Dia duduk di salah satu sofa berwarna biru. Membelakangiku. Kakinya yang panjang menekuk canggung, dia sedang menelpon, aku memperhatikan kepalanya yang ke kiri dan ke kanan. Aku yakin manusia ini tidak pernah tenang, dia mencurigai semua orang, dia pikir musuh-musuhnya berkeliaran di antara keramaian, lalu persekian detik akan menembaknya. Dan biar aku mengamini hal itu.
Dia berdiri, dan lantas membalik tubuhnya melihat aku.
Dia mengenakan polo shirt hitam dengan celana gelap dan sepatu kulit coklat tua. Berjam tangan mewah, yang harganya kutaksir lebih dari harga diriku karena sekarang aku justru berjalan mendekatinya.
Aku dengan mixi dress berwarna biru langit, yang bagian atasnya berbentuk lengan sabrina. Birunya gaun ini sangat tidak matching dengan warna merah rambutku ku, kupikir karena hal itulah Brandy tersenyum penuh penghinaan.
Martini menepuk bahuku "Selamat pacaran"
Aku menoleh melihatnya, dia tersenyum singkat, sebelum perhatiannya teralih pada Brandy. Perempuan itu memberikan hormat sambil menyentuh bagian atas dadanya. Diapun pergi, seakan mengantar anaknya untuk jadi cemilan se-ekor singa.
Brandy mengambil handphonenya di meja. Dia berjalan tanpa menunggu aku. Aku melihat kekiri dan kanan, melihat celah untuk kabur. Tiba-tiba saja langkah Brandy terhenti. Dia berjalan ke arahku dan meraih tanganku. Aku berusaha melepaskan diri.
Dia meringis kesal.
Aku hanya takut ditembak dalam keadaan lapar. Jadi, aku membiarkan dia menggenggam tanganku.
Ketika ku rasakan telapak tangannya yang besar seakan membungkus tanganku yang mungil, ada yang salah denganku ! Jantung yang berdetak-detak ini bukan perasaan takut, aku mengenalnya, tapi aku tidak ingin mengakui itu.
Kami menuruni eskalator, dia menarik pinggangku hingga tubuhku membentur tubuhnya. Tanganku reflek berpegangan di pinggangnya. Dia bersandar di railing eskalator. Dia menelpon seseorang dengan panggilan Wine menggunakan bahasa Inggris yang fasih. Dia memerintahkan anak buahnya untuk siaga, mereka akan beroperasi malam ini.
Dia tertlalu cerdas untuk jadi pengaangguran. Bukankah di titik itu dulu aku harusnya curiga. Seandainya aku lebih dulu menyadarinya aku mungkin tidak akan berada di dubai hari ini.
Dia mematikan sambungan telpon, eskalator itu cukup panjang "Lepaskan aku" bisikku pelan
Dia justru mendekatkan wajanya, mengangkat daguku "Cium aku yang panas kalau mau !" Aku menyentakkan kepalaku agar tangannya lepas dari wajahku. Tapi dia justru mencium pipiku.
"Kau cantik"
"Kau iblis"
Dia melepaskan pinggangku dan kembali menggandengku ketika kami sudah sampai lantai dasar. Kupikir kami akan pergi makan di tempat yang jauh. Mungkin ke Paris. Ternyata restaurant yang kami tuju ada di gedung yang sama.
Aku berdecak kagum karena restaurant itu berada di bawah air. Aku mendongak heran melihat ikan yang melayang-layang di atasku. Ada beberapa orang yang tengah menikmati makan siang di restaurant itu. Tempatnya memang tidak ramai, sehingga terasa ala-ala fine Dining.
Kursi untukku sudah di tarik mundur. Brandy menungguku duduk. Tidak boleh, seharusnya dia tidak boleh manis. Itu dilarang keras. Mengingat hatiku ini lemah sekali.
Aku menikan daguku, berusaha terlihat tidak terpengaruh dengannya. Kami duduk saling berhadapan. Dan setiap kali aku melihat wajahnya aku khawatir dengan diriku sendiri.
Dia memesankan makanan untuk kami. Aku memalingkan wajah ke arah aquarium di sebelahku. Tanganku yang bercet kuku biru mengentuk-ngetuk kacanya, ingin tahu setebal apa kaca yang mereka gunakan untuk menampung air segitu banyaknya.
"Letnan..." aku tidak melihat wajahnya, aku masih sibuk dengan para ikan di balik aquarium itu "Kenapa orang yang memiliki kehidupan begitu sempurna, Letnan Purba Andianda bisa menjelma sebagai seorang buronon ? Apa kau tidak mensyukuri hidupmu Letnan ? Pernahkah kau susah ?" Aku menoleh sebentar untuk memastikan reaksinya dengan percakapan yang ku mulai
Dia setenang air di dalam aquarium ini, tidak beriak sedikitpun meski ikan-ikan di dalamnya berenang gelisah.
"Aku tidak mau susah. Aku tidak bodoh sepertimu. Bekerja tanpa hari libur hanya untuk dibayar seratus ribu perhari. Apa kau tidak lelah sengsara Kinar ?" Senyumnya membuat lawan bicaranya jadi ciut, dia punya air muka dan intonasi mengintimidasi. Caranya memandang juga intens "Kuberitahu kau, kalau kau mau kaya raya, lupakan mencari uang dengan cara biasa, langar saja hukum dan aturan-aturan yang ada. Mereka, orang-orang kaya itu tidak mendapat uang-nya dengan cara yang benar"
Aku mengernyit, aku memutar tubuhku, lurus menghadapnya.
"Kenapa kau seperti ini ? Kau seorang Letnan, seharusnya kau melindungi orang-orang bukan berkeliaran menodong senjata"
Dia tertawa suaranya parau
"Aku pernah bekerja di bawah ratusan pria-pria kaya di seluruh dunia. Aku bersihkan nama mereka, aku balaskan dendam mereka, aku buka peluang untuk mereka tapi tidak satupun dari mereka berterimakasih padaku"
"Jangan pernah panggil aku Letnan" Dia tersenyum sinis "Rasa kemanusiaanku dinodai oleh mereka yang mengaku penguasa, bertopeng kebaikan, pada kenyataannya mereka menghamba pada laba"
Pembicaraan kami terputus di sana, tiga orang pramusaji membawakan pesanan kami. Makanan bertema Italia terhidang menggiurkan di depanku. Aku segera melupakan apapun yang kami bicarakan sebelumnya. Melupakan rasa takutku, aku dikuasai rasa lapar.
Aku melahap makanan yang tersaji. Ku cicipi satu per satu tanpa peduli etika makan di fane dining seperti apa. Di dalam kepalaku yang terpenting aku kenyang.
Brandy juga makan dengan ku. Dia terlihat normal di seberang meja sana, melahap makanannya selayaknya Adam. Ketika si pramusaji bermaksud menyajikan wine, Brandy tidak mengizinkan si pramusaji untuk menuang wine tersebut ke gelasku. Brandy memesan dua Mocktail untukku dan dirinya.
Setelah selesai makan dan mocktail bersama disert telah tersaji di meja. Aku kembali mengajukan pertanyaan "Kenapa aku ? Kenapa kau mendekatiku, menjadi pacarku, lalu menyeret ku ke dalam pembunuhan yang kau lakukan"
Kepalanya meneling ke samping. Dia memangku pipinya dengan tangan terkepal. Dia mengaduk Mocktail pannaple miliknya "Yang jelas bukan karena aku mencintaimu atau peduli pada mu" ujung matanya melihatku
Aku tidak bisa menyembunyikan reaksi marah dan kecewa. Tanganku mengepal di atas meja dan rahangku tertarik, bergelatak
"Semua yang kulakukan selalu dengan rencana yang matang. Dengan perhitungan" Dia berhenti memangku tangan, dia duduk lebih tegak "Aku mendekatimu karena kau akan mendatangkan keuntungan buatku, kau itu investasiku Kinar"
Dadaku turun naik mengatur ritme nafas yang tidak teratur. Amarah sudah meletup-letup membakar diriku.
Dia tidak mencintaiku, aku tahu, tapi rasanya tetap sakit. Apa yang kulakukan selama ini ? memuja-muja dirinya, bersyukur atas kehadiran di hidupku, momen manis di rusun waktu itu, sebuah kepalsuan ?
Karena badai amarah yang berkecambuk, membuat kepalaku bekerja "Lalu apa yang ku dapat ? Kau mendapatkan semuanya, lalu bagaimana dengan aku ?"
Ujung bibirnya terangkat, menghinaku
Wajahku pasti sudah sangat merah "Baik, tawar menawar yang kau inginkan ?"
Dia hanya diam, tapi senyumnya merekah, menjijikkan
"Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan dariku. Selamatkan mamaku"
Makin merekah senyumnya, aku tahu inilah yang dia ingin kan. Tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh hati seorang iblis. Iblis selalu melakukan tawar menawar. Mereka tidak punya hati.
"Aku akan mengikuti cara kerjamu, tapi setelah kau bebaskan mamaku, kau mendapatkan apa yang kau inginkan dariku. Bebaskan kami, biarkan kami pergi"
Aku mengulurkan tangan "Deal Mr. Brandy ?"
Tanpa bantahan dia mengangguk "Deal" tapi dia tidak menjabat tanganku. Dia justru berdiri dari tempat duduknya "Pesan lagi kalau lambung kampungan mu masih butuh di isi. Jangan keliaran, kembali ke kamarmu segera"
Dia mengambil handphonenya. Memuatr jam tangannya. Lalu meninggalkanku begitu saja dengan tangan masih terulur.
"Tunggu aku punya satu glock di tanganku. Ku buat bolong kepalamu" bisikku pada punggungnya
***