04.

1022 Words
“Kau bercanda?” Tawa canggungku kemudian berbicara sembari menatap Ian dengan pandangan tidak percaya. Sejak kapan Ian mulai senang menjodohkanku dengan teman-temannya? Selama ini kita selalu bermain bersama tanpa peduli akan pendapat di sekitar. Lalu kenapa pria itu tiba-tiba ingin mengenalkanku pada teman prianya? Apa Ian sudah merasa bosan berteman denganku? Atau Ian tidak ingin bermain berdua lagi denganku? Apa Ian tidak merasa suatu kehilangan dengan melakukan hal itu? Karena aku saat ini tengah merasa kehilangan Ian-ku yang dulu. Aku merasa Ian sudah tidak menginginkan diriku. Ah, perasaan berat apa ini? Kenapa aku menjadi manja sekali? Tapi selama ini memang hanya Ian yang selalu berada di sampingku. Aku merasa takut, takut jika Ian membuangku. Aku akan menjadi sendirian di dunia ini. Tanpa sadar aku mulai sibuk menautkan semua jariku dan mulai menekankan satu sama lain untuk melampiaskan kegugupanku. “Aku tidak bercanda,” jawab Ian dengan penuh keyakinan. Aku semakin mengalihkan pandang darinya. Aku merasa tidak ingin mendengar ucapannya lagi. Aku merasa takut untuk mendengar kelanjutan dari ucapannya itu. “Tapi aku tidak mau,” balasku dengan lirih. Aku mulai memfokuskan diri pada buku, lebih tepatnya aku mulai berpura-pura fokus kembali pada buku yang k****a. Dari sudut mataku, aku bisa melihat In tengah memerhatikan diriku dengan wajah serius, sebelum pria itu menghela napas panjang kemudian. Helaan napas itu seketika membuatku menegang. Apa aku telah membuat Ian merasa kesal? Aku tidak bermaksud membuat Ian merasa kesal. Apa kehadiranku telah menjadi beban untuk pria itu? Dalam sekejab rasa minderku meningkat pesat. Sudah cukup lama aku tidak merasakan kegelisahan seperti ini. Ian selalu berada di sisiku, dan itu membuatku lupa akan perasaan tidak diinginkan yang sudah sejak kecil telah menghantui pikiranku ini. Kepergian Mama dan ketidak pedulian Papa yang lebih memilih jalan mereka masing-masing dibanding perasaanku sebagai anak yang ditinggalkan, membuat hati dan pikiranku menjadi kacau. Sering kali aku merasa takut dan gelisah tidak menentu. Berpikir bahwa aku adalah anak yang tidak berguna, anak yang tidak diinginkan sehingga mereka berakhir berpisah dan meninggalkanku sendiri di usia yang masih belia. Walau saat ini aku masih hidup bersama dengan Papa, tapi jelas aku bisa merasakan dinding pembatas di antara kita. Aku bisa melihat bagaimana Papa hidup bahagia dengan istri dan anak barunya, dan aku hanya sebagai Penonton dalam kehidupan rumah tangga bahagia mereka. Aku sedih, aku kecewa, marah, dan kesal. Itu pasti. Kenapa aku harus mengalami hal ini, sementara aku tidak pernah berharap untuk menjadi bagian dari mereka. Aku tenggelam dalam kesedihanku sendiri hingga Ian datang. Ian telah menjadi lentera dan pengobat hatiku. Teman yang selalu berdiri di sampingku dan menemaniku dalam kesendirian ini. Kini Ian berkata seolah dia ingin membuangku. Aku ... aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku merasa gugup, gelisah, dan sangat takut. Apa Ian benar-benar sudah merasa bosan dan lelah denganku? Dia satu-satunya yang kupunya, dan kini aku mungkin akan kehilangan dirinya. Aku tidak mau. Tolong, jangan buang aku. “Hahh ini salah. Aku sudah tidak tahan lagi,” keluh Ian dengan lirih, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Seketika aku menundukkan kepala semakin dalam dan menggigit bibir bawah dengan kuat. Apa seberat itu untuk Ian tetap berdiri di sisiku? Sepertinya aku benar-benar telah membuat Ian bosan. Aku semakin tenggelam dalam kesedihanku sendiri hingga membuatku tersentak kaget ketika Ian tiba-tiba menarik tubuhku untuk menghadap ke arahnya dengan paksa. Tanpa sadar aku kembali mendongakkan wajah, menatap Ian dengan kedua bola mata yang melebar saking terkejutnya. Ian sendiri kini menatapku dengan pandangan lekat dan raut wajah serius. “Ini tidak bisa tetap seperti ini, Lea!” ucap Ian dengan tegas. “Ian ...” Aku tidak sanggup mendengar ucapannya. Aku mulai menundukkan kepala lagi demi menghindari tatapan mata pria itu. Namun Ian dengan sigap menahan daguku dan kembali memaksaku untuk menatapnya. “Dengar Lea, apa kau tahu bagaimana pandangan anak-anak yang lain terhadapmu?” “Huh?” Kenapa tiba-tiba Ian menyangkut pautkan dengan pandangan anak-anak terhadapku? “Mereka semua hanya menganggapmu gadis cupu. Gadis kuper. Gadis membosankan, dan gelap. Itu semua karena kau hanya bermain denganku. Itu semua karena kau tidak ingin berbaur dengan mereka, Lea.” “Lalu?” Aku semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan ini. “Ugh ... kau tidak tahu bagaimana aku merasa kesal ketika mereka sering kali menggunjingkan dirimu seperti itu. Selama ini aku memperhatikan itu. Aku tidak ingin mereka berburuk sangka padamu, Lea. Kau adalah gadis yang menyenangkan. Kau adalah gadis yang baik, dan aku ingin mereka juga tahu itu. Karena itu, langkah awal untuk mengubah persepsi buruk mereka terhadapmu adalah dengan mengajakmu berbaur bersama teman-temanku. Kau harus berteman dengan semua orang Lea, dengan begitu mereka akan lebih mengerti dirimu, dan tidak berburuk sangka terhadapmu.” Aku tertegun mendengar penjelasan Ian. Apa semua ini hanya karena dia mengkhawatirkan diriku? Dia tidak ingin orang lain berkata buruk tentangku? “Jadi itu bukan karena kau ingin membuangku?” Aku menatap Ian dengan penuh harap setelah menyadari apa yang pria itu maksud. Kini Ian berbalik menatapku dengan raut wajah heran sekaligus bingung kkarena pertanyaan itu. “Hah? Membuangmu? Apa maksudnya membuangmu?” “Kau ... kau menyuruhku untuk berkenalan dengan pria lain, aku pikir kau sudah bosan padaku.” Ian terlihat kehilangan kata-kata setelahnya. Pria itu tanpa ragu langsung menjentikkan jari pada dahiku dengan keras, hingga membuatku mengaduh kesakitan. “Apa sebenarnya yang telah kau pikirkan itu, Lea? Bagaimana bisa kau berpikir aku akan membuangmu? Kau adalah temanku. Teman pentingku. Mana mungkin aku akan membuangmu, dasar gadis bodoh!” ucap Ian dengan sepenuh hati. Pria itu mendecakkan lidah karena tidak menyangka dengan ucapanku. Sementara jemari tangannya yang panjang kini beralih mengusap dahiku bekas jentikan jarinya tadi dengan lembut, seolah dia ingin menghilangkan rasa sakit di sana. Aku mulai bisa tersenyum lega. Ian tidak membuangku. Dia justru memikirkanku. Dia mengkhawatirkan aku. Aku merasa lega sekali. Sangat lega mendengarnya. Aku membiarkan Ian mengusap dahiku dengan lembut, dan menikmati usapan tersebut. Aku tahu Ian sangat menyayangiku. Dia selalu bersikap lembut padaku. Dia selalu menjagaku, dan tanpa sadar telah membuatku bergantung sepenuhnya padanya. Aku menyayangi Ian. "Tapi aku sudah cukup dengan hanya bersamamu, Ian," ucapku kemudian. Seketika usapan lembut pria itu terhenti di tempat dan beralih memasang wajah datar dengan mata yang lurus menatap ke arahku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD