Hasil pemeriksaan sudah keluar. Dokter bilang kandungan Elina sehat. Ervin juga sudah bertanya apa saja makanan yang boleh di makan oleh ibu hamil. Setelah rangkaian pemeriksaan selesai mereka pun pulang.
“Mister, dia kecil sekali, ya,” kata Elina saat melihat foto USG bayinya. Ervin yang sedang mencuci piring segera menoleh. Sejak sampai di rumah gadis itu tidak berhenti menatap foto USG.
“Usianya baru 5 minggu Elina. Masih banyak waktu untuk berkembang.”
Ervin mencuci tangannya lalu bergabung dengan Elina di meja. “Kapan kamu mau ngasih tau papa sama mama?” tanya Ervin. Mereka tidak bisa merahasiakan ini lebih lama dari keluarga.
“Besok. Kebetulan di rumah ada pesta ulang tahun papa. Mister sudah punya hadiah?” tanya Elina sembari menyimpan foto USG.
“Sudah.”
Elina menatap Ervin kaget. Ia tidak melihat ada hadiah di kamar suaminya atau di seluruh rumah. Di mana ia menyimpan hadiah itu? Elina melihat ke setiap sudut ruangan untuk memastikan tidak ada hadiah yang tersembunyi.
“Kamu lagi cari apa?” tanya Ervin.
“Mau cari hadiah yang Mister bilang. Kok nggak ada? Mister mau ngasih apa emangnya?” tanya Elina penasaran. Ervin menunjuk foto USG yang ada di dalam amplop rumah sakit.
“Mau ngasih foto USG.” Kening Elina mengkerut. Bagaimana bisa foto USG dijadikan hadiah ulang tahun.
“Mister maksud aku hadiah berupa benda bukan foto. Jam tangan, tas atau yang lainnya,” kata Elina. Ervin menghela napas lalu menatap Elina lekat.
“Elina, aku bukan orang kaya yang bisa beli barang mewah buat papa kamu. Lagi pula papa kamu punya segalanya. Uang melimpah, bisnis di mana-mana. Hadiah dari aku nggak ada apa-apanya. Cuma satu hal yang papa kamu nggak bisa beli dengan apa pun termasuk uang dan aku mau ngasih itu,” kata Ervin membuat alis Elina menukik tajam.
“Apa itu?” tanya gadis itu bingung.
“Cucu. Papa kamu nggak mungkin bisa buat cucu, makanya aku buatin.”
“Tapi Kak Bagus bisa ngasi cucu ke papa,” kata Elina. Gadis itu masih belum bisa menerima hadiah untuk papanya hanya selembar foto USG bayi.
“Kalau Kak Bagas anaknya belum jadi, beda sama anak kita yang sudah ada di perut kamu.”
“Kamu yakin papa senang sama hadiahnya?” tanya Elina sembari menatap amplop putih di atas meja.
“Yakin dong. Papa kamu pasti senang sampai meneteskan air mata.”
Ervin tersenyum lebar dengan jawabannya. Sejujurnya ia tidak pernah memikirkan hadiah ulang tahun untuk mertua. Ia sendiri bingung mau menghadiahkan apa untuk Tristan terlebih mertuanya adalah orang kaya. Ervin tidak mungkin membelikan hadiah di pasar Minggu. Minimal beli hadiah di mall, itu pun harus bermerek.
“Mister pintar banget. Aku bahkan nggak kepikiran mau ngasih foto USG.” Elina tampak senang telah menemukan hadiah yang tepat untuk ayahnya. Ervin mengusap dadanya pelan. Ia senang luar biasa karena sudah menyelamatkan uang tabungannya.
Untung Elina setuju kalau nggak, aku bisa jadi gelandangan baru di ibu kota, batin Ervin.
**
Kelas sudah berakhir satu jam lalu, tapi Elina enggan beranjak dari tempatnya. Gina sudah pulang bersama Hendra. Mereka bilang ada urusan keluarga. Sementara Naura tidak ada kelas hari ini sehingga Elina sendirian. Masih ada Varen yang bisa menemaninya bicara, tapi ia tidak melihat pria itu.
“Elina.”
Gadis itu mendongkak menatap Varen yang berada di ambang pintu. Elina bergegas menghampiri sahabatnya. Varen mengambil alih buku yang ada di tangan Elina.
“Terima kasih. Kamu nggak ada kelas?” tanya Elina. Mereka jalan berdua menyusuri lorong yang akan membawa ke parkiran.
“Aku nggak ada kelas hari ini. Dosennya lagi sibuk,jadwal pindah ke Kamis,” kata Varen. Mereka sudah sampai di parkiran. Elina tidak melihat ada Ervin menunggunya di tempat biasa itu artinya pria itu masih ada kesibukan. Elina menghela napas panjang,ternyata Ervin belum selesai dengan urusannya.
“Mau makan siang sambil ngobrol? Atau mau baca buku sambil ngobrol dan sekalian makan?” tanya Varen.
“Emang bisa baca buku sekalian makan? Aku bosan kalau baca buku pelajaran,” kata Elina. Varen tersenyum lebar lalu menarik tangan Elina ke mobilnya.
“Ada dong. Restaurant ini baru buka seminggu yang lalu.Dipojok ada buku-buku yang bagus buat nemenin ngopi. Buat nongkrong enak banget.”
Varen membuka pintu mobilnya mempersilakan Elina duduk. Varen meletakkan buku Elina di jok belakang sebelum memasang sabuk pengamannya.
“Aku yakin kamu bakalan suka,” ujar Varen membuat Elina tidak sabar sampai di tempat itu.
***
“Ervin,” panggil seorang wanita yang membuat Ervin ingin lari. Suara itu milik Dinda, gadis yang tiap hari semakin gencar mendekatinya. Sudah banyak yang tahu Ervin berpacaran dengan Elina, tapi gadis yang satu ini sedikit bandel. Tidak mau menerima kenyataan yang ada.
“Ada apa Dinda?” Ervin tetap memamerkan senyumannya. Ia berharap urusan dengan Dinda tidak berlangsung lama. Elina bisa marah kalau ia telat mengantar pulang.
“Aku mau ngajak kamu ke restaurant yang baru buka seminggu yang lalu. Bagus banget tempatnya, ya, hitung-hitung sebagai tanda terima kasih aku,” kata Dinda. Ervin berpikir keras bagaimana cara untuk menolak ajakan Dinda.
“Aku ada janji sama Elina mau pulang bareng,” kata Ervin sembari mencangkup tangan di depan dadanya sebagai permintaan maaf.
“Sebentar saja. Apa kamu nggak bisa?” Dinda tetap memaksa membuat Ervin tidak nyaman. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ada pesan dari Elina yang mengatakan bahwa dia bersama temannya pergi keluar dan meminta Ervin untuk tidak menunggunya. Pesan kedua masuk berisi permintaan Elina untuk langsung bertemu di rumah Tristan.
Ervin semakin bingung. Party dimulai jam 7 malam sedangkan sekarang masih pukul 2 siang. Ervin bisa bosan kalau di rumah Tristan. Rumah itu besar, tapi sedikit sepi. Ia juga tidak yakin Bagas ada di rumah.
“Gimana, Vin, mau nggak?” tanya Dinda.
“Berdua saja?” Ervin kembali bertanya sembari berpikir mencari celah untuk menolak.
“Iya, berdua saja. Restonya dekat kok, kalau kamu mau kita jalan kaki saja.” Cukup lama Ervin membuat pertimbangan sampai akhirnya ia setuju. Ervin menerima ajakan Dinda. Seperti yang gadis itu katakan kalau letak restaurant itu tidak terlalu jauh. Mereka berjalan kaki sambil berbincang ringan.
Ervin mulai nyaman bicara dengan Dinda. Setidaknya gadis itu tidak melakukan skinship padanya sehingga Ervin tidak risih.
“Rame banget, ya,” kata Dinda saat mereka sampai di depan restaurant. Perasaan Ervin sudah tidak enak. Ia ingin pulang saat itu juga, tapi ia tidak punya pilihan. Mereka duduk di tempat paling pojok. Ada satu meja dengan tiga kursi yang kosong.
Tidak menunggu lama seorang pelayan datang memberikan buku menu dan kertas order. Para pengunjung bisa menulis pesanan mereka sendiri. Dari sekian banyak makanan dan minuman Ervin hanya memesan kentang goreng dan es teh. Ia harus menyesuaikan dengan kondisi dompetnya saat ini. Dompetnya sedang mengalami musibah kekeringan. Terlebih nanti malam ia akan party dan makan banyak di rumah Tristan.
Ada uang lima puluhan dan dua puluh ribu. Sisanya uang receh pecahan lima ratus perak. Sungguh miris nasib dompetnya. Ervin coba duduk dengan tenang meski di kepalanya sedang menghitung berapa harga makanan yang ia pesan jika ditambah tax dan service. Ervin tidak mau malu karena tidak bisa membayar kentang dan es teh.
“Kamu tenang saja aku yang traktir,” kata Dinda setelah pelayan pergi.
Kenapa nggak bilang dari tadi kalau mau traktir. Tadi bisa sekalian beli makan siang, batin Ervin menahan jengkel. Ia tetap tersenyum walau hatinya ingin berteriak pada Dinda.
“Kamu benar pacaran sama Elina?” tanya Dinda.
“Iya, kami pacaran selama dua tahun.”
“Oh, terus kapan putusnya?” tanya Dinda membuat Ervin melotot. Gadis ini terang-terangan minta Ervin mengakhiri hubungannya dengan Elina.
“Maksudnya?” Dinda yang ditanya hanya tertawa. Ini tidak lucu, tapi Ervin berusaha tetap diam.
“Aduh, kamu anggap serius, ya? Maaf, aku cuma bercanda. Semoga hubungan kalian awet,” kata Dinda. Ervin mengusap dadanya untuk meredakan amarah. Hampir saja dia berkata kasar pada gadis itu.
“Kamu sama Elina kenal di mana?” tanya Dinda lagi. Ervin merasa sedang di-interview calon mertua.
“Kenal di Ospek.” Ervin menjawab singkat. Sebuah pesan dari Elina kembali masuk. Gadis itu bertanya di mana Ervin saat ini. Dengan santainya Ervin membalas bahwa dia ada di kampus sedang bersama temannya mengerjakan tugas. Sudah tidak terhitung berapa kali ia berbohong pada istrinya.
“Cie, cinlok, ya. Aku ketinggalan banyak berita tentang hubungan kalian,” sahut Dinda. Ervin menatapnya sejenak sebelum beralih lagi pada ponsel yang terus bergetar. Elina terus mengirimnya pesan meminta bertemu di rumah Tristan. Kesal karena gadis itu mengirim ulang pesan sebelumnya membuat Ervin mensenyapkan mode ponselnya.
“Kamu bukan wartawan jadi buat apa tahu hubungan aku sama Elina? Nggak bakalan ngaruh sama nilai kamu.” Minuman mereka tiba. Ervin memperhatikan es tehnya di atas meja. Berbeda dengan minuman Dinda yang ada toping es krimnya.
Mereka terus berbincang ringan sampai akhirnya makanan mereka tiba. Ervin merasa bahwa dia hanya menonton Dinda makan dengan lahap.
***
Elina meremas kuat ponsel di tangannya. Ia tidak menyangka Ervin bisa berbohong. Ia sudah melihat Ervin dan Dinda masuk ke restaurant yang ia kunjungi dengan Varen. Saat Elina dan Varen akan pergi, tanpa sengaja Varen melihat Ervin dan Dinda. Elina tidak ingin berburuk sangka pada suaminya.
Ia kemudian mengirim pesan pada Ervin tentang keberadaan pria itu. Elina kecewa karena Ervin telah berbohong.
“Elina kamu nggak apa-apa?” tanya Varen khawatir. Mata Elina memerah siap untuk menangis, tapi gadis itu coba untuk tegar.
“Mungkin itu teman sekelasnya. Kamu bisa antar aku pulang ke rumah papa?” tanya Elina.
Varen mengangguk. Ia segera menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Elina lebih suka melihat pemandangan di luar, meski pikirannya jauh memikirkan Ervin.
Mister kenapa bohong? batin Elina. Ervin yang jujur dan bertanggung jawab tidak pernah disangka membohonginya.