06.

1622 Words
Setibanya di rumah, aku langsung masuk dan berpapasan dengan salah satu pembantu yang sudah lama mengabdi di rumah ini, yaitu Bi Mirna. Ketika aku memasuki rumah, Bi Mirna sedang melangkah hendak melewatiku. Aku menoleh ke arahnya dan Bi Mirna menghentikan langkah di dekatku. “Di mana Papa dan Mama, Bi?” tanyaku sembari memerhatikan keadaan rumah yang terasa begitu sepi sore ini. Biasanya aku akan melihat Mama Silvy bersantai di ruang keluarga sendiri atau pun bersama dengan Papa di sore hari. Tapi saat ini aku tidak melihat satu pun dari mereka, sementara hari sudah semakin sore ketika aku pulang. “Tuan dan Nyonya ke Bandara menjemput, Non Elly, Non,” jawab Bi Mirna. Barulah aku mengingat bahwa hari ini, Elly, anak kandung Mama Silvy yang merupakan saudara tiriku akan datang. Elly berusia dua tahun lebih tua dariku. Sebelumnya dia sekolah di luar kota mengikuti Papa lamanya sekaligus meneruskan pendidikannya di sana. Namun setelah lulusan tahun ini, Elly akan tinggal di rumah ini dan melanjutkan pendidikan di kota ini. Karena itu, aku harus membantunya berbaur di tempat ini dan membuatnya nyaman, setidaknya itu adalah salah satu pesan Papa kepadaku suatu hari, ketika Papa mengatakan berita tersebut. Dari pada Pesan, rasanya akan lebih cocok jika itu disebut Peringatan. Aku tahu Papa hanya ingin menyuruhku untuk membuat anak tirinya nyaman tinggal bersama di rumah ini karena Elly sendiri jarang berada di tempat ini. Papa mungkin berpikir bahwa Elly masih perlu beradaptasi dengan keluarga barunya dan memaklumi jika Elly memilih untuk tinggal bersama Papa lamanya lebih dulu, sembari dia bisa membangun hubungan yang bagus dengan Papa. Dan Papa memperingatiku untuk tidak membuat Elly merasa tidak nyaman tinggal di tempat barunya. Ketika aku mendengar peringatan Papa, dalam hati aku merasa lucu, melihat bagaimana Papa bisa memperhatikan dengan baik bagaimana perasaan anak barunya yang harus beradaptasi dengan keluarga baru, sementara Papa tidak memikirkan bagaimana perasaanku, yang merupakan anak kandungnya sendiri mau tidak mau harus terpaksa beradaptasi dengan kehadiran ibu tiri yang seolah sengaja menganggapku tidak ada. Entah kasih sayang yang Papa berikan kepada kami berdua memang memiliki tingkat perbedaan, atau mungkin hatiku sendiri yang telah menjadi gelap akan kebencian dan kecemburuan, Aku jelas merasa iri, dan kecewa akan sikap Papa. Walau begitu, apa lagi yang bisa kulakukan selain hanya diam menerima semua yang ada. Sejak aku menyadari bahwa eksistensiku di rumah ini tidak berguna di depan Papa, aku juga tidak ingin memberikan harapan lebih pada perhatian Mama baruku itu. Hanya seperti yang aku duga, sejak pertama Mama Silvy menginjakkan kaki di rumah ini, aku tahu bahwa Mama Silvy telah menganggapku tidak ada, dan Papa seolah menutup mata dengan hubungan di antara kami. Sejak itu aku menyadari bahwa aku harus hidup hanya untuk melanjutkan hidup yang hanyalah seorang diri, sejak lima tahun yang lalu. Mengingat kembali hari ini merupakan hari penting di mana Elly akan pertama kalinya tinggal bersama dengan kita, Papa telah mengatakan kepadaku bahwa akan ada acara makan bersama untuk keluarga nanti malam. Anggap saja sebagai ajang keakraban di antara kita, dan kini Papa dan Mama tengah menjemput Elly. Aku mengangguk mengerti. “Ya udah kalau gitu, Bi. Aku mau ke atas dulu,” pamitku kemudian pada Bi Mirna. Setelah itu Aku menaiki tangga menuju ke atas di mana kamarku berada, sekaligus lantai di mana kamar Elly berada nantinya. Aku menghela napas panjang sekaligus lelah selepas memasuki kamar pribadiku. Dengan asal aku melempar tas sekolahku ke kursi belajar, lalu dengan asal juga aku melempar diri ke atas ranjang. Ranjang yang lembut langsung menangkap tubuhku dengan nyaman. Aku mendesah panjang sekali lagi menatap langit-langit kamar dan membiarkan setengah kakiku menggelantung ke bawah. “Hengh ...” rintihku sembari mendesis lirih ketika sekali lagi merasakan nyeri pada bagian perut bawahku. Mataku menatap ke arah jam di atas meja. Masih ada beberapa jam lagi untuk makan malam keluarga nanti. Keterdiaman ini membuatku kembali teringat akan kejadian di sekolah tadi. Aku masih memikirkan dengan berat bagaimana sikapku pada Ian yang sepertinya sudah keterlaluan tadi. Rasa bersalah sudah memenuhi isi pikiranku hingga membuat aku pening sendiri, dan sepertinya pikiran berat itu berefek kuat dengan kondisi perutku yang terasa semakin keram di beberapa tempat ini. Entah kondisi ini hanya mitos atau apa, yang jelas aku mulai merasa tidak nyaman. “Tidur aja kali ya?” gumamku pada diri sendiri. Aku perlu mengistirahatkan diri untuk melupakan rasa sakit pada perutku sekaligus meringankan penat pada kepalaku. Pada akhirnya aku memejamkan mata dan tidak lama kemudian aku jatuh tertidur. Hingga beberapa waktu kemudian. “Tuan sudah pergi keluar makan malam bersama Nyonya dan Non Elly, Non,” jelas Bi Mirna ketika aku turun ke bawah setelah bangun dan bersiap untuk makan malam bersama sesuai jadwal, dan menanyakan keberadaan mereka bertiga. Tentu saja aku terkejut mendengar jawaban itu. Aku merasa yakin bahwa aku bangun tidur tepat waktu dan bersiap diri sesuai jadwal makan malam yang dijanjikan. Tapi kenapa mereka sudah pergi? “Mereka sudah pergi? Bukannya makan malam hari ini diadakan di rumah Bi?” tanyaku dengan pandangan penuh tanya. Bi Mirna merasa ragu ingin menjawab pertanyaanku, akan tetapi wanita itu tetap menjelaskannya. “Begini Non. Tadinya acara makan malam memang akan diadakan di rumah. Bibi juga sudah menyiapkan makanannya. Tapi Non Elly tiba-tiba mau makan di luar saja. Karena itu, Tuan, Nyonya dan Non Elly pergi lebih awal. Tuan berpesan biar makanan di meja buat Non Alea makan saja.” Bi Mirna berusaha menghindari tatapan mata denganku setelah menjelaskan semua itu. Jelas Bi Mirna terlihat tidak enak menyadari situasiku yang sekarang. Tentu saja Bibi pasti bisa menyadari bahwa mereka sengaja melupakan diriku. Jika tidak, seharusnya mereka bisa memberitahuku lebih awal jika jadwal makan malam ini telah berubah. Nyatanya tidak ada satu pun orang yang datang ke atas dan memberitahuku kabar ini. Dan pesan Papa itu, sama halnya merupakan bukti nyata bahwa mereka sengaja meninggalkan diriku seorang diri. Aku masih mencoba untuk menahan diri dan tetap tenang di depan Bibi Mirna. Tanpa ada yang tahu rasanya betapa hancur hatiku saat ini ketika mendengar jawaban itu. Ini adalah acara keluarga. Haruskah mereka meninggalkanku seorang diri? Haruskah mereka sengaja melakukan ini secara terang-terangan padaku? Belum sampai satu hari Elly tiba di tempat ini, dan mereka sudah memperlakukan diriku seperti ini. Aku tidak perduli dengan pendapat Mama Silvy atau pun Elly, tapi Papa? Hal yang paling membuatku hancur adalah Papa yang seolah tidak perduli sama sekali dengan diriku, kehadiranku, atau pun perasaanku! Aku menundukkan pandangan, dan menelan air ludah dengan susah payah. Gigiku menggigit bibir bawahku dengan kuat untuk melampiaskan rasa berat dalam dadaku. Sementara perutku terasa semakin nyeri seiring hatiku terasa semakin hancur dari dalam. Kedua tanganku mengepal dengan kuat karena mulai gemetar hebat. Percuma aku berusaha menghias diri secantik mungkin malam ini. Diam-diam aku menarik napas dalam, lalu menghembuskannya dengan pelan. “Begitu ya Bi? Kalau gitu, Aku mau makan sekarang deh, Bi,” ucapku kemudian dengan senyum simpul. Barulah Bi Mirna berani mengangkat wajah kembali menatapku dengan napas lega. “Baik, Non. Mari Bibi siapkan,” jawab Bibi yang kemudian menuntunku menuju meja makan. Aku melihat sudah ada banyak hidangan pedas di atas meja yang membuatku sedikit kecewa. Pasalnya aku tidak bisa makan makanan pedas, terlebih dengan kondisi perutku yang sedang tidak nyaman saat ini. “Kenapa semuanya pedas, Bi? Papa kan tidak kuat makan makanan pedas,” tanyaku yang menoleh ke arah Bibi Mirna. “Oh itu, Non Elly suka makan makanan pedas, Non. Karena itu Tuan dan Nyonya menyuruh Bibi memasak makanan pedas malam ini.” Sekali lagi aku tertegun mendengar penjelasannya. Apa lagi yang bisa kuharapkan? Tentu saja mereka akan menyiapkan semua ini Elly, karena dia adalah bintang utama malam ini. Dalam diam aku mulai mendudukkan diri di atas kursi, dengan Bi Mirna yang mulai menyiapkan nasi dan lauk pauk untukku. “Emh Bi, tolong pilihkan masakan yang tidak pedas saja ya,” pesanku dengan cepat ketika aku melihat Bi Mirna akan memasukkan lauk pauk di atas piring. Gerakan tangan Bi Mirna terhenti di udara setelah mendapat pesanku. “Tapi Non, semua masakannya pedas,” sesal Bi Mirna menatapku dengan pandangan kasihan sekaligus prihatin. “Kalau begitu biar Bibi masakan sesuatu yang baru saja ya?” Aku terdiam untuk sejenak, sebelum melempar senyum simpul kemudian. “Tidak perlu, Bi. Tolong ambilkan saja masakan yang paling sedikit kepedasannya,” balasku kemudian. “Baik, Non.” Aku melihat Bibi Mirna memilihkan beberapa makanan dalam piringku dengan hati-hati sebelum menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dengan baik. Kulihat tidak banyak makanan yang tersaji dalam piringku, tapi itu tidak masalah buatku. “Bibi mau nemenin Alea makan tidak? Makanannya masih banyak yang tersisa, kan sayang jadinya,” tawarku kemudian. Jelas Papa, Mama Silvy, dan Elly tidak akan makan semua ini karena mereka sudah makan kenyang di luar sana. Aku tidak ingin semua makanan ini jadi sia-sia. Bibi sendiri mungkin merasa kasihan dengan keadaanku, sehingga tanpa menunggu lama Bi Mirna menyetujui permintaanku. “Baiklah, Non.” Setelahnya Bibi duduk di kursi dan mulai menyamankan diri makan bersamaku. Aku kembali memasuki kamar setelah menyelesaikan acara makan sederhanaku dengan Bi Mirna. Aku juga menyempatkan diri membantu Bi Mirna merapikan semua makanan itu dan membersihkan cucian piringnya. Tidak ada hal lagi yang bisa kulakukan malam ini, karena itu aku kembali ke kamar dan mulai mengganti baju sekaligus membersihkan riasan wajahku. Aku tidak ada minat untuk belajar malam ini, dan pilihan tidur adalah pilihan yang tepat untuk moodku saat ini. Rasa pedas dalam mulutku masih terasa cukup kuat karena masakan tadi dan sepertinya itu sudah mengimbas pada perutku yang bermasalah. Aku perlu mengistirahatkan diri setelah meminum segelas air s**u untuk menetralkan rasa pedas itu. Berharap air s**u bisa menetralkan perut panasku, juga membantu melelapkan tidurku malam ini. Pagi datang, dan perutku terasa semakin bermasalah. Aku merasa tidak nyaman, akan tetapi aku tetap bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Aku berharap sakit ini tidak akan berlangsung lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD