Perjalanan melewati gerbang sekolah masuk menuju kelas terasa begitu lama untuk perutku yang terasa bermasalah. Entah ini karena efek dari masa periodeku, atau karena makanan pedas yang harus kumakan semalam, aku tidak tahu. Sepertinya air s**u yang kuminum semalam tidak memberikan efek banyak untuk perutku. Pagi ini aku sengaja datang lebih awal untuk menghindari pertemuanku dengan Elly yang mungkin saja terjadi, mengingat kamar kami saling bersebelahan sekarang.
Aku tidak mengingat pukul berapa mereka bertiga tiba di rumah karena aku mengambil tidur lebih awal. Aku tidak tahu apa wajah yang akan kutunjukkan ketika harus bertemu dengan mereka bertiga pagi ini. Aku merasa aku tidak akan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita semalam.
Aku tidak pintar menutupi rasa kekecewaanku begitu saja. Aku hanya ingin menghindari mereka hingga aku merasa aku bisa menghadapinya nanti. Untuk sekarang, ada hal yang lebih penting yang ingin kuselesaikan, yaitu masalahku dengan Ian.
Sungguh, aku tidak ingin kehilangan pria itu. Dia adalah orang yang berharga dalam hidupku. Jika aku sampai kehilangan Ian juga, aku pasti akan semakin tenggelam dalam lautan gelap nan dingin. Walau aku sudah terbiasa dengan kesendirian, tetap saja keberadaan Ian di sisi akan menjadi semakin lebih baik. Karena itu, aku berharap aku akan bisa bertemu dengannya saat ini dan memperbaiki hubunganku dengannya.
Aku tidak menyangka bahwa semua itu benar-benar terkabul ketika aku melihat Ian yang ternyata sudah tiba di sekolah. Aku melihat pria itu berdiri di luar kelas dengan ponsel yang ada di tangannya. Seketika aku berhenti di tempat. Aku merasa belum siap untuk melihat Ian pagi ini, tapi di sisi lain aku juga ingin berbicara dengannya.
Aku masih berdiri di tempat sembari memerhatikan dirinya. Keringat dingin mulai membasahi keningku. Perutku kembali terasa nyeri mungkin karena aku tengah merasa gugup dan gelisah saat ini sehingga hal itu berefek pada perutku. Aku perlu menghitung angka satu hingga sepuluh dalam hati untuk menyiapkan hatiku. Dan ketika angka sepuluh sudah terhitung aku mulai membuka mulut untuk memanggil nama Ian.
Tidak kusangka ternyata pria itu justru menoleh ke arahku lebih dulu, dan membuatku menahan napas melihatnya. Kami saling bertatapan satu sama lain. Ian terlihat menatapku dengan lurus tanpa terlihat ingin memulai pembicaraan di antara kami. Karena itu aku berpikir akan memulai pembicaraan lebih dulu.
“I—“ Sayangnya kata-kataku terhenti di tempat ketika Ian memalingkan muka dan masuk ke dalam kelasnya. Membuatku membeku di tempat merasa telah diabaikan oleh pria itu. Ian adalah pria supel yang selalu menyambutku datang lebih dulu tiap kali bertemu denganku.
Ian akan selalu melempar senyuman cerah dan langsung lari menghampiriku, mengajak berbicara dan berceloteh panjang lebar hingga terkadang membuatku merasa pusing sendiri dengan segala ocehannya. Kini pria itu hanya berdiri diam menatapku, lalu memalingkan wajah dan berjalan pergi, seketika membuatku terluka. Mungkin Ian masih merasa marah kepadaku.
Tentu saja dia akan merasa begitu. Siapa yang tidak marah ketika seseorang tiba-tiba mengatakan hal konyol dan membentakmu tanpa sebab yang jelas seperti itu? Aku merasa lemas seketika. Wajahku menunduk dalam seiring kedua bahuku yang juga merosot ke bawah bagai bunga layu. Kesempatanku untuk kembali dekat dengan Ian menghilang.
Aku akhirnya menyadari kesalahanku yang sepertinya telah berhasil melukai hati Ian begitu dalam hingga membuat pria supel itu bersikap dingin kepadaku seperti ini. Terpaksa aku melanjutkan langkah melewati kelas Ian dengan lesu, menuju kelasku yang berada dua kelas di sebelahnya. Duduk diam di tempatku sembari melewati pelajaran yang berlangsung dengan pikiran berat mengenai sikap dingin Ian tersebut.
Sakit. Ini sakit sekali. Aku berusaha menahan diri untuk tetap fokus pada pelajaran yang berlangsung, akan tetapi nyeri yang terasa membakar pada perutku saat ini terasa begitu kencang hingga membuatku mendesis kesakitan. Aku menundukkan kepala dan meremas perutku sendiri karena sakit yang terasa.
“Alea!”
Aku terkejut ketika namaku tiba-tiba dipanggil di saat pelajaran berlangsung. Dengan perlahan aku kembali mendongakkan kepala untuk melihat ke depan. Tidak kusangka semua mata kini tengah tertuju padaku dengan raut wajah heran dan penasaran.
“Ada apa denganmu? Apa kau sedang sakit?” tanya guru tersebut. Sepertinya beliau menyadari kesulitanku ini. Aku menjadi gugup dengan semua mata yang memerhatikanku itu. Aku juga merasa gugup, takut jika guru marah padaku karena tidak memerhatikan pelajarannya.
“Ma—maaf, Pak. Perut saya terasa sakit,” jelasku pada akhirnya. Aku menelan air ludah dengan susah payah sembari menahan nyeri pada perutku.
“Kalau kau sakit, sebaiknya cepat pergi ke UKS. Kau terlihat pucat sekali. Perlu bantuan untuk pergi ke sana?” tawar guru tersebut. Aku merasa lega karena guru tersebut sepertinya menyadari penyebab rasa sakitku.
“Ti—tidak Pak. Saya, bisa ke sana sendiri. Maaf,” jawabku. Lalu mulai bangkit berdiri dan pamit untuk pergi. Aku berjalan melewati lorong demi lorong kelas dengan pelan sembari menundukkan kepala. Lorong kelas terlihat sepi sekali. Sesekali akan terdengar suara guru yang mengajar di tiap kelas.
Aku mengusap keringat dingin yang membasahi keningku sembari menahan nyeri tiap kali aku melangkahkan kaki. Perjalanan ke UKS terasa begitu panjang dan membuatku beberapa kali menghela napas panjang. Kenapa ini terasa sakit sekali?
Tidak. Sebenarnya aku sudah tahu bahwa ini akan menjadi semakin sakit, hanya seperti sakit pada tiap bulan yang kurasa. Biasanya aku akan mengambil absen untuk beberapa hari dan sepanjang hari membaringkan diri di atas ranjang, menahan sakit hingga rasa sakitnya bisa kuhadapi.
Tapi untuk saat ini, aku tidak ingin berada di rumah. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin untuk sementara waktu dari kondisi rumah yang membuatku penat. Karena itu, aku harus menahan rasa sakit ini sebisa mungkin.
“Permisi,” ucapku ketika membuka pintu ruang UKS. Petugas yang berjaga langsung menoleh ke arahku.
“Ya? Ada yang bisa kubantu?” balas petugas tersebut. Aku merasa lega karena petugas yang berjaga saat ini adalah seorang wanita.
“Maaf, perut saya sakit. Apa ada obat yang bisa menahan rasa nyeri?”
“Perutmu sakit? Apa kemungkinan itu waktu bulananmu?” Petugas wanita itu menyuruhku untuk duduk di atas ranjang pasien.
“Ah, iya. Sebenarnya, semalam saja juga makan makanan pedas. Perutku terasa panas sekali,” tambahku.
“Ketika sedang masa haid, sebaiknya hindari makanan pedas dan berminyak. Aku akan memberikan obat pereda nyeri. Setelah itu beristirahatlah di sini hingga kau merasa lebih baik,” tutur petugas tersebut. Aku menganggukkan kepala, lalu menerima obat tersebut. Meminumnya, lalu membaringkan diri di atas ranjang. Aku pikir, mengambil tidur sejenak bisa membantuku melupakan rasa sakitnya, karena itu aku mulai memejamkan kedua mata.
Entah sudah berapa lama aku jatuh tertidur di tempat ini, tapi aku merasa hangat pada perutku. Aku mulai membuka mata secara perlahan dan melihat apa yang terjadi. Hingga kedua mataku menangkap kehadiran seseorang yang ternyata ada di sisi ranjangku. Aku terkejut. Sepertinya orang tersebut menyadari pergerakanku sehingga dia akhirnya menoleh ke arahku.
“Kau sudah bangun? Bagaimana perutmu?” tanyanya. Aku hanya tertegun tidak percaya melihat kehadiran sosok itu di sini. Mungkinkah aku masih tenggelam dalam alam mimpi?
“Ian?” gumamku memanggil namanya dengan perasaan yang masih tidak yakin.
“Aku melihatmu berjalan melewati kelasku tadi. Kau terlihat pucat sekali. Jika kau sakit, lebih baik kau pulang saja. Kenapa harus memaksakan diri pergi ke sekolah?” tegur pria itu. Kini aku yakin bahwa itu memang benar dia. Hatiku terasa lega menyadari bahwa Ian masih perduli padaku.
Aku menundukkan pandangan dan melihat handuk dalam plastik yang terasa hangat telah berada di atas perutku. Membuatku merasa heran dan merabanya dengan pelan. Aku tidak ingat telah mengambil handuk itu dari suatu tempat.
“Ini ...” tanyaku menyentuh handuk itu.
“Aku dengar mengompres perut dengan air hangat bisa membantumu meredakan nyeri haid. Karena itu aku meletakkannya di sana. Kau sakit perut karena sedang haid kan?” jelas Ian dengan memalingkan muka ke arah depan lagi. Meski sikapnya masih terasa dingin, tapi aku tetap bisa merasakan kehangatan dan perhatian dari tiap kata-katanya. Ian masih peduli padaku. Hal itu membuatku tersentuh dan tidak bisa menahan air mata yang mulai merebak menggenang di pelupuk mataku.
“Ung. Aku sedang haid. Terima kasih. Handuknya membuatku merasa lebih nyaman,” ujarku sembari menunduk dalam. Aku berusaha keras untuk tidak menangis terisak di depan Ian. Namun tetap saja, perhatian Ian ini membuatku tidak bisa mengontrol emosi yang sedari tadi telah kupendam. Aku berakhir terisak secara perlahan.
“Hiks hik!”
“Hei, apa kau menangis?” tanya Ian kemudian. Aku bisa melihat bayangan sosok Ian yang kini menghadapkan diri ke arahku. “Alea, apa kau menangis? Kenapa kau menangis? Apa itu sangat sakit, huh?” tanya Ian sekali lagi. Pria itu menyentuh kedua pundakku dan mencoba untuk melihat lebih jelas wajahku. Aku bisa melihat bagaimana Ian sangat memerhatikan diriku, dan melihat dengan jelas bagaimana pria itu sangat mencemaskanku. Perhatian Ian justru semakin membuatku menangis terisak.
“Um, itu sakit. Maafkan aku hik hik,” jawabku di sela isak tangisku. Aku pikir ini karena emosiku yang bercampur dengan kekecewaan terhadap sikap keluargaku semalam sehingga membuatku semakin merasa tidak bisa menahan emosi lagi. Aku tidak bisa menghentikan isak tangisku.
Aku merasa bersalah pada Ian karena telah membuat pria itu semakin cemas dan panik karena tangisanku yang semakin kencang. Mungkin Ian berpikir kalau aku menangis karena rasa sakit pada perutku, dan aku hanya membiarkan Ian berpikir seperti itu.
“Kenapa kau minta maaf kepadaku? Kau menangis karena sakit di perutmu. Apa yang bisa kulakukan untuk membuat sakitnya berkurang? Katakan padaku Lea. Aku akan berusaha membantumu. Apa kau perlu kompres handuk hangat lagi?” tanya Ian dengan raut wajah bingung.
“Tidak. Ini sudah cukup buatku, Ian,” balasku dengan lirih. “Bagaimana dengan pelajaranmu? Kenapa kau datang ke sini?”
“Aku—“ Ian terlihat ragu menjawab pertanyaanku. Membuatku menatapnya dengan wajah heran dan menunggu penjelasannya. “Aku ijin sakit.”
“Apa kau sakit? Sakit apa? Kau harus beristirahat kalau begitu. Kenapa justru duduk di sini?” Kini ganti aku yang merasa khawatir padanya. Ian jarang sekali sakit, dan hampir tidak pernah merasa sakit. Tentu saja aku menjadi khawatir padanya.
“Tidak, tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya mencari alasan agar bisa datang ke sini,” jawab Ian dengan tersipu malu. Pria itu menggaruk belakang kepalanya dengan asal sembari mencoba menghindari tatapan mataku. Aku semakin merasa heran dengan tingkah Ian.
“Kenapa kau melakukan itu?” tanyaku dengan raut wajah bingung.
“Tentu saja karena kau. Aku melihatmu melewati kelasku dengan wajah pucat seperti itu. Aku ... mengkhawatirkanmu,” ucap Ian. Seketika aku tertegun mendengarnya. Ian datang hanya karena mencemaskan diriku. Tidakkah dia manis sekali? Aku merasa senang sekali. Tanpa sadar aku kembali meneteskan air mata karena perhatian manis dari pria itu.
“Loh, kenapa kau menangis lagi?” Ian kembali panik ketika melihat air mataku menetes lagi.
“Hik hiks, aku pikir ... aku pikir kau tidak akan mau berteman denganku lagi huaa!” isakku yang semakin kencang. Sungguh, aku tidak bisa menahan emosiku saat ini. Rasanya aku merasa begitu sedih dan itu membuatku kesal setengah mati. Aku takut Ian akan merasa kesal padaku lagi seperti kemaren. Tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bersedih. Ini membuatku frustasi.
“Lagi?! Kenapa kau selalu berpikir seperti itu, Lea? Aku tidak punya alasan untuk menolak berteman denganmu, gadis bodoh!” keluh Ian yang terlihat ikut frustasi menghadapi diriku yang menangis ini.
“Tapi, tapi kau mengabaikan aku tadi hik hik,” protesku. Aku teringat bagaimana dinginnya Ian pagi ini terhadapku dan itu membuatku sedih.
“Tidak. Itu karena aku berpikir kau masih marah kepadaku, Lea. Aku merasa ragu untuk menyapamu lebih dulu karena aku telah membuatmu marah kemaren. Jadi aku menunggumu untuk menyapaku terlebih dahulu. Tapi kau tidak kunjung menyapaku. Lalu temanku memanggil. Karena itu, aku pikir aku perlu memberimu waktu untuk meredakan amarahmu tadi, dan memilih untuk datang mengikuti panggilan temanku. Aku tidak tahu kau akan berpikir seperti itu. Maafkan aku,” jelas Ian panjang lebar yang berhasil membuatku melongo tidak percaya.
Aku tidak pernah menyangka Ian akan berpikir seperti itu padaku. Aku merasa bodoh sendiri karena telah memikirkan sikap dingin Ian sepanjang hari ini. Ini hanya sebuah kesalah pahaman di antara kita karena tidak ada dari kita yang berani memulai pembicaraan. Di sisi lain aku merasa lega karena Ian tidak seperti yang aku pikirkan.
“Apa itu? Aku memikirkan sikap dinginmu sepanjang hari, kenyataannya hanya seperti ini?” Aku merasa konyol sendiri hingga membuatku terkekeh geli. Aku juga melihat Ian melempar senyumnya setelah melihat tawa kecilku ini
“Jadi kau memikirkanku sepanjang hari heh?” ledek Ian. Aku memukul lengan Ian dengan pelan karena merasa pria itu telah mempermainkanku.
“Itu karena kau, dasar!” gerutuku dengan sebal. Ian semakin tertawa geli melihatku yang kesal. Pria itu membantu membersihkan bekas air mata sembari menertawaiku. Tanpa kusadari suasana di antara kami kembali hangat dan ceria seperti sebelumnya dan itu membuatku merasa sangat lega. Entah sejak kapan aku tidak merasakan nyeri berlebihan pada perutku lagi.