Satu jam kemudian.
Setelah tiga puluh menit sebelumnya yang hanya dipakai untuk tidur kembali akhirnya Caroline telah segar juga setelah membersihkan seluruh badannya yang terasa lengket dan kotor. Dan sekarang wanita itu sudah rapi dengan style yang biasa sehari-hari di rumah.
Well, Caroline berencana hari ini tidak akan keluar dari rumah. Karena kejadian semalam dia jadi over terlebih juga tubuhnya dalam keadaan tidak baik sekarang.
"Sudah bangun."
Memasuki dapurnya Caroline disambut oleh sang adik.
"Masak apa?" tanya Caroline.
"Stake sederhana dari bahan tanpe ala Indonesia." Sahut Carles.
"Ohya. Kelihatannya lezat." ucap Caroline.
Carles terkekeh. "Tentu saja."
Beberapa menit kemudian hidangan tersaji. Caroline menatap lapar hidangan lezat di hadapannya.
"Eumm... Ini enak sekali. Carles, kau pintar sekali dalam urusan dapur!" Kata Caroline terus melahap makanannya.
Carles terkekeh. "Tentu saja masakanku enak. Bahkan kakakku saja kalah dengan cita rasa yang selalu aku hidangkan," katanya bermakna sindiran, tapi sedetik kemudian tawanya pecah saat melihat reaksi sang kakak yang tampak kesal.
***
"Ini." Alardo menyerahkan sebuah berkas pada Rachel yang langsung menerimanya.
"Apa informasi ini falid?" tanya Rachel serius.
"Tentu saja."
Rachel kemudian mulai membuka berkas di tangannya itu dan dengan serius mulai membaca dan melihat apa yang tertulis dan tergambar di kertas-kertas putih di tangannya itu.
"Matthew Group, Nicholas Matthew." Rachel membaca data yang tertera di selembar kertas tipis itu.
"Nicholas Matthew?"
"Yang aku ketahui Nicholas Matthew itu adalah seorang pemimpin dari Klan bernama Ulkarizi. Klan yang selama ini ditakuti dan berkuasa di LA. Tapi sosok dari pemimpin itu sendiri tidak diketahui wajahnya."
Rachel mengangguk mengerti mendengar penjelasan dari Alardo.
***
Malam harinya. Caroline yang sepulang bekerja datang ke rumah Rachel dengan tujuannya menginap—Menemani Putri menggemaskan dari sahabatnya.
Ya, Rachel merupakan single parent, lelaki yang menghamili Rachel dengan tidak pedulinya meninggalkan Rachel tanpa sedikit pun rasa bersalah.
"Aunty!!" Pekik bocah berusia 5 tahun dengan riang setelah beberapa detik lalu membukakan pintu.
Caroline tersenyum geli. "Kemana mamamu?" tanyanya.
"Mama bilang tidak akan pulang malam ini karena bersama papa Alar." ucap Raquel sendu.
"Wanita itu, tega-teganya meninggalkan anaknya sendiri. Raquel sendiri di sini—"
"Nona, siapa?" seruan seorang wanita terdengar sebelum Caroline menyelesaikan ucapannya. Kesenduan di wajah bocah cantik itu terganti dengan cengiran khas bocah.
"Ada Aunty Caro, bibi Rena!" teriak Raquel menyahut.
Caroline berdecak. "Katanya sendirian, tapi kenapa ada bibi Rena?" tanyanya berpura-pura berpikir.
"Cebelum mama telepon, bibi Rena datang untuk menemani Raquel Dan mama bilang tidak akan pulang malam ini karena bersama papa." ucap Raquel. Caroline mengangguk mengerti, dia tahu papa yang dimaksud bocah cantik di depannya itu.
Alardo Stevano, seorang CEO Stevano Grup, yang dari—kurang lebih dua tahun selalu mengejar cinta sahabatnya, tapi selalu tak ditanggapi. Caroline juga heran sendiri dengan Rachel, Alar pria baik, meski sedikit menyebalkan, meski pun tahu wanita yang dicintai sudah mempunyai anak tapi Alar masih tetap mengejarnya, bahkan sangat menyayangi Raquel.
***
Tepat pukul 08.15 PM.
Caroline membacakan sebuah dongeng pada Raquel yang masih terjaga di sandaran bahunya.
Ya, seperti ucapannya tadi, Caroline hari ini menginap di rumah sahabatnya, Rachel. Karena tidak nyaman dengan Bibi Wade yang sempat dilihatnya marah-marah, lebih baik dirinya menginap di tempat sahabatnya.
"Emm.... Aunty mau tanya?" Raquel tiba-tiba bersuara menghentikan dongengan Caroline. Bocah cantik itu terdiam sebentar, sebelum akhirnya sebuah pertanyaan keluar dari mulut mungilnya.
''Aunty tahu papa Raquel?''
Oh gosh! Caroline tidak bisa menjawab. Seharusnya Rachel yang mendapat pertanyaan itu dan Caroline juga memang tidak tahu ayah sebenarnya dari Raquel.
"Aunty tidak tahu, mungkin mama Rachel yang harus memberitahu." Caroline memberi jawaban.
Raquel terlihat mendesah sendu, lalu berkata. "Sudah, tapi Mama selalu tidak menjawab saat Raquel menanyakan papa." Jelasnya dengan bibir cemberut.
Caroline terdiam tidak menjawab, Rachel memang ada alasan menyembunyikan fakta tentang Ayah Raquel, terlebih sahabatnya itu sangat membenci kekasihnya yang dengan seenaknya meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, bahkan saat itu kekasih Rachel mengetahui Rachel tengah berbadan dua.
Dan dari mana Caroline tahu? Tentu saja dari mulut Rachel yang bercerita padanya.
"Aunty..."
"Hm?" Caroline menunduk menatap Raquel yang mendongak padanya.
"Teman-teman Raquel selalu membanggakan papanya yang selalu mereka anggap supel helo, tapi papa Raquel di mana? Papa Raquel tidak ada." ucap Raquel dengan lirih, dan Caroline ikut bersedih melihat kesedihan Raquel.
Raquel, meski usianya masih belia, bocah itu tergolong pintar untuk memancing instingnya yang tengah aktif-aktifnya, bertanya ini itu termasuk tentang ayahnya yang selalu tidak ada di dekatnya. Bahkan Raquel selalu iri dengan teman-temannya yang selalu bermain, digendong, bahkan dicium oleh lelaki yang merupakan ayahnya.
"Sayang. Seiring kamu tumbuh dewasa nanti, kamu akan mengerti apa yang dirasakan Mama Rachel, kenapa tidak memberitahu Raquel, nanti ada saatnya Raquel tahu. Hem, mengerti?'' kata Carolus dan diangguki Rachel.
Caroline tersenyum. ''Okay, Sekarang Raquel tidur, sudah malam." ucapnya dan kembali diangguki bocah cantik itu yang langsung membenarkan rebahannya kemudian memeluk Caroline dengan erat.
Caroline tersenyum lalu membalas pelukan putri cantik dari sahabatnya itu. Dia seperti seorang ibu saja sekarang.
It's oke, belajar menjadi seorang ibu tidak buruk. Dia juga pasti nanti akan memiliki anak yang cantik dan menggemaskan bersama calon suaminya kelak. Caroline menepuk jidatnya, dirinya jadi malah berkhayal, tapi tidak salah juga, toh pasti semua manusia memiliki harapan seperti itu untuk melengkapi hidupnya.
Satu jam kemudian, Caroline masih membuka matanya, entah kenapa untuk membuatnya menjemput alam mimpi sangat susah, Caroline sudah mencoba menutup matanya tapi tetap saja kesadarannya masih penuh.
Sudah jam sepuluh, Caroline menoleh saat mendengar ponselnya berbunyi—meraih dan langsung mengangkatnya.
''Ya," sapanya.
"Car,"
Ternyata Rachel yang menyahut di seberang.
"Ada apa? Kenapa menelepon malam-malam, kau belum tidur?"
"Belum, kau sendiri?''
''Aku tidak bisa tidur.'' kata Caroline.
Dan Rachel hanya mangut-mangut dari seberang. ''Bagaimana Raquel?''
"Sudah tidur dari dua jam yang lalu, bagaimana malammu?" tanya Caroline setelahnya.
Tapi bukan suara Rachel yang menyahut malah suara berat seorang pria yang tidak lain Alardo.
"Sangat menyenangkan."
"Alar... ish jangan asal bicara..."
Sahutan kesal Rachel menyahut jawaban Alardo yang menjawab pertanyaan Caroline, sedangkan Caroline sendiri terkekeh pelan mendengar perdebatan kecil dua pasangan tidak jelas di seberang sana.
"Alar. Jangan gigit-gigit... Geli!"
"Hai, aku masih di sini, kalau mau meneruskan kegiatan plus-plus kalian. Aku pergi dulu, bye!"
Caroline langsung mematikan sambungan teleponnya. Dan keheningan kembali mendatanginya, menit terus berlalu mengantarkan bumi pada puncak malamnya, tapi di malam ini seorang Caroline William susah untuk tidur, padahal wanita itu tidak punya riwayat susah tidur, dan tiba-tiba entah ada angin apa pikirannya mulai melayang pada pria itu.
Nicholas. Ya pria itu. Pria yang menurutnya sexy dan memesona terlebih juga pernah menolongnya dari penculikan dan pria itu juga termasuk ke dalam kata misterius dalam kehidupannya.
Senyumnya tanpa sadar merekah saat putaran ingatan beberapa waktu lalu bersama pria itu muncul di kepalanya.
Saat pria itu berkata ingin kembali bertemu dengannya, semoga saja. Dia tidak naif, untuk berbohong pada hatinya yang juga ingin kembali di pertemuan dengan lelaki itu. Hell, Padahal di pertemuan kedua dia menolak mentah-mentah pria itu, dan sekarang dirinya seakan menjilat ludah sendiri. Astaga!