03.

1111 Words
“Lea,” panggil Ian di sela waktu luang kami bersama saat ini. “Hm?” Aku yang tengah asik tenggelam dengan n****+ bacaanku hanya menanggapinya dengan sebuah deheman tanpa berniat memalingkan muka untuk menoleh ke arahnya. “Hei, apa kau melihat anak baru yang ada di kelasku?” Ian secara tiba-tiba mendekatkan wajahnya padaku. Pria itu terlihat begitu antusias ketika membawa topik ini, entah mengapa. Aku sendiri masih tidak perduli dengan topik tersebut. Aku pribadi sesungguhnya tidak begitu perduli dengan sekitarku, atau pun ingin ikut mencampurkan diri pada urusan orang lain. Karena itu, aku hanya membalas pertanyaan Ian dengan tetap tenang. “Tidak.” “Apa kau tahu? Dia pria yang tampan sekali. Keturunan Bule, dan kaya!” jelas Ian dengan sedikit menggebu seolah dirinya tengah mengidolakan teman kelas barunya itu. “Hmm,” jawabku dengan tampang masa bodoh. Aku membalikkan lembaran kertas selanjutnya dari buku bacaanku saat ini. Bola mataku bergerak dengan cepat dan begitu fokus mengikuti tiap baris kata dari buku n****+ yang tengah aku baca. “Warna matanya indah sekali, Alea. Warnanya hijau. Keren kan? Dia seperti tokoh Ken dari Disney Land. Saat ini dia tengah menjadi berita hangat di kalangan para gadis. Jelas saja dia pasti akan langsung menjadi populer. Banyak anak perempuan yang tertarik dengan dia. Apa kau tidak mendengar tentangnya sedikit pun? Dia sudah hampir semingguan ini pindah ke sekolah kita, Lea!” ucap Ian yang masih penuh semangat membicarakan pria baru itu. “Tidak mendengar apa pun, Ian,” jawabku yang terdengar seperti sebuah gumaman tidak jelas. Aku masih fokus dengan apa yang k****a saat ini. Tokoh wanitanya tengah berusaha kabur dari kejaran para monster yang ingin membunuhnya. Bagaimana bisa seorang gadis manusia yang masih begitu kecil seperti itu harus menang melawan salah satu monster yang ingin memakannya? Suasana dalam cerita itu terasa begitu tegang dan saat ini aku tidak bisa fokus membaca sambil mendengar celotehan Ian yang asik mengagungkan pria lain. Tentu saja aku lebih memilih menghayati bacaanku ini karena aku tidak perduli dengan pria yang diceritakan Ian. Karena itu juga, aku merespon ucapan Ian dengan sesingkat mungkin agar pria itu kembali pada tempatnya duduk. Lagi pula jarang sekali Ian akan mengalihkan perhatian dari permainan mobile-nya seperti ini, apa lagi hanya karena dia ingin menceritakan tentang seorang pria. Aku yakin, pria itu pasti sangatlah cantik sehingga membuat Ian tertarik padanya. Ian kan sangat menyukai hal yang berbau manis dan imut sedari kecil. Begitulah pikirku. Sudah hal yang biasa untuk Ian begitu antusias dengan hal seperti itu. Kupikir pria di sebelahku ini telah menjadi tenang setelah mendengar jawaban terakhirku tadi. Ternyata aku salah. Pria itu justru dengan cepat menarik buku yang tengah aku baca hingga membuatku terkejut di tempat. Aku menoleh ke arah Ian dengan raut wajah yang sudah menahan kesal. “Ian ...” geramku secara tertahan. Aku masih mengingat bahwa tempat yang tengah kita masuki saat ini merupakan ruang Perpustakaan yang adalah tempat untuk belajar dan perlu ketenangan. Tidak mungkin aku akan berteriak di sini dan membuatku berakhir diusir oleh petugas Perpus yang berjaga. Jam sekolah masihlah terlalu panjang untukku menghabiskan waktu kosong di tempat yang ramai ini. Di saat seperti ini, pasti ruang UKS akan penuh. Penuh dengan siswa yang memilih menghabiskan waktu untuk tidur di sana. Aku tidak akan bisa menghabiskan waktu tenang di sana. Bukannya merasa bersalah, Ian justru membalas tatapan kesalku dengan wajah datar. Pria itu menutup buku bacaanku begitu saja tanpa memberikan tanda pembatas dari halaman terakhir yang k****a terlebih dahulu, lalu meletakkannya di meja dan menindihnya dengan satu lengan seolah dia ingin menghalangiku untuk mengambil buku itu. Aku semakin terperangah tidak percaya melihat tingkah mengesalkannya itu. “Kau tidak mendengarkan ucapanku, Lea,” tegur Ian dengan raut wajah tanpa rasa bersalah. Menatap lurus ke arah mataku bagai seorang ibu yang tengah menegur anaknya ketika mereka telah melakukan kesalahan. “Aku mendengarkanmu, Ian.” Aku berusaha menahan kesabaranku kali ini. “Tidak. Kau tidak memberikan atensi penuhmu padaku, Alea Clarissa Putri.” Seketika aku mendengus kasar sembari memutar bola mata dengan perasaan jengah. “Tapi aku sedang membaca, Ian. Apa kau tahu adegan ceritanya sedang dalam kondisi tegang saat ini, dan kau menutup bukunya begitu saja!” protesku tidak terima. “Itu karena kau tidak memberikan atensi penuhmu padaku, Lea. Kau tahu kan, aku tidak suka melihatmu mengabaikan aku!” balas Ian yang juga merasa tidak mau mengalah. Membuatku kembali terperangah takjub untuk ke sekian kalinya. Aku lupa bahwa Ian selalu kesal jika aku mengabaikan atau tidak memberikan atensi penuh kepadanya. Ian sering kali suka seenaknya. Mungkin karena dia seorang Ekstrovert yang suka menarik atensi banyak orang, jadi Ian merasa tidak suka diabaikan? Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, sepertinya aku memang telah salah di sini. Karena itu, pada akhirnya aku hanya bisa mengalah dan pasrah menuruti kemauan pria itu. “Baiklah. Maafkan aku. Jadi apa yang ingin kau bicarakan tadi?” ucapku dengan berusaha sabar kembali. Bukannya sudah membaik, justru Ian menampilkan wajah cemberutnya mendengar pertanyaanku itu. “Tuh kan?! Kau tidak mendengarkan ucapanku sedari tadi, Alea!” protes Ian dengan kesal. Bahkan pria itu sedikit meninggikan suara dari sebelumnya, dan membuat beberapa orang di sekitar kita langsung melempar protes dengan tatapan mata. Aku langsung merasa panik. “Ian! Jangan keras-keras ngomongnya!” pekikku tertahan. Kucubit kecil paha Ian dengan pelan sebagai bentuk peringatan, sekaligus meluapkan rasa gemasku ini padanya. Ian langsung meringis kesakitan. “Auh! Sakit,” keluh Ian sambil menggosok paha bekas cubitanku. “Mangkannya dengerin ceritaku, Lea.” “Hahh, iya, apa?” Ian kembali dengan semangat memulai lagi ceritanya padaku. “Kau tahu, ada anak baru di kelasku—“ “Aku tahu. Dia pria yang tampan kan? Keturunan Bule, kaya. Matanya cantik dan berwarna hijau. Banyak gadis yang jatuh cinta kepadanya. Dan dia sudah menjadi terkenal di sekolah kita,” potongku langsung dan membuat Ian tertegun melihatku. “Nah itu kau mendengarkanku!” “Aku sudah katakan padamu tadi, aku mendengarkanmu, Ian!” balasku dengan penuh penekanan saking gemasnya dengan pria ini. Nampaknya kesabaranku benar-benar tengah diuji kali ini. “Lagi pula, untuk apa kau mengatakan ini padaku? Apa kau tertarik dengan anak itu? Dia seorang pria, Ian. Pria!” lanjutku. Bahkan aku sampai mengulangi kataku hanya untuk membuat pikiran Ian terbuka. Aku kemudian melihat kening Ian mengerut tajam. “Apa yang kau katakan, Lea? Tentu saja karena aku ingin mengenalkan dia padamu.” Ian menjawab dengan penuh keyakinan, seolah hal itu bukanlah apa-apa untuknya mengenalkanku pada pria lain. Namun berbeda denganku yang kini langsung membeku di tempat karena ucapan Ian tersebut. Ada perasaan asing yang terasa tidak menentu dan bercampur aduk dalam hatiku, dan membuatku tidak suka akan kenyataan itu. “Apa?” Hanya itu yang bisa kuucap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD