Elina sudah bosan menunggu suaminya yang tak kunjung datang. Semua temannya sudah pulang lima belas menit yang lalu sementara Elina masih menunggu Ervin di parkiran. Cuaca yang panas membuat Elina semakin tidak sabar merebahkan diri di kamar. Beberapa kali ia mengipas wajah dengan tangan untuk mengurangi rasa panasnya.
“Elina!” teriakan itu membuat ia menoleh. Varen berlari dari kejauhan mengampirinya.
“Kamu mau pulang sama aku, gak? Cuaca panas banget, gak bagus kalau naik motor,” kata Varen membuat Elina menatap motor merah milik Ervin. Varen benar, kalau dia naik motor di siang hari kulitnya bisa gosong. Gadis itu terdiam sejenak lalu menggeleng.
“Aku tunggu Kak Ervin saja,” jawabnya.
“Tapi Elina, kamu akan kepanasan. Kalau kamu sakit bagaimana? Pulang sama aku saja, ya.” Varen masih berusaha membujuk. Namun, belum sempat Elina menjawab suara Ervin terdengar dari belakang Varen.
“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan istri aku,” kata Ervin membuat Varen menoleh. Ervin berdiri di samping Elina lalu menggenggam lembut tangan istrinya. Mata Veran bergulir menatap tangan Ervin dan Elina saling bertautan. Ada rasa cemburu karena Ervin dengan leluasa menggenggam tangan Elina tanpa penolakan. Ervin tersenyum membuat Elina ikut tersenyum.
“Aku akan melindugi istriku, kamu tidak perlu khawatir berlebihan. Elina tanggung jawab aku.”
Varen menatap Ervin dan Elina bergantian. “Oh, baiklah. Mungkin lain kali saja. Elina aku duluan.”
Varen lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah Varen berjarak cukup jauh Elina segera melepaskan tangannya dari genggaman Ervin.
“Kenapa, El?” tanya Ervin heran. Elina melipat tangannya di depan d**a menatap Ervin tajam.
“Kenapa Mister lama sekali? Chat gak dibalas, telepon gak diangkat, aku sampai bosan nunggu di sini,” ujar Elina mengeluarkan keluhannya. Ervin mengusap kepala gadis itu berulang kali untuk meredakan kemarahan istrinya.
“Maaf, tadi Pak Supra ngasih tugas banyak banget. Kamu tahu sendiri bagaimana galaknya beliau.” Ervin mendekatkan bibirnya pada telinga Elina.
“Galaknya kayak singa perjaka lapuk,” bisik Ervin membuat Elina menahan tawanya.
“Ish, gak boleh bilang gitu. Nanti kualat baru tahu rasa,” sahut Elina.
“Cuma bercanda biar kamu senyum.” Ervin mencubit pipi Elina membuat gadis itu meringis lalu memukul tangannya.
“Mister ayo pulang,” rengek Elina setelah Ervin melepaskan cubitan di pipinya. Ervin segera mengeluarkan jaket dari dalam tasnya lalu memakaikannya pada Elina.
“Terus Mister pakai apa?” tanya Elina.
“Gak apa-apa, buat kamu saja. Aku ini cowok kalau kulitnya coklat terlihat semakin seksi dan maco,” kata Ervin membuat Elina menggeleng heran denga rasa percaya dirinya. Ervin segera memakaikan Elina helm. Dengan senang hati gadis itu naik ke motor lalu memeluk pinggang suaminya. Ervin segera memacu motornya keluar dari area kampus yang luasnya berhektar-hektar.
***
Hari pernikahan Bagus adalah hari yang ditunggu-tunggu Elina. Ia sudah tidak sabar melihat kakak sulungnya bersanding dengan perempuan. Elina sempat takut dengan rumor kalau adiknya nikah duluan maka kakaknya akan sulit mendapat jodoh. Atau bahkan tidak akan menikah. Beruntung rumor itu hanya isapan jembol belaka, sekarang Bagus akan menikah.
“Elina sudah selesai atau belum?” teriak Ervin dari ruang tv. Ia sedang memakai jas dan sepatu pantovelnya. Di hari pernikahan Bagus, ia tidak mau terlambat.
“Mister bantuin resleting gaunnya,” sahut Elina dari kamar. Ervin bergegas menghampiri istrinya di kamar. Gadis itu terlihat kesusahan menarik resleting gaun yang ada di belakang.
“Sini aku bantu biar cepat.” Ervin menarik resleting gaun Elina . Gadis itu berbalik menampakkan wajah cantiknya yang dipoles make-up. Ervin mematung menatap Elina yang sangat menawan di matanya.
“Terima kasih Mister.” Elina berjinjit lalu mencium pipi Ervin kilat. Gadis itu langsung menyambar tas merah dan hadiah yang ada di atas meja kemudian keluar meninggalkan Ervin yang sedang menetralkan degup jantungnya.
“Untung istri bukan pacar,” gumam Ervin lalu menyusul Elina ke depan.
“Mister kenapa wajahnya merah?” tanya Elina saat Ervin duduk di sampingnya. Taksi yang mereka sewa melaju meninggalkan rumah menuju lokasi upacara.
“Biasa saja.” Ervin memalingkan wajahnya ke jendela. Sampai sekarang Ervin masih canggung saat Elina mendekatinya. Seperti remaja yang baru mengenal cinta. Malu-malu kucing.
“Mister,” panggil Elina membuat Ervin menoleh. Gadis itu dengan cepat mencubit pipi Ervin sampai pria itu meringis kesakitan.
“Elina sakit,” teriak Ervin melepas tangan istrinya dari pipi. Elina yang dimarah hanya mengulum senyum melihat Ervin kesal. Entah kenapa ia suka sekali mengganggu pria itu akhir-akhir ini. Elina merebahkan kepalanya di pundak Ervin.
“Mister apa pun yang terjadi jangan tinggalin aku, ya.” Elina mengacungi kelingkingnya lalu Ervin menautkan kelingking mereka.
“Iya, aku janji tidak akan ninggalin kamu. Ke mana pun kamu pergi aku akan ada di sisimu, Elina.”
Ervin dan Elina menikmati perjalanan mereka menuju tempat acara. Elina yang cerewet terus saja bertanya pada Ervin hal-hal yang tidak penting. Tidak jarang Ervin mendapat cubitan mesra dari istrinya. Mata Ervin menangkap benda kecil yang asing baginya. Tas baru. Ia yakin tas merah itu adalah tas baru Elina.
“Tasnya bagus, ya, El. Warna merah,” kata Ervin. Elina menegakkan tubuhnya sembari menyembunyikan tas itu dari pandangan Ervin saat mereka baru tiba di rumah.
“Itu tas lama,” gumam Elina dengan suara sangat kecil.
“Tas lama tapi masih ada labelnya.” Elina menggigit bibir bawahnya tidak berkomentar. Ia rasa Ervin sudah mencurigai tasnya. Kepala Elina tertunduk. Ia sudah tertangkap basah memakai tas baru, mungkin sebentar lagi Elina akan ketahuan memakai kartu kredit untuk membeli tas.
Apa yang harus aku katakan nanti?
“Coba aku lihat tas lama kamu.” Ervin mendekat, tapi Elina segera menjauh.
“Jangan dipegang Mister, tasnya rapuh, kalau dipegang nanti rusak. Mister gak mau beliin aku tas,’kan?” Elina mencoba segala cara agar Ervin tidak memeriksa tasnya. Kecurigaan Ervin semakin meningkat, tapi ia tahu akan kalah dari Elina. Menunggu saat yang tepat adalah keputusan yang baik.
“Ya, sudah aku ke kamar dulu.” Kata Ervin berlalu meninggalkan Selena. Gadis itu menghela napas pelan kemudian berlari masuk mengunci pintu kamarnya. Selena harus menyembunyikan tas barunya dan menghilangkan bukti berupa chat transaksinya pada Naura.
“Huuh, sulit banget punya suami pelit,” gumamnya lalu rebahan di tempat tidur.
**
Acara pernikahan berjalan lancar. Ervin terlihat sedikit kaku mengetahui keluarga besar Elina yang jumlahnya lebih banyak dari yang ia kira. Pernikahannya dengan Elina dulu berlangsung sederhana dan tertutup, tidak semewah acara pernikahan Bagus wajar saja ada beberapa keluarga jauh istrinya yang menganggap mereka pacaran.
“Mister mau makan?” tanya Elina saat mereka duduk terpisah dari anggota keluarga lain. Ervin benar-benar tidak menikmati pestanya. Beruntung Elina memaksa untuk membeli baju baru sehingga harga dirinya bisa terselamatkan.
“El, aku mau pulang,” kata Ervin membuat Elina terdiam. Baru pertama kali ia melihat Ervin bersikap seperti anak kecil.
“Mister sehat? Kita makan dulu, ya, baru pulang,” kata Elina. Ervin menggeleng menolak permintaan istrinya.
“Ya, sudah Mister jangan makan biar aku saja yang makan,” kata Elina. Gadis itu menaikkan tanganya saat melihat pelayan yang melintas. Elina meminta agar pelayan itu mengantarkan dua porsi makanan ke mejanya. Tidak ada penolakan karena Elina sangat dihormati. Tiba-tiba seorang wanita dewasa datang menyapa.
“Elina sayang, lama tidak bertemu, ya.” Wanita itu memeluk Elina yang masih duduk di tempatnya. Ervin menatapnya bergantian. Ia tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya, apa mungkin wanita itu salah satu keluarga Elina?
“Tante Riska apa kabar?” tanya Elina setelah pelukan mereka terurai. Wanita yang dipanggil Tante Riska itu duduk di samping Elina. Wajah cantiknya tersenyum cerah membuat Ervin curiga ada sesuatu yang ingin disampaikan wanita itu.
“Baik. Kamu makin cantik saja Elina. Tante jadi pengen jadiin kamu mantu,” ucapnya.
Ervin yang sudah menduga keinginan terselumbung itu hanya memutar bola matanya. Ingin sekali ia memamerkan cincin pernikahannya di saat seperti ini, tetapi ia dan Elina sepakat tidak memakainya. Benda sakral itu harus mereka simpan di lemari pakaian.
“Tante bisa saja,” sahut Elina sembari melirik pada Ervin. Melihat wajah datar suaminya membuat Elina khawatir. Ervin hanya menatap kedua orang itu tanpa mengganggu sedikit pun.
“Kamu masih ingat Gavin, ' kan? Sekarang dia sudah bekerja di perusahaan besar sebagai direktur. Pekerjaannya sudah mapan, dan dia juga gak kalah ganteng dari pria di luar sana,” ucap Tante Riska membuat Elina tersenyum kaku. Jantung gadis itu berdebar kencang saat melihat tatapan Ervin semakin dingin. Tangannya bergetar berusaha menenangkan diri.
“I-iya, Tan. Aku masih ingat,”
Wanita itu terlihat senang. Senyumnya semakin merekah saat mendengar jawaban Elina. Merasa pendekatannya semakin mulus Tante Riska pun semakin gencar menjodoh-jodohkan Elina dengan Gavin―anaknya.
“Kalian itu cocok banget. Kamu masih kuliah,kan Elina?” tanya Tante Riska membuat kepala Elina mengangguk otomatis.
“Kalian bisa pacaran dulu, nanti kalau kamu sudah lulus kuliah kalian bisa―”
“Tante,” potong Elina. Diliriknya Ervin yang sejak tadi terlihat jengkel. Wajahnya sudah memerah membuat Elina takut Ervin tersingung atau marah.
“Saya sudah punya pendamping,” kata Elina membuat senyum Tante Riska memudar. Elina beralih menatap Ervin membuat Riska mengikuti arah pandangnya. Dilihatnya ada seorang pria duduk di meja yang sama dengan mereka. Riska tidak menyadari keberadaan Ervin sejak tadi.
“Dia siapa El?” ucapnya.
“Dia su―”
“Pacar kamu?” tanya Tante Riska lagi. Elina menatap Ervin meminta bantuan untuk menjelaskan pada Tante Riska.
“Iya, saya pacarnya Elina. Nama saya Ervin Saputra, senang bertemu dengan Anda,” kata Ervin sopan. Ia tersenyum membuat Elina lega. Ervin menjulurkan tangannya, tapi tidak disambut dengan baik. Merasa diacuhkan Ervin menarik kembali tangannya.
“Kalian pacarannya sudah lama?” tanya Tante Riska kembali menatap Elina. Entah kenapa ibu-ibu yang satu ini terlihat tidak menyukai Ervin.
“Hampir dua tahun,” jawab Elina membuat Tante Riska tersenyum lagi.
“Biasanya pasangan muda di tahun kedua dan ketiga mulai bosan. Perjalanan kalian masih panjang, El, masih bisa memilih. Kalau sudah ada yang tampan dan mapan kenapa memilih yang belum jelas masa depannya?” kata Riska membuat Ervin meradang. Ia mengepalkan tangannya erat-erat. Wajah Ervin semakin memerah, ia merasa direndahkan.
“Aku percaya kami bisa mengatasinya bersama. Ervin pria yang bertanggung jawab dan memilki komitmen. Dia pria yang pantas untuk aku. Dia juga mengajari banyak hal yang selama ini tidak pernah aku lakukan,” ucap Elina membuat Tante Riksa tersenyum tipis.
“Semoga hubungan kalian langgeng, ya. Tante pergi dulu, kapan-kapan kamu harus bertemu dengan Gavin. Tante yakin kamu pasti suka.”
Tante Riska pergi dari meja itu meninggalkan Elina dan Ervin. Tatapan Elina mengarah pada Ervin yang kini memalingkan wajahnya. Elina meraih tangan Ervin lalu mengusapnya lembut.
“Kenapa Mister bilang kita pacaran?” tanya Elina. Ervin menghela napas lalu menatap istrinya lekat.
“Banyak yang belum tahu pernikahan kita, biarkan saja mereka biacara apa,” sahut Ervin.