin mendengar alasan Ian lagi. Lebih tepatnya aku hanya tidak ingin mendengar rencana Ian yang mungkin saja ingin berpisah denganku di masa depan. Apa pun bentuknya. Tanpa kata lagi aku kembali pada posisi dudukku yang semula. Menghadap ke depan dan membaca bukuku kembali dalam diam, tidak memedulikan Ian lagi. Aku tahu, bahwa Ian sudah mengingat kebiasanku ini. Jika aku sudah bersikap dingin seperti ini, maka dia tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi untuk memaksaku. Karena itu, dari sudut pandang mataku aku bisa melihat Ian terdiam sejenak menatapku, lalu menghela napas pasrah, dan kembali melakukan aktifitasnya sendiri, dengan terpaksa mulai menuruti keputusanku. Tidak ada pembicaraan lagi di antara kita. “Lea ...” panggil Ian di sela perjalanan pulang sekolah kami berdua. Memang sejak pembicaraan di perpustakaan aku sengaja mendiamkan Ian. Bukan karena aku masih marah kepadanya. Sejujurnya aku memang masih sedikit marah, tapi ada perasaan berat dalam diriku yang jauh lebih besar dibanding rasa marah terhadap pria itu. Aku hanya merasa malas untuk berinteraksi dengan siapa pun, termasuk Ian. Sepertinya pembicaraanku dengan Ian di perpustakaan tadi membuat sisi gelapku tersentuh dan mengubah moodku menjadi turun drastis hingga aku hanya merasa ingin sendiri. Karena itu, sejak bel pulang sekolah berbunyi, aku sengaja untuk keluar lebih dulu tanpa menunggu Ian untuk pulang bersama seperti yang kita lakukan biasanya. Nampaknya Ian menyadari perubahan moodku ini sehingga pria itu mengejarku sekarang. “Alea, tunggu!” seru Ian mencoba memanggil namaku lagi. Aku sengaja menulikan pendengaranku dengan memasang headset yang sejujurnya tidak bersuara sedikit pun. Aku merasa ingin Ian tahu bahwa aku masih tidak ingin berbicara dengannya. Aku ingin menunjukkan bahwa aku masih marah kepadanya dan aku tidak ingin diganggu. Namun entah Ian berpura-pura tidak peka atau apa, pria itu tetap mengejarku dari belakang. “Alea, aku bilang tunggu!” Aku terkejut ketika lengan atasku tiba-tiba ditahan dari belakang. Siapa lagi jika bukan Ian pelakunya. Tentu saja pria itu akan mudah mengejarku yang memang tengah berjalan pulang. Aku secara otomatis menghentikan langkah dan menatap Ian yang kini ada di depan jalanku. Aku pasang raut wajah sedatar mungkin dan menatap lurus ke arahnya. Ian terlihat mengatur napasnya untuk sejenak, menunjukkan bahwa pria itu pasti berlari mengejarku sampai kemari tadi ketika menyadari bahwa aku sudah keluar dari kelas tanpa menunggu dirinya. Setelah menarik napas dalam, Ian kemudian menghembuskannya dengan panjang di depanku yang masih terdiam, menunggu apa yang akan pria itu katakan setelah ini. “Lea, apa kau masih marah kepadaku?” tanya Ian yang kini menatapku dengan mata anak anjing meminta belas kasihan. “Aku tidak marah,” jawabku dengan singkat. Memang benar kok. Saat ini, dibanding perasaan marah, aku lebih merasa dipenuhi dengan rasa kecewa. Ian sangat mengetahui bagaimana introvertnya aku selama ini. Ian juga mengetahui masa laluku dan bagaimana aku selama ini menjalani hidup di tengah kebahagian Papa dan keluarga barunya. Ian jelas tahu bagaimana aku yang selalu mencoba menutup diri dari dunia luar. Masih, dia berusaha untuk memaksaku berbaur dengan semua orang hanya karena pandangan buruk mereka terhadapku. Omong kosong. Tidak penting apa pun pikiran yang mereka punya terhadapku, aku tidak perduli. Aku tidak pernah mengurusi hidup mereka, dan aku tidak berminat sama sekali untuk berbaur dengan mereka. Aku baik-baik saja dengan kesendirianku yang sekarang. Seharusnya Ian mengerti itu. Aku merasa kesal sekali karena Ian seolah tidak memedulikan perasaanku. “Apa kau pikir aku tidak bisa membedakan marah tidaknya dirimu saat ini?” balas Ian merasa sangsi dengan jawaban singkatku ini. Aku memilih untuk kembali diam, malas untuk berdebat lagi. Tidak perduli jika Ian menganggapku menyebalkan, atau mudah terbawa perasaan, atau pun kekanakan atau apa pun itu. “Lea, baiklah, oke! Maafkan aku. Aku terlalu memaksakan kehendakku padamu,” sesal Ian kemudian. “Tapi percayalah, semua itu kulakukan karena aku memikirkan dirimu, Lea. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untukmu. Kau tahu kan? Kau teman yang sangat berarti untukku. Aku hanya tidak ingin kau terlihat buruk di mata mereka, Lea.” “Ian, jujur saja padaku. Apa kau merasa malu berteman dekat denganku?” tembakku to the point padanya. Kini aku langsung melihat wajah Ian terperangah tidak percaya mendengar pertanyaanku tersebut. “Apa?!” tanya Ian. Terlihat pria itu ingin memastikan indera pendengarannya menangkap pertanyaanku dengan benar. “Astaga Lea, ada apa denganmu sebenarnya? Sedari tadi kau bicara tidak jelas. Kau berpikir bahwa aku telah membuangmulah, bahwa aku telah bosan padamulah, aku tidak ingin berteman denganmulah, dan sekarang? Kau berpikir bahwa aku merasa malu berteman denganmu?! Jujur saja Lea, kau sedang PMS kan?” “Aku serius, Ian!” sungutku yang merasa kesal melihat Ian mencoba bercanda di mataku. “Aku juga serius, Lea. Ada apa denganmu? Dari mana datangnya pikiran itu?” balas Ian tidak terima. “Sekarang coba pikirkan ini, Ian. Sedari tadi kau menyuruhku ini dan itu hanya untuk memperbaiki nama baikku di mata semua orang. Apa kau pikir aku perduli tentang hal itu?” tanyaku kini menuntut jawaban Ian. “Kau sibuk memikirkan perasaan mereka. Kau tidak ingin melihat aku terlihat buruk di mata mereka. Apa sebenarnya kau merasa keberatan dengan aku yang sekarang? Apa aku harus berubah untuk kebahagiaan mereka? Kenapa aku yang harus berubah? Kenapa tidak mereka saja yang berusaha menerimaku apa adanya? Apa aku pernah melakukan kejahatan sehingga aku harus memperbaiki namaku demi pendapat mereka? Jawab Ian! Jawab!” “Lea ...” Ian mulai terlihat merasa bersalah sembari memikirkan pertanyaan dariku. “Aku tahu kau hanya ingin membantuku untuk bisa berbaur dengan mereka. Tapi aku tidak menginginkan hal itu. Kau tahu bagaimana perasaanku selama ini, Ian. Aku hanya ingin sendiri! Maafkan aku jika aku telah membuatmu sulit karena berteman denganku. Tapi tolong, jangan memaksaku seperti ini.” Suaraku semakin mengecil seiring aku menyelesaikan kalimatku. Aku tidak tahu apa yang tengah Ian pikirkan saat ini, aku tidak berani untuk melihat wajahnya lagi. Aku tidak sanggup melihat raut wajah penuh kekecewaan atau pun hal semacamnya dari Ian karena pilihanku ini. Karena itu, aku memutuskan untuk melanjutkan langkah pulang. Meninggalkan Ian di belakang yang terlihat tidak berniat untuk menghentikan langkahku lagi. Perjalanan terasa begitu panjang, melelahkan dan begitu sepi. Mungkin karena aku sudah terbiasa berada di sekitar Ian setiap waktu. Kami selalu pulang dan pergi bersama. Ian selalu berhasil mencairkan suasana di antara kita dengan kepribadiannya yang supel dan hangat. Ian selalu senang berceloteh panjang dan lebar entah itu menceritakan tentang suatu hal, kehidupan hariannya selama di sekolah tadi, atau pun hanya sekedar protes sana sini tentang apa yang dirasanya mengganggu pikirannya. Dan aku akan dengan setia menjadi pendengar yang baik untuk Ian sembari sesekali akan membalas ucapannya. Perjalanan terasa menyenangkan dan terasa cepat terlewati ketika bersama dengan pria itu. Kini tanpa Ian aku merasa sedikit sepi dan canggung. Seolah ada sesuatu yang kosong dalam relung hatiku. Aku menyadari bahwa sepertinya aku telah menjadi terbiasa dan begitu tergantung dengan kehadiran Ian di sisiku. Mungkin karena itu Ian menjadi terganggu akan kehadiranku. Mungkin dia berpikir bahwa aku telah membuatnya sulit dan terlalu bergantung padanya sehingga dia menyuruhku untuk berbaur dan mencari teman yang lain. “Hahh ...” Aku menghela napas panjang. Tiba-tiba aku merasa pening di kepala. Ada apa dengan diriku hari ini? Apa aku memang sudah bersikap keterlaluan dalam menghadapi Ian tadi? Aku tahu bahwa sebenarnya Ian bermaksud baik. Jika dipikir-pikir kembali, sepertinya aku sudah bersikap di luar nalar. Marah-marah sendiri, berpikir buruk sendiri, dan mungkin saja aku telah melukai hati Ian dengan sikap menyebalkanku tadi. Tanggal berapa ini? Apa mungkin karena ini adalah salah satu efek hormon sebelum datang bulan? Aku menjadi marah-marah tidak jelas, dan kini sampai membuat aku bertengkar dengan Ian. Apa yang harus kulakukan jika Ian benar-benar pergi meninggalkan diriku? Apa yang harus kulakukan jika Ian merasa kesal dan sudah lelah dalam menghadapi diriku? Pikiranku menjadi tidak menentu. Aku merasa takut, gelisah, dan panik tanpa sebab. Ian adalah satu-satunya teman berhargaku, dan aku telah membuatnya kecewa hari ini. Bagaimana jika Ian merasa malas dan lelah denganku? Sekali lagi pertanyaan itu memenuhi isi pikiranku. Aku refleks menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Tidak ada Ian yang mengejarku lagi. Tentu saja tidak akan ada pria itu, karena aku sudah mengatakan kata kasar kepadanya. Ian pasti sudah merasa lelah denganku. Ugh, lagi-lagi pikiran itu kembali memenuhi isi pikiranku. Aku menjadi sulit dan semakin dilanda kecemasan yang berlebihan. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku berbalik mendekatinya dan meminta maaf padanya sekarang? Bagaimana jika Ian sudah malas menemuiku? Atau tidak, bagaimana jika Ian masih menyuruhku untuk berbaur dengan orang-orang itu sebagai balasan atas permintaan maafku? Aku masih tidak siap jika Ian menyuruhku itu. Aku menundukkan kepala memikirkan apa yang harus kulakukan. “Engh!” Seketika aku merintih kesakitan dan mendesis lirih ketika tiba-tiba merasakan nyeri yang teramat kuat pada bagian perut bawahku. Tanganku secara refleks menekan perut bagian bawahku yang terasa sakit. Selain nyeri, perutku juga mulai terasa kram. “Ah, jelas ini adalah tanda-tanda akan datang bulan. Hahh .... aku benci ini!” keluhku dengan lirih. Aku bukan membenci sirklus bulanan yang biasa perempuan normal dapatkan. Aku hanya membenci efek samping yang dirasakan selama periode datang hingga akhirnya. Sering kali aku bermasalah dengan tubuh terutama bagian perut selama periode bulanan akan datang hingga periode itu berakhir. Entah di awal, pertengahan, atau pun di akhir, tubuhku terasa nyeri di sana-sini. Bahkan aku pernah mengalami beberapa hari sakit perut hingga tidak sanggup turun dari ranjang karena rasa sakitnya. Tapi di antara semua rasa sakit yang pernah kualami itu, yang paling membuatku benci adalah perubahan mood yang aku rasa. Perubahan mood itu sering kali membuatku kehilangan kontrol dalam menahan emosi diri, hanya seperti sekarang. Aku berakhir membuat kebodohan dengan mood swing yang terlalu berlebihan hingga berakhir mengalami pertengkaran ini dengan Ian. Aku benci ini. Di waktu-waktu seperti ini, aku akan mudah marah, atau kadang bisa jatuh terpuruk begitu dalam meratapi nasib yang selama ini kuhadapi dan itu membuatku menyesali diri. Di waktu seperti ini, aku berpikir akan lebih baik jika aku menjauh dari Ian untuk sementara waktu, dari pada aku semakin membuat keadaan di antara kita menjadi lebih kacau dan sulit untuk kembali seperti semula. Setelah memutuskan hal itu, akhirnya aku kembali melanjutkan langkah pulang dengan pergerakan lebih cepat dari sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD