TEQUILA

1176 Words
Matahari sudah merangkak naik dari garis teluk Persia berjalan ke Samudra Hindia. Menerpa wajahku yang kelelahan tidur melipat diri di Bathub. Perutku lapar sekali. Aku melihat langit-langit megah kamar mandi yang terpantul matahari siang. Aku tidak boleh mati dengan cara begini. Ini konyol. Aku harus makan, setidaknya kalaupun harus mati aku harus bersenang-senang dulu. Kalau aku mati dengan keadaan seperti ini aku akan malu dengan penghuni surga. Aku bangkit, ya ampun tubuhku sakit sekali semalaman tidur di bathup. Aku merapikan Bathrob yang ku kenakan. Ku lipat rambutku yang warna merahnya sudah luruh dengan air mandi. Ku gunakan sikat gigi untuk mengaitkannya. Aku tersenyum di cermin. Yah, memang mirip perempuan gila. Aku menghela nafas, menguatkan mentalku. Aku perlu jadi tidak tahu malu untuk kali ini. Demi perutku. Aku mengangguk, ku buka ganggang pintu. Dan tidak ada siappun kecuali kamar yang sudah kembali rapi. Koper pink yang tadinya berantakan di lantai sudah dirapikan dan diletakkan di dekat nakas. Aku merapatkan Bathrob lalu membuka pintu kamar dan berjalan melintasi ruang tv di lantai dua. Aku turun melewati tangga meliuk yang hanya terdiri dari tiga puluh anak tangga. Aku mengedarkan pandanganku ke semua tempat. Awalnya aku tidak melihat siapa-siapa, sampai aku benar-benar meninggalkan semua tangga. Barulah aku melihat seorang perempuan. Belia, iya ku rasa usianya masih sangat muda. Dia berpenampilan berbeda dari yang lain, lebih casual. Dia menggunakan kemeja putih dan celana jins panjang. Ketika melihatku, tangannya langsung terlipat sombong "Kau princes yang di gembar-gemborkan itu ?" Aku mendekatinya. Aku harus mulai membiasakan diri menjadi awas. Aku menscening semua bagian tubuhnya, kalau-kalau ada tonjolan yang menunjukkan dimana gadis ini meletakkan senjata. Nihil tidak ada. Iya, mungkin karena dia masih di bawah umur "Kau siapa ?" tanyaku "Tequila. Konsultan bisnis, akuntan dan merangkap bendahara kerajaan bos besar, Brandy" "Aku Kinar" kataku acuh berjalan mendekatinya tanpa rasa takut, karena dia masih terlalu anak-anak untuk jadi bahaya. Kaca matanya sudah menjelaskan keculunannya. Begitupula pekejeraannya yang terdengar membosankan "Jadi kau tidak bawa-bawa senjata seperti yang lain" "Bawa" Dia menarik sebuah laci di bawah Island, menunjukkan Glock hitam permulut pendek di dalam laci itu "Kita perempuan-perempuan yang bekerja di dunia yang keras. Di kelilingi laki-laki bersenjata. Menurutmu bagaimana cara yang paling masuk akal untuk melindungi diri ?" Ternyata dia banyak bicara, persis bocah. Kalau begitu aku tidak salah menebaknya "Memang berapa umurmu, diperbolehkan pegang senjata seperti itu" "Delapan belas" Aku hampir muntah mendengarnya "Jangan hawatir tante, aku sangat bijaksana, aku tidak meletuskan senjataku di sembarang tempat. Hanya untuk membela diri. Tidak untuk duel. Kata bos aku harus menghindari pertikaian demi uang-uangnya yang ada padaku" Sialan, dia memanggilku tante. Aku berdecak, aku tidak akan sudi takut dan terintimidasi oleh bocah delapan belas tahun. Yang benar saja ! Aku mengangkat daguku angkuh dan berjalan ke kulkas. Kemarin hanya ada buah-buahan di dalam kulkas ini. Hari ini hampir semua bagian terisi. Aku memilih mengambil satu bungkus sushi yang langsung bisa kumakan. "Kau lapar ?" Caranya bicara amat mengejek "Kebetulan aku adalah tawanan yang tidak di ikat. Rasanya aku berhak untuk makan" "Kau tidak enak di ajak bicara" Aku memandangnya aneh. Menurutnya dia sefreandly apa ? Dasar bocah ! Dia mengeluarkan handphonya, dia menelpon seseorang "Hai, si putri rusun kalian sudah bangun dari tidur nyanyaknya di kamar mandi. Sepertinya sudah waktunya eksekusi" Tanganku langsung dingin, aku meletakkan sushi yang bau kuambil dari kulkas di Island dapur. Aku berusaha terlihat biasa saja. Meski kata-kata eksekusi berdengung di kepalaku. Bocah tengik itu menoleh melihatku, dia tersenyum mengejek "Kau takut ?" Aku menaikkan dagu, berusaha terlihat angkuh. Harga diri harus dipertahankan ! "Untuk apa takut pada kalian ? Para pengumpul dosa ?" "Uuuu... ada yang sok alim di sini" dia berseru ceria "Hai, kau tingggal bersama bos kami dan kami semua tahu apa yang kalian lakukan di rusun itu. Kau berzinah. Dan ku dengar tidak ada pezina yang masuk surga" Rahangku mengeras, sungguh kalau aku tidak mengingat ada senjata di bawah laci di dekat pahanya. Aku sudah memukul kepala bocah tak beradab ini. "Kumpulkanlah kebaikanmu tante, karena katanya kerena nila setitik rusak s**u sebelangan. Kau pahamkan ? Satu saja dosa akan menghapus semua kiebaikan itu, begitulah cara kerja dunia ini" "Sebenarnya berapa umurmu ?" "Lahiriah aku 18 tapi secara mental sudah lebih tua dari mu" Klik pintu terbuka "Teq,,,," panggil Martini, dia dengan pakaiannya yang selalu tidak ramah untuk mata. Gaunnya hari ini berwarna hitam, dengan aksen bawarna merah, renda-renda menyembul di lehernya seolah mereka keluar dari payudaranya. Kali ini gaunnya selutut tapi sobek sampai ke paha bagian atas, hampir ke batas CD. "Sudah siap aku eksekusi ?" Martini bertanya santai padaku. Aku harus menjawab apa ? lalu yang terlintas hanya makan "AKu mau makan dulu" "Kau makan nanti dengan Brandy" dia menepuk tangannya "Cemil saja sushi itu, sambil dipermak. GO GO" katanya bertepuk lima kali. Lalu pintu kembali terbuka. Tiga Stand hanger di masukkan "Sepertinya dadamu harus lebih berisi" Mata Martini menelisik ke payudaraku Aku segera menutupi bagian itu "TIdak" "Iya kukira bos suka yang mungil" lanjut anak delapan belas tahun yang seharusnya belum di izinkan meangkases situs porno. Dua orang peremepuan datang dengan dua koper entah apa itu. Ku rasa adalah alat makeup. "Jangan minta aku berpakaian sepertimu Martini. Aku benar-benar akan bunuh diri" "Nah, jangan katakan lagi hal itu. Bos tidak akan membiarkan kau mati. Kami di sini untuk menjagamu Princess" Aku terdiam. Benar-benar tidak mengerti maksudnya. "Ayo lekas, aku tidak mau ditembak karena telat" melindungiku bagaimana ? sedikit-sedikit dia sudah mengeluarkan kalimat-kaliamt penuh ancaman seperti itu. Di sarang mafia jenis apa sebenarnya aku berada ? Mereka mewarnai rambutku dengan warna merah yang lebih solit. Mereka memotong rammbutku ala-ala harajuku, bob dengan bagian sampir tersegi dan berfolume di bagian belakang. Aku tidak pernah memiliki poni, dan ini adalah pertama kalinya. Mereka mencuci kakiku, membuat kukuku-kuku jadi mengkilat. Kukuku di cet berwarna biru metalik, blink-blink, senada dengan gaun biru langit yang kugunakan. Aku di paksa menggunakan anting berbentuk lingkaran yang berjari-jari 5 cm. Lalu kalung berlian yang terlihat mahal. Kali ini aku bersikeras memilih sendiri bajuku. "Nah suda selesai" kata martini memandangiku "Dia sudah menunggumu di lobi" Martini menyarhkan sebuah cincin bertahta berlian pink "Kenakan di jari manismu. Jangan dilepas, keculi tanganmu terpotong" "Kau menggertak lagi" "Aku mengancam" katanya membenarkan dengan suaranya yang dingin "Dan saran ku jangan terus-terusan tidur di Bathtub. Karena semalam kau membuatnya gusar" Kebetulan aku tidak peduli, aku malah berharap kepala si b******k itu meledak "Kau juru bicaranya ?" "Kami semua adalah, mata, kaki, telinga dan tangannya" Aku menggeleng-geleng, tidak habis pikir dengan mereka semua. Martini dan semua penata Rias pergi dari kamarku. Aku memasang cincin itu. di jari manis sebelah kanan. Seakan cincin itu adalah cincin pernikahan. Aku melihat penampilanku dan cukup terkesan dengan perubahan yang terpantul di cermin. Aku sekarang keliatan seperti para influenser di media sosial yang kesana kemari mendapat sponsor untuk menunjukkan kemewahan dunia ini. Aku hanya tinggal berfoto dan bilang "Hai semua aku di dubai" dengan pose sok manis. Ah lupkan. Manusia itu menungguku. Aku hanya ingin makan enak, aku tidak mau tertekan, aku tidak akan menghiraukannya, meski dia memakiku, mengancamku bahkan menodong senjata di kepalaku. Aku sudah tidak peduli lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD