Demi Istri

1582 Words
Waktu sudah menunjuk pukul 11, perut Elina tiba-tiba berbunyi. Masih ada sisa waktu lima belas menit sebelum pelajaran berakhir. “Gina, aku lapar,” bisik Elina. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi. “Gue nggak bawa makanan. Lebih baik lo ke kantin,” jawab Gina dengan suara kecil. Dosen menerangkan materi di depan membuat Elina tidak konsentrasi. Melihat temannya tak kunjung keluar membuat Gina akhirnya berdiri. Sang dosen dan teman-temannya kompak menatap Gina. “Bu, maaf teman saya kebelet mau ke kamar kecil, boleh permisi sebentar?” tanya Gina. Kini tatapan semua orang tertuju pada Elina yang duduk di sampingnya. Ini yang Elina tidak suka kalau izin keluar kelas. “Oh, siapa? Elina? Silakan keluar, tapi jangan lama-lama,” kata ibu Dosen. Gina menarik tangan Elina untuk segera pergi. Namun ibu dosen mencegatnya. “Yang kebelet Elina, kenapa kamu ikut?” Gina memamerkan senyum lebarnya. “Saya jagain pintu, Bu, biar gak ada yang masuk. Permisi, Bu.” Elina hanya menundukkan kepalanya pada sang dosen sebelum keluar. Perasaan lega menghampiri Elina setelah keluar dari kelas. Mereka bergegas ke kantin lalu memesan makanan. “Kalau ketahuan bagaimana?” tanya Elina. Ia masih takut kalau tiba-tiba dosen mereka ada di kantin memergoki mereka makan. “Nggak apa-apa. Demi dede yang ada di perut lo. Dosennya pasti ngerti kok kalau kita jelasin secara personal.” Makanan yang mereka pesan akhirnya datang. Elina memesan dua porsi bakso lobster. Ini pertama kalinya ia memesan bakso di kantin sekolah. Tanpa banyak bicara Elina segera menyantap makan siangnya. Gina yang melihat Elina makan lahap dengan porsi yang besar hanya bisa terdiam. Ia yakin setelah ini berat badan Elina naik drastis. “Elina,” panggil Varen. Gina dan Elina sama-sama menoleh ke sumber suara. Varen berjalan mendekatinya dengan senyum sumbringah. Elina yang sedang makan segera mengunyah manakan yang ada di mulutnya. Jujur saja Elina tidak ingin melihat Varen untuk saat ini. Gadis itu mendongkak dengan mulut penuh makanan. Varen duduk di samping Elina membuat Elina menelan makanannya dengan cepat. Gina menatap keduanya bergantian. “Tumben makan bakso,” kata Varen setelah meletakkan tas di atas meja. Gina yang sejak tadi duduk di depan Elina merasa dikucilkan.Varen bahkan tidak menyapanya. “Lagi pengen aja. Kamu nggak ada kelas?” tanya Elina.Varen tiba-tiba mengusap bibir Elina dengan tisu. Gina yang melihat sikap Varen bisa merasakan bahwa pria itu masih mengharapkan cinta sahabatnya. “Gue kayak obat nyamuk deh,” ujar Gina membuat Varen mengalihkan tatapannya. “Gina, kamu di sini? Sejak kapan?” tanya Varen. Gina sudah menduga kalau temannya ini tidak sadar dirinya ada di sina sejak tadi. “Makanya kalau punya mata jangan cuma buat lihat Elina, lihat juga yang lain,” sindir Gina. Tahu akan kemarahan sahabatnya membuat Varen minta maaf. Elina tidak peduli dengan dua temannya yang beradu mulut. Ia lebih mementingkan makanannya yang hampir dingin. Sesekali Elina bergumam untuk menengahi dua sahabatnya. “Aku kenyang sekali.” Elina mengusap perutnya setelah selesai makan. Varen tiba-tiba mencubit pipinya membuat gadis itu mengaduh. “Kamu gendutan, ya, sekarang, tapi tetap cantik,” kata Varen membuat wajah Elina merah. Akhir-akhir ini ia senang ada orang yang memujinya. Gina memutar bola matanya saat Varen mulai merayu Elina. Ia pikir teman prianya ini sudah pindah ke lain hati. Namun, ternyata masih di satu hati. “Enak banget kalau ada yang suka, jadi pengen punya pacar,” gumam Gina membuat Elina menatapnya. Varen hanya terdiam menatap Elina lekat. Setelah beberapa hari ia tidak bertemu gadis itu ada rasa rindu yang ingin Varen obati. “Balik yuk, El. Entar kena marah Bu Dosen.” Gina segera berdiri membuat Elina mengikutinya. Varen menahan tangan Elina membuat langkah Gina ikut terhenti. “Nanti kamu ada acara nggak habis ngampus?” tanya Varen. Elina diam sejenak lalu menggeleng. “Mau jalan sebentar sama aku?” tanya Varen. Gina yang mendengar itu seketika senang. Kapan lagi ia bisa pergi dengan teman-temannya. “Aku ikut, ya. Pengen banget jalan kayak dulu. Ke mal, bioskop terus nongkrong di café sore-sore. Aku boleh ikut, ya, please.” Gina menangkupkan tangannya di depan wajah supaya Varen dan Elina mengizinkan dia ikut. “Boleh, bakalan seru kalau rame-rame. Ajak Naura dan Hendra juga pasti mereka mau,” usul Elina yang disetujui oleh Gina. Varen mengusap leher belakangnya lalu mengangguk lemah. “Entar aku kasih tau di group, ya. Bye Varen, kami duluan.” Gina langsung menyeret Elina kembali ke kelas.Mereka yakin pelajaran sudah selesai saat mereka tiba. *** Ervin terduduk lemas melihat coretan tinta merah dari dosen pembimbing di lembaran kertas. Tinta merah itu melingkar pada satu paragraph panjang yang lupa ia edit. Hanya masalah kecil, penggunaan kata depan ‘di’ pada salah satu kalimat membuat tugasnya dicoret. Selain itu ternyata terselip kata non baku yang lupa ia cari di kamus. Lebih parahnya lagi sang dosen bilang kalau paragrafnya terlalu panjang. Ervin akui paragraph itu lebih dari tujuh kalimat yang membuatnya terlihat ‘gemuk’. Sabtu kemarin sudah ia tandai dengan garis merah, tapi Ervin malah lupa mengoreksinya. Rasa kesal itu membuatnya malas pulang. Ervin harus memperbaikinya segera jika mau tanda tangan dosennya di lembar asistensi. “Hah, perbaiki lagi. Ervin jangan ceroboh. Ayo lebih teliti lagi,” ujarnya menyemangati diri. Ervin membuka laptopnya dan mulai sibuk dengan tugas. Tiba-tiba seorang perempuan duduk di sampingnya membuat fokus Ervin terbagi. Kelas sudah bubar beberapa menit lalu, tapi Dinda masih setia di dalam kelas bersamanya. “Ada apa Dinda?” tanya Ervin. Ia benar-benar tidak nyaman karena gadis itu duduk terlalu mepet. Ervin menggeser tempat duduknya. Namun, Dinda justru kembali mendekatinya. “Aku mau tanya dong, pusing banget mikirin abstrak. Susah banget,” keluh Dinda. “Abstrak itu penjelasan singkat apa yang mau kamu bahas. Abstrak itu memuat latar belakang, metode penelitian, tujuan, isi dan kesmipulan. Mudah kok buatnya asal kamu paham apa yang kamu buat dan tujuannya juga jelas,” terang Ervin. Dinda kembali menggeser duduknya lebih dekat. “Boleh lihat contoh punya kamu nggak?” Ervin yang sudah menyalakan laptop terpaksa memperlihatkan tugasnya. Ervin menjelaskan semua yang ditanya Dinda sampai tidak sadar Isya memperhatikannya dari luar kelas. “Ervin!” teriak Isya membuat Ervin mengalihkan perhatian dari kertas yang dibawanya. Belum selesai dengan Dinda, datang lagi Isya dengan wajah sembabnya. “Gue putus sama Bimo,” adu Isya sembari memeluk lengan Ervin. Melihat Ervin yang diam saja ketika dipeluk, Dinda pun melakukan hal yang sama. “Ervin nanti kita ngerjain tugasnya barengan , yuk. Biar aku paham.” Ervin menatap dua gadis di sampingnya yang tidak berhenti bicara seolah sedang mencari perhatian. “Mister!” teriakan Elinaberdiri. Elina menatap tajam pada Ervin. Di belakang istrinya ada Gina yang mengikuti. “Elina,” gumam Ervin lalu bergegas membereskan barang-barangnya. “Dia siapa Vin?” tanya Dinda. “Wanita masa depanku. Maaf teman-teman aku harus pergi.” Ervin bergegas menghampiri Elina. Tatapan istrinya tidak bersahabat membuat Ervin ingin kabur. Namun, Elina segera menarik tangannya menjauh dari ruang kelas. “Mister gak inget punya ‘deposito’ di sini?” tanya Elina sembari menunjuk perutnya. Ervin mengikuti arah telunjuk istrinya. “Inget dong masak lupa,’kan buatnya butuh kerja sama,” sahut Ervin. “Terus kenapa Mister dekat-dekat sama cewek lain.” “El, dengerin dulu penjelasan aku. Si Dinda lagi bingung cara bikin abstrak, terus si Isya lagi galau putus sama Bimo. “Kenapa mereka peluk-peluk Mister?” Tatapan Elina belum berubah membuat Ervin berpikir cara untuk meluluhkan hati sang istri. Ervin menatap sekitarnya yang mulai sepi. Hanya ada Gina yang menunggu tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Gina tahu kalau Elina butuh privasi sehingga ia menjaga jarak. “Sini ikut aku.” Ervin menarik tangan Elina ke belakang dinding ruang kelas agar Gina tidak melihatnya. Dengan satu tarikan Ervin berhasil memeluk pinggang istrinya dan mencium bibir Elina singkat. Gadis itu kaget akan keberanian Ervin menciumnya di tempat umum. “Jangan marah lagi mereka hanya teman,” ucap Ervin membuat Elina tanpa sadar mengangguk. “Mister,” panggil Elina manja. “Apa?” tanya Ervin. Sikap Elina mulai berubah membuat Ervin was-was. Pikirannya tertuju pada barang mahal atau makanan aneh yang sulit didapat. “Aku izin pergi sama teman-teman,ya. Pulangnya agak malam,” ujar Elina sembari mengusap d**a bidang suaminya. “Pulang jam berapa?” “Gak tahu, nanti aku hubungi kalau acaranya sudah selesai,” sahut Elina. “Ya sudah, tapi ingat jaga diri. Jangan makan sembarangan, jangan beli barang sembarangan,” nasihat Ervin. “Iya aku janji, tapi bagi duit,” ujar Elina sembari mengedipkan mata berkali-kali. Ervin menghela napas dalam sebelum mengambil dompetnya. Dengan gerakan pelan ia membuka dompet lalu menutupnya kembali. Sangat disayangkan uang itu akan keluar dari tempatnya. “Mister kenapa? Kok dompetnya ditutup lagi?” tanya Elina. Ervin memejamkan matanya belum siap menerima kenyataan kalau uangnya akan berpindah tangan. “Gak apa-apa.” Ervin kembali membuka dompet lalu mengeluarkan selembar uang. “Mister bercanda,ya? Lima ribu dapat apa? Uang jajanku waktu SD saja seratus ribu. Mister Pelit,” kata Elina sembari menatap uang yang Ervin berikan. “Cukup kok buat beli es rasa-rasa di warung, malah dapat gorengan lagi,” kata Ervin. Kening Elina mengkerut. “Aku belum pernah minum es seperti itu,” kata Elina membuat Ervin kembali sadar kalau istrinya anak sultan. “Ya sudah pakai ini saja. Ingat jangan boros,” kata Ervin sembari memberi kartu pada Elina. Gadis itu tampak senang lalu mencium pipi Ervin sekilas. Ervin hanya diam mengusap pipinya sembari melihat Elina pergi bersama Gina. “Tuhan aku serahkan kelangsungan hidupku sampai akhir bulan ini padamu,” ujar Ervin lalu menunduk menatap dompetnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD