08.

1507 Words
“Bagaimana keadaanmu? Apa kau sudah baik-baik saja?” tanya Ian sembari memberikan segelas jeruk hangat kepadaku. Kini kami berada di kamar Ian. Sepulang sekolah aku langsung pulang bersama Ian ke rumah pria itu. Cukup lama aku tidak mendatangi rumahnya sejak terakhir aku ke tempat ini. Aku merasa rindu dengan Tante Yuna, Om Putra. Sayangnya Tante Yuna dan Om Putra sedang berada di luar menghadiri pesta pertemuan koleganya. Karena itu, di sinilah aku berada dalam kamar Ian yang biasa aku kunjungi tiap kali datang ke sini. Duduk santai di atas karpet lembut dengan meja bundar yang berada di tengah ruangan. Beberapa cemilan dan minuman sudah tersaji di sana berikut beberapa buku bacaan koleksi Ian. Aku sering kali merasa lucu dengan keunikan kamar Ian. Kamar Ian bernuansa manly dengan wangi yang tercium jantan khas kamar pria. Bahkan suasananya juga didominasi dengan warna gelap layaknya seorang pria jantan. Hanya saja, bagian lucunya adalah di antara barang-barang jantan itu, terdapat barang-barang girly khas cewek yang juga ikut terpajang di sana. Meski tidak sebanyak bagaimana cintanya Ian terhadap barang-barang girly itu, tetap saja penampilan barang-barang girly itu berhasil mengundang pertanyaan. Jika orang luar melihat, mungkin mereka akan berpikir Ian telah berbagi kamar dengan seorang gadis mengingat bagaimana kontrasnya kamar Ian serta penampilan pria itu yang terlihat jantan setiap harinya. Benar, tidak banyak orang yang mengetahui hobi unik Ian tersebut. Bahkan kedua orang tuanya pun tidak tahu sepenuhnya betapa Ian sangat menyukai barang-barang girly itu. Mereka hanya berpikir bahwa Ian memiliki penggemar yang suka mengirim hadiah manis kepadanya, dan karena merasa sayang untuk dibuang, Ian akhirnya menyimpan semua hadiah penggemar itu. Yah tidak mengherankan jika mereka akan berpikir seperti itu, mengingat Ian juga memiliki paras yang tampan serta jantan yang bisa membuat para gadis merapatkan barisan untuk mendekatinya. Terkadang aku hanya bisa mendecak heran dan geleng-geleng kepala bagaimana baiknya Ian bisa menyembunyikan ini semua. Aku tidak tahu bagaimana reaksi kedua orang tua Ian ketika akhirnya mereka tahu bagaimana Ian sangat menyukai barang-barang itu nanti. Aku harap tidak akan ada timbul masalah yang berarti mengingat Om Putra adalah pria yang cukup keras dalam masalah hal seperti itu. “Aku merasa lebih baik,” jawabku dengan singkat. Kembali pada situasi saat ini, aku langsung menerima botol hangat yang juga disiapkan Ian untuk membantu meredakan rasa nyeri di perutku. Botol itu kutempelkan pada perut dan langsung bisa kurasakan kehangatan di sana yang semakin membuatku lebih nyaman. Sementara Ian kini duduk di seberang meja dengan santai setelah mengganti baju seragamnya dengan kaos hitam polos, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Pria itu mencomot cemilan beberapa macam buah yang telah disajikan untuk kami berdua, lalu memerhatikan diriku sembari mengunyah makanan dalam mulutnya. “Kenapa tidak mengambil absen saja jika kau sakit? Kau tahu, aku terkejut ketika pagi ini aku melihat wajahmu yang terlihat pucat. Kau membuatku cemas,” tegur Ian. “Bukankah biasanya kau mengambil absen bulanan jika merasa tidak sanggup?” Aku tersenyum kecil mendengar itu. Meraih sendok dalam jeruk hangatku dan mengaduknya dengan pelan. “Aku tidak apa-apa kok. Lagi pula aku ingin secepatnya menyelesaikan masalah di antara kita.” “Apa hanya itu?” Ian menatapku dengan pandangan selidik. Membuatku tertegun di tempat lalu menghela napas pelan pada akhirnya. “Kau tahu, dia sudah tiba di rumah,” ucapku kemudian. Ian memiringkan kepalanya mencerna ucapanku. “Dia?” beo Ian yang masih belum mengerti siapa yang aku maksud. “Dia, Elly, kakak tiriku.” Barulah Ian mulai mengerti maksud ucapanku. “Jadi dia sudah tinggal di rumahmu?” Aku mengangguk kecil. “Apa dia melakukan sesuatu padamu?” tanya Ian dengan wajah seriusnya, terlihat seolah pria itu akan bertindak jika dia mengetahui Elly telah melakukan sesuatu padaku. Itu adalah salah satu alasan aku merasa nyaman dengan Ian. Ian seolah selalu siap melindungiku dan tidak senang dengan siapa pun yang membuat masalah denganku. Aku tersenyum kecil melihat reaksi kecilnya yang penuh perhatian tersebut. “Tidak. Aku bahkan belum sempat bertemu dengan dia. Semalam, kami telah merencanakan makan malam bersama untuk merayakan kedatangan Elly. Tapi kenyataannya mereka meninggalkan aku di rumah karena Elly ingin makan di luar.” “Apa kau baik-baik saja?” tanya Ian. Aku bisa melihat raut wajah simpati dari pria itu ketika mendengar ceritaku ini. Ian memang tahu dengan benar bagaimana hubunganku dengan keluargaku, karena kami sudah lama mengenal satu sama lain. Karena itu, aku merasa tidak canggung untuk membicarakan masalah yang terjadi dalam keluargaku. Bisa dibilang, Ian adalah tempat curhatku selama ini. Aku nyaman bercerita dengan Ian terlebih dengan sikap lembut dan perhatian Ian yang ditunjukkan padaku selama ini. Setidaknya aku merasa hanya Ian yang bisa mengerti kesedihan hatiku. “Aku kecewa tentu saja. Tapi aku sudah menyadari semua akan menjadi seperti ini,” jawabku. “Masalahnya, Bibi Mirna telah membuat makanan kesukaan Elly, dan semua makanan itu pedas. Jadi aku menghabiskan makanan itu dengan Bibi Mirna,” tambahku. Ian membolakan kedua matanya tidak percaya mendengar itu. Mengetahui bagaimana aku sensitif dengan makanan pedas. “Makanan pedas? Tapi kau tidak bisa makan makanan pedas Lea. Itu bisa membuat perutmu menjadi semakin sakit dalam kondisi seperti ini!” “Aku tahu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Papa menyuruhku untuk memakan makanan itu, dan aku merasa sayang jika harus menyia-nyiakan semua makanan itu. Lagi pula ada Bibi Mirna yang membantuku menghabiskan makanannya.” “Astaga, bagaimana bisa Papamu menyuruh memakan semua itu? Apa dia lupa kau tidak bisa memakan makanan pedas?!” geram Ian. “Apa kau sungguh baik-baik saja?” “Um. Aku baik-baik saja. Aku minum s**u untuk mengurasi rasa pedasnya.” “Apa kau membutuhkan s**u lagi? Biar aku suruh Bibi membuatkanmu s**u, oke?!” “Apa? Tidak! Ian tidak perlu. Aku sudah cukup dengan jeruk hangat ini. Lagi pula kau sudah memberiku botol hangat. Perutku sudah tidak sesakit tadi,” cegahku langsung ketika Ian hendak bangkit berdiri. “Kau yakin?” Aku bisa melihat keraguan dari pandangan mata Ian atas penolakanku. “Aku yakin. Aku baik-baik saja, Ian. Terima kasih,” ucapku dengan tulus. Barulah Ian kembali pada posisinya semula, duduk santai di depanku. Untuk beberapa saat kami hanya diam tanpa kata. Aku sendiri menikmati jeruk hangatku dan merasakan air hangat itu masuk melewati bagian tubuh dalamku hingga terasa menyebar di bagian perut. “Alea,” panggil Ian kemudian. Aku kembali mendongak menatapnya. Ian terlihat menatapku dengan sendu. “Aku minta maaf jika aku telah membuatmu tidak nyaman.” “Huh?” Aku terkejut ketika Ian tiba-tiba minta maaf kepadaku. “Aku telah mencoba memaksamu untuk keluar dari zona nyaman dan membuatku marah kemaren. Sepertinya aku memang keterlaluan dan membuatmu tidak nyaman. Aku tidak memikirkan perasaanmu. Aku ... tidak akan melakukan hal itu lagi. Aku janji,” jelas Ian. Aku tahu maksud Ian adalah ketika dia memaksaku untuk berbaur dengan teman-temannya kemaren. Memikirkan hal itu lagi, membuatku berpikir kembali. Ian memang hanya berniat baik dan membantuku saja, aku tahu itu. Mungkin aku juga telah bereaksi berlebihan pada Ian. Aku tidak ingin kita bertengkar seperti kemaren lagi. Aku tidak ingin membuat suasana di antara kita menjadi canggung lagi. Mungkin jika mengenal beberapa teman di luar sana, tidak akan menjadi masalah untukku. Lagi pula mereka adalah teman-teman Ian. Aku yakin Ian bisa mengetahui siapa orang yang baik dan tidaknya. Karena itu, akhirnya aku mulai memutuskan. “Aku ... mungkin jika mengenal beberapa teman tidak akan menjadi masalah, Ian,” ucapku kemudian. Walau sejujurnya aku masih merasa ragu dan tidak nyaman jika harus melakukan hal itu, tapi aku tetap tidak ingin mengecewakan Ian. Aku berharap aku bisa melakukannya dengan baik dan membuat Ian merasa bangga. “Apa?” Ian memandangku tidak percaya. “Aku akan mencoba berteman dengan mereka. Asal kau mau membantuku dan tetap di sisiku. Apa kau mau?” tawarku dengan sedikit ragu. Detik kemudian aku bisa melihat senyum lebar di wajah Ian setelah mendengar permintaanku itu. “Tentu saja aku mau! Oh astaga, kau membuatku bangga Lea. Kau tenang saja. Aku akan memperkenalkanmu pada teman-teman baikku. Mereka tidak akan menggigitmu. Jika mereka melakukan hal itu, katakan saja padaku. Aku pasti akan menghukum mereka, mengerti?!” seru Ian dengan penuh antusias. Aku bisa melihat Ian begitu menanti pertemuan kami nanti, dan itu membuatku tersenyum geli. “Menggigit kau bilang? Hahaha,” tawaku geli. “Kau tenang saja Lea. Mereka semua anak-anak yang menyenangkan. Kau tidak akan mati kutu jika berhadapan dengan mereka, karena mereka senang sekali bicara hahaha,” tawa Ian mulai menceritakan satu per satu temannya padaku. Rasanya aku seperti mendengar cerita dongeng dengan karakter utama Ian. Satu per satu Ian menceritakan pengalaman serunya bersama dengan semua teman-teman itu padaku dan membuatku semakin tersadar bahwa selama ini aku tidak mengenal sepenuhnya sisi Ian yang lain. Aku merasa senang, juga sedih menyadari hal itu. Aku ingin mengenal Ian lebih jauh, akan tetapi karena sisi gelapku yang membuatku tidak ingin terjun lebih jauh ke dunia, membatasi diriku untuk bisa mengenal dunia Ian lebih jauh. Keinginan itu semakin membuatku lebih mantap untuk mencoba membuka diri pada teman-teman Ian nanti. Aku harap, dengan aku melakukan hal ini, aku bisa lebih mengenal dunia Ian yang lain, sisi yang tidak pernah aku lihat selama ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD