“Kak Bagus mau nikah,” teriak Elina sambil meloncat-loncat, seketika Ervin memejamkan matanya melihat dua buah aset berharga milik istrinya ikut bergerak saat Elina meloncat.
‘Tuhan tolong hambamu yang masih polos ini dari godaan di depan hamba.’ Ervin terus membatin sampai Elina berhenti meloncat. Ia pun baru berani membuka mata ketika istrinya memperbaiki sampul handuk yang hampir lepas. Ervin tertegun mendengar kabar dari istrinya. Kakak pertama Elina akan menikah? Dengan siapa? Maksudnya Ervin tidak pernah melihat calon istri Bagus. Atau jangan-jangan mereka sudah berpacaran saat Bagus di Singapura dulu?
“Mister nggak bahagia?” tanya Elina saat Ervin hanya diam mematung dengan wajah kebingungan.
“Aku bahagia kok. Akhirnya kakak kamu nikah juga.”
“Tapi bahagianya kok gitu? Nggak ikhlas, pelit ekspresi, senyumnya juga pelit,” kata Elina membuat Ervin kesal.
“Aku bahagia Elina. Lihat wajahku penuh dengan senyum.” Ervin tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya. Kalau belum senyum lebar Elina tidak akan berhenti bertanya-tanya.
“Hehe, acaranya seminggu lagi, kita harus datang. Mister, aku mandi dulu, ya. Mister jangan ngintip nanti matanya jelalatan.”
Ervin mengangguk masih dengan senyum lebarnya sampai Elina keluar dari dapur. Setelah Elina menghilang dari pandangan, Ervin pun kembali menetralkan ekspresinya.
“Pura-pura tersenyum ternyata melelahkan.” Ervin melemaskan otot wajahnya yang kaku karena tersenyum terlalu lebar.
Elina kembali lagi membuat Ervin berpura-pura tidak melihat.
“Mister,” panggil Elina membuat Ervin menoleh. Satu kecupan di bibir sukses membuat Ervin terpaku sampai Elina pergi pun Ervin belum bisa bergerak.
***
Semenjak berita pernikahan Bagus sampai di telinga Elina kehidupan tenang Ervin mulai berubah. Bukan hanya di rumah, tetapi juga di kampus. Elina tidak berhenti mengirimkan foto kebaya. Walau tidak ada pesan yang minta untuk dibelikan, tapi Ervin tahu maksud tersembunyi dari gambar-gambar itu. Ervin sengaja tidak menanggapinya dan pura-pura tidak peka.
“Semua tugas dikumpulkan hari Jumat depan. Ingat, disiplin,” ujar Pak Supra sembari menurunkan kacamatanya untuk melihat wajah-wajah tegang para mahasiswa. Dosen yang satu ini sangat peka pada sekitar. Satu saja mahasiswa yang menoleh ke arah lain selama pelajarannya maka tugas akan bertambah.
Ponsel Ervin yang ada di atas meja bergetar. Isya menyenggol lengannya tanpa mengalihkan perhatian dari dosen yang ada di depan. Ervin tahu maksud teman sebangkunya. Dengan gerakan pelan Ervin memindahkan ponselnya ke dalam tas.
“Ervin,” panggil Pak Supra. Ervin berdiri tegap membuat ia urung memindahkan ponselnya. Panggilan Pak Supra yang tiba-tiba membuatnya kaget setengah mati.
“Saya, Pak.” Ervin nampak tegang. Seisi kelas menatap ia yang sedang gugup.
“Tolong kamu kumpulkan tugas teman-temanmu Jumat depan. Semua harus sudah ada di atas meja saya. Catat jam dan tanggal mereka mengumpulkan,” kata Pak Supra membuat Ervin mengembang kempiskan hidungnya. Ia sudah menduga akan mendapat tugas yang berat setiap kali Pak Supra mengajar.
“Harus ada waktunya, Pak?”
“Iya dong, saya tidak mau ada yang terlambat walau satu menit. Saya tahu kamu jujur. Ingat, sekali saja kamu membantu temanmu nilai kamu saya potong.” Ervin menelan ludahnya susah payah.
‘Yang salah siapa yang kena siapa’, rutuknya dalam hati.
“Siap, Pak.” Ervin kembali duduk dengan segala beban berat di pundaknya. Pelajaran telah usai. Ervin segera memasukkan bukunya ke dalam tas. Isya yang sejak tadi sudah selesai membereskan buku hanya menatap Ervin sembari menopang kepalanya dengan satu tangan.
Ervin menatap Isya dengan satu alis naik. “Kenapa lihat aku kayak gitu?” tanya Ervin sembari menutup tasnya.
“Kamu makin ganteng, Vin. Sayang sudah punya pasangan,” kata Isya membuat Ervin menoleh.
“Aku memang ganteng kamunya yang baru sadar.” Ervin menyampirkan tas selempangnya ke bahu. Ia menatap Isya yang ikut berdiri. Mereka jalan bersama keluar kelas. Tiba-tiba langkah Ervin dan Isya berhenti saat melihat Elina dan dua sahabatnya menunggu di depan kelas.
“Hai, Kak Ervin,” sapa Naura dan Gina bersamaan. Kedua gadis itu melambaikan tangannya. Isya menatap Ervin dan Elina bergantian.
“Mister, aku mau ngomong sesuatu.” Elina beralih menggandeng tangan Ervin, tapi Ervin melepaskannya.
“Aku ada tugas dengan Isya. Kami harus ke perpus sekarang, ya’kan, Sya?” tanya Ervin. Matanya berkedip beberapa kali memberi isyarat pada Isya untuk meng-iya’kan.
“Iya, benar. Tugasnya Pak Supra, kalau gak dibuat sekarang takutnya lupa,” sahut Isya.
“Aku mau bicara sebentar saja.” Elina kembali memelas membuat Ervin tidak berdaya. Ia hanya pasrah ketika Elina membawanya ke tempat yang lebih sepi.
“Kamu mau bicara apa? Ingat ini masih di kampus, kita tidak boleh berduaan terus,” kata Ervin.
“Aku mau bicara sesuatu yang penting. Ini demi harga diri dan martabat keluarga kita.” Elina mendekati Ervin dengan tatapan tajam. Ervin mundur beberapa langkah sampai akhirnya membentur tembok. Elina mengurung tubuh Ervin di kedua sisi dengan tangannya membuat pria itu terdiam.
“Ini juga menyangkut harga diri kamu sebagai suami yang bertanggung jawab, incredible dan terpercaya,” kata Elina. Pikiran Ervin sudah melayang ke mana-mana. Ia tidak bisa fokus pada ucapan istrinya.
“Maksudnya?” Otak cerdas Ervin pun tidak mampu memahami maksud ucapan istrinya.
Elina semakin mendekatkan tubuhnya pada Ervin membuat pria itu menahan napas. Selama menikah hubungan keduanya lebih layak dikatakan orang pacaran dari pada suami istri. Ervin masih canggung ketika Elina bersikap agresif yang membuatnya harus menjernihkan pikirannya.
“Aku nggak punya kebaya, aku yakin Mister tidak punya baju buat kondangan, jadi―Elina merapikan kemeja Ervin― kita beli sepasang, ya. Gambar-gambarnya sudah aku kirim tadi. Mister tinggal pilih saja,” kata Elina lebih lembut dan lebih manja dari sebelumnya.
Ervin menghembuskan napas panjangnya. Kali ini ia tidak bisa mengelak kalau dirinya memang tidak memiliki pakaian yang pantas untuk menghadiri resepsi atau acara mewah.
“Baiklah, nanti aku pilih mana yang bagus.”
Elina berjingkrak senang karena Ervin akhirnya mau mengeluarkan uangnya untuk membeli pakaian. Tanpa sadar Elina mencium kilat pipi suaminya sebelum pergi. Ervin mematung mengusap pipinya yang basah dicium Elina. Perlahan ia meraba dadanya merasakan debaran yang menggila.
“Kenapa aku masih gugup?”
**
Sepulang sekolah, Ervin berniat mengantar Elina ke rumah. Namun, sepanjang perjalanan Elina memintanya singgah ke mall untuk membeli sepatu. Ervin yang awalnya mengabaikan permintaan Elina terpaksa mengikuti kemauan gadis itu setelah Elina mengancam tidak mau bicara.
“Sudah beli yang ini saja bagus kok,” kata Ervin merayu Elina. Ia berusaha keras supaya istrinya mau membeli stiletto warna merah polos yang harganya ramah di kantong. Harga sepatu kaca yang Elina suka hampir menyentuh jutaan, untuk itu Ervin membujuk istrinya membeli sepatu yang lebih murah.
“Tapi ini bagus, Mister,” kata Elina yang enggan meletakkan sepatu yang ia inginkan. Ervin mengusap leher belakangnya mencari cara supaya istrinya menurut. Tiba-tiba sebuah ide muncul membuat Ervin langsung berjongkok di depan Elina.
“Mister mau apa?” tanya Elina saat Ervin melepaskan flatshoes miliknya lalu mengenakan heels merah pada kaki sang istri. Ervin berdiri dengan senyum merekah. Elina memainkan kakinya, merasakan kenyamanan stiletto yang Ervin pilih.
“Bagus banget di kaki kamu, El, kelihatan bersih, bercahaya dan bersinar. Kamu terlihat lebih cantik, kayak bidadari,” puji Ervin. Sontak semua mata menatap mereka membuat Ervin malu. Rasanya ia ingin pergi dari toko itu sesegera mungkin.
“Aku mau jadi Cinderella bukan bidadari. Bidadari adanya di surga, Mister mau aku ke surga?” Elina menatap Ervin dengan wajah cemberutnya. Cara paling ampuh―setidaknya sampai saat ini― membuat Ervin luluh adalah wajah cemberut Elina. Ia tahu Ervin tidak bisa melihat perempuan bersedih.
“El dengarkan aku―memegang dagu Elina― di mata aku kamu lebih cantik dari Cinderalla di negeri dongeng. Apa pun yang kamu pakai tetap cantik di mata aku. Gak ada yang mengalahkan kamu, bahkan kalau kamu mengenakan sandal pun masih terlihat cantik. Kamu selalu istimewa dan semua orang tahu itu,” kata Ervin. Elina tersipu mendengar pujian suaminya. Ia cukup kaget Ervin bisa bicara romantis padanya dengan panjang lebar.
Hal romantis yang Ervin katakan adalah aku cinta kamu. Hanya itu tidak ada lagi, tapi sekarang dengan mudahnya pria itu memberi pujian dan rayuan yang membuat hatinya berdebar-debar. Satu tahun lebih usia pernikahan mereka dan Elina merasa jatuh cinta untuk kesekian kalinya pada Ervin.
“Mister, aku malu dilihat orang.” Elina menatap sekitarnya dengan wajah memerah. Kalau boleh jujur Ervin sudah malu sejak tadi. Bukan malu karena aksinya memakaikan Elina sepatu, tetapi merayu Elina di depan umum. Mereka pasti mendengar dengan jelas apa yang Ervin katakan. Terdengar seperti buaya darat yang sedang beraksi.
“Jadi kamu mau beli yang itu?” Ervin menunjuk ke bawah membuat Elina menundukkan kepalanya.
“Cantik juga. Aku ambil ini saja,” kata Elina membuat Ervin bernapas lega. Perjuangannya tidak sia-sia, akhirnya Elina mau memilih sepatu merah itu. Setidaknya hari ini Ervin bisa mencegah kartu kredit ayah mertuanya dari kebobolan.
“Tapi mau itu juga,” tunjuk Elina pada sepatu tadi.
“El, satu saja,ya.” Elina menghela napas dalam lalu mengangguk.
Setelah keluar dari toko Elina tidak sedikit pun melepaskan tangan Ervin. Hatinya masih berbunga-bunga karena Ervin merayu dan memujinya tadi. Setelah dari mall, Ervin memb awa Elina pulang. Selama perjalanan istrinya lebih banyak diam sembari memeluk pinggang Ervin erat. Motor Ervin akhirnya berhenti di halaman rumah. Elina segera turun lalu melepaskan helm .
“Mister mau dimasakin apa hari ini?” kata Elina membuat Ervin sedikit kaget. Tidak biasanya Elina menawarkan diri untuk memasak, biasanya Ervin sendirilah yang bicara seperti itu.
“Hm… apa ya? Terserah kamu saja deh, aku pasti suka,” kata Ervin seraya memperbaiki rambut Elina yang berantakan. Elina yang diperlakukan dengan manis hanya bisa tersenyum malu. Entah mengapa perasaannya melayang sepanjang hari karena perlakuan Ervin.
“Aku buatin lalapan, ya,” kata Elina.
“Boleh, tapi sambalnya jangan kepedasan.” Elina mengacungi jempolnya lalu berlari masuk ke rumah. Ervin menatap istrinya yang kini sudah menghilang dari pandangan.
“Tumben aku merasa punya istri. Biasanya kalau disuruh masak alasannya dari Sabang sampai Merauke. Sambung menyambung gak ada habisnya,” gumam Ervin lalu menyusul istrinya.
Ervin mengintip Elina dari pintu dapur. Melihat istrinya sibuk memasak membuat Ervin senang bukan main. Elina berubah jauh dari saat mereka kenal. Ervin sangat bangga pada istrinya yang mau kerja keras menjadi seorang istri. Ervin tahu tidak mudah bagi Elina untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar terlebih Elina anak yang manja.
“Beruntung banget aku punya istri seperti Elina.” Ervin lalu pergi ke kamarnya. Setelah membersihkan bersih-bersih rumah dan mandi, Ervin akhirnya bisa makan. Elina sudah menunggunya di meja makan. Ervin tertegun melihat hidangan di atas meja.
“Ini lalapan buatan kamu?” tanya Ervin.
“Gak semua buatan aku. Ayamnya aku beli di warung depan, terus sayurnya aku potong sendiri. Rapikan potongan aku? Aku potong kol-nya pakai penggaris biar lurus. Terus sambelnya sudah aku beli kemarin, sisanya ada di kulkas. Kalau Mister mau nambah bisa kok,” jelas Elina tanpa jeda. Ia benar-benar istri pintar.
‘Beneran masaknya lama, potong sayur saja pakai penggaris,’ batin Ervin. Ia berusaha memasang ekspresi bahagia di depan istrinya. Ervin tidak banyak protes. Ia pikir asal makanannya bisa diterima di mulut dan perut akan ia habiskan.
“Istri terbaik,” puji Ervin membuat pipi Elina memerah.