Chapter 11 - Insiden

1029 Words
Di kediaman mewah dengan kesan klasik. Setelah malam malam menakjubkan yang di laluinya bersama wanita itu, tanpa di sangka ketertarikan menyambangi kehidupan asmara Nicholas. Tentu bukan lah hal pertama baginya, tapi setelah sekian tahun Nicholas mulai bebas dari bayang-bayang masa lalu. Dan wanita itu— Caroline William namanya, seolah menarik dirinya sendiri untuk berhadapan dengannya, dengan cara yang tidak elegan, berawal dirinya yang menyelamatkan tubuh wanita itu saat akan jatuh malah berakhir dia yang menderita karena tembakan yang di lepas wanita itu. Dan saat itu, saat mereka bertatapan, kepala Nicholas terus saja dibayangi wajah cantik Caroline, membuatnya tanpa sadar tersenyum sendiri. ''Tuan!'' "Ya, aku mendengarnya." Nicholas mengangkat wajahnya dengan raut datar khasnya. ''Maaf karena meninggikan suara, sebab tuan sedari tadi tidak menyahut panggilan saya." beritahu Rolan dengan sopan. "Hmm." Dan hanya dehaman sebagai sahutan dari tuannya. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya Rolan sedikit heran akan senyum kecil yang sendari tadi terus terukir di sudut bibir tuannya. "Kenapa?" "Tidak biasanya anda tersenyum seperti ini." ucap Rolan dengan tatapan menelisik samar. Ya, karena tidak biasanya Nicholas tersenyum setulus itu, mungkin saat lelaki itu tersenyum hanya senyum kamuflase yang di perlukan untuk bisnisnya, Rolan ingat tuannya itu terakhir tersenyum seperti ini mungkin sekitar dua puluh tahun yang lalu. Nicholas berdeham dan mendengus. "Kau pikir aku tak bisa tersenyum?" Rolan kontan menggeleng. "Tidak begitu, hanya saja Anda terlihat berbeda." Nicholas hanya terus menatap Rolan datar. "Anda terlihat lebih manusiawi." lanjutnya. "Kau pikir aku seperti setan begitu?" decak Nicholas. Rolan terkekeh pelan tanpa suara. "Sedikit mirip." sahutnya yang malah ikut mengundang kekeh pelan dari Nicholas sebelum kemudian mendengus. "Jadi, kedatanganmu kesini. Ada sesuatu?" tanya Nicholas pada topik utama. Sang paruh baya itu mengangguk membenarkan. "Ini tuan." Rolan menyerahkan sebuah amplop berukuran sedang berwarna putih pada Nicholas yang mengangguk mengerti. "Kau boleh pergi sekarang." usir Nicholas yang langsung di patuhi. Sepeninggalan ajudannya, Nicholas membuka dan mengeluarkan isi dari amplop itu. Tidak lebih dari lima lembar foto yang menampilkan sesosok familiar. Dan tentu Nicholas mengenal siapa gerangan yang berada di foto itu. Raut seriusnya pun tampak dingin. "Rupanya kau hidup dengan baik." gumamnya sambil menatap lama salah satu foto dengan dua orang di dalamnya, berjenis kelamin berbeda. Nicholas kemudian melirik ponselnya yang tergeletak manis di sisi dokumen lainnya, saat ada bunyi notif dan layar yang tiba-tiba menyala yang menandakan ada pesan masuk. Beberapa informasi yang hanya sekali di bacanya tanpa di balas. Jari Lelaki itu kemudian bergerak di layar ponsel dengan gesit—untuk menghubingi salah seorang anak buahnya. "Hanya itu saja informasi yang kalian dapat, hah?" Hardiknya dengan nada dingin khasnya. "Kami akan semaksimal mungkin—" "Aku tidak butuh omong kosong dan ketidak bergunaan kalian!" Dan sambungan di putus secara sepihak, Nicholas kemudian mengetikan sesuatu dan mengirimnya. "Sialan Alexander!!" *** Keesokan paginya, di dalam sebuah mobil yang tengah melaju. Alardo sekali-kali melirik wanita di sampingnya. "Alar," "Hmm." "Terima kasih." ucap Rachel tiba-tiba, membuat kening Alardo mengerut. "Untuk apa?" Katanya. "Untuk bantuanmu selama ini, dan juga untuk selalu ada di sampingku selama dua tahun ini." Jelas Rachel-tatapannya lurus ke depan sampai akhirnya merasa tengah di perhatikan wanita dengan rambut coklat itu menoleh dan bertubrukan lah kedua pasang mata berbeda warna itu. Alardo tersenyum. "Tidak apa-apa, Aku tulus untuk itu." Rachel balas tersenyum, tatapannya kembali Ia arahkan pada jalanan di depannya. "Emm..." "Ada yang ingin kau sampaikan? Katakanlah." Kata Alardo tanpa diminta. "Apa kau masih menungguku?" Tanya Rachel. "Tentu saja. I love you Rachel. Rasa itu sudah dua tahun aku menjalari hatiku dan aku pastikan akan selalu seperti itu sampai kapan pun." Rachel tersenyum. "Aku pun sama. Rasa itu juga turut menyerangku." "Hah?" "Aku menyukaimu, Alar." "Hanya suka?" Alardo menyahut dengan senyum manisnya. Rachel langsung menggeleng. "Bukan begitu. Kau baik dan menyenangkan, aku nyaman bersamamu. Aku, emm— jawaban yang beberapa hari lalu kau harapkan dariku akan aku jawab sekarang." Rachel tampak menghela napas sejenak. "A-aku menerima lamaranmu. Aku yakin kau bisa membuatku terlepas dari belenggu traumaku akan cinta. Aku-bukan maksudku untuk apa-apa tapi aku yakin selama ini yang kucari dari sosok seorang pria berada dalam dirimu. Jadi, aku yakin kau bisa membahagiakan aku." Dan tiba-tiba Alardo menghentikan mobilnya sampai bunyi derit mobil terdengar. Dengan raut wajah serius lelaki itu menatap Rachel dan menggenggam kedua bahunya erat. "Jadi, kau—serius?" Dengan senyuman tulusnya Rachel mengangguk. "Ohh Rachel. Thank you so much." Kata Alardo sambil menarik Rachel kepelukannya. Lelaki itu tampak bahagia sekali karena wanita yang selama dua tahun ini di tunggunya akhirnya menerimanya juga, dan dalam pelukan hangat Alardo Rachel mengangguk-anggukan kepalanya dan tanpa terasa air mata menetes membasahi pipinya. "Terima kasih juga karena kau setia mencintaiku." Saat dua insan itu tengah meresapi arti rasa dari sebuah pelukan, sebuah penglihatan menyita perhatian Rachel. "Raquel?" Alardo mengernyit. "Hah?" "PAPAA!" Seketika Rachel langsung melepaskan pelukannya dan bergegas membuka pintu dengan tergesa tanpa menghiraukan Alardo yang tampak kebingungan. Tapi pria itu pun mengikuti Rachel turun dari mobil. "RAQUEL!" Dan di luar ternyata sudah ramai orang-orang berhamburan, sepertinya ada kecelakaan. Segera saja Alardo mengikuti Rachel yang terlebih dahulu memasuki kerumunan orang-orang itu. Dan alangkah terkejutnya lelaki itu melihat bahwa korban dari kecelakaan itu merupakan putri dari wanita yang baru saja menerima lamarannya. Ada sesosok pria yang memangku kepala Raquel yang berdarah sebelum kemudian Rachel mengambil alih. Dan Alardo merasa familiar dengan wajah pria itu. *** Di rumah sakit, Caroline tengah menenangkan Rachel, sahabatnya yang terlihat menunduk frustasi memikirkan keadaan putrinya yang berada di ruang UGD, wanita itu terus memanjatkan doa di dalam hati, agar anak semata wayangnya baik-baik saja. "Semua akan baik-baik saja." bisik Caroline sambil memeluk arah samping sahabatnya itu, mencoba menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja. "Car, Raquel..." "Sstt, semua akan baik-baik. Raquel gadis kuat." Caroline membawa Rachel kepelukannya sambil mengusap punggung sahabatnya itu dengan lembut, hatinya juga terasa sakit saat tadi melihat ponakan kecilnya tergeletak dengan darah yang terus merebas dari kepalanya. "A-aku... Lukanya parah sekali Car, keningnya—aku tidak kuat, putri kecilku." Dan kembali tangis Rachel meledak, yang langsung di peluk erat oleh Caroline. "Maaf, maaf, aku tidak bisa menjaganya." ucap Caroline yang ikut merasa sakit, terlebih Raquel ada bersamanya. Caroline sadar dirinya kecolongan. Raquel menggeleng. "Harusnya aku malam tadi langsung pulang bukannya bersama Alardo." "Tapi kalian tidak berdua Rachel. Aku yang ceroboh, maaf."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD