Zulfa Zahra El-Faza
“Neng? Neng?!”
Seseorang yang mengguncang tubuhku membawa kembali kesadaranku. Aku menoleh dan mendapati Dewi berdiri di sampingku, menyodorkan piring.
“Iya?” kataku mengambil piring itu.
“Neng kenapa kok sering banget ndak fokus? Ada yang Neng Zulfa pikirkan?” tanya Dewi sembari mengelapi piring yang akan digunakan keluarga ndalem makan. Kami ada di dapur sekarang. Sesekali ia melihat padaku sembari terus mengelapi piring-piring porselen itu.
“Tidak ada,” kilahku sembari menyelinginya dengan tawa, berharap Dewi percaya.
Bukannya tidak mau cerita, tetapi ini adalah masalah rumah tangga yang tidak boleh sembarangan kuceritakan pada orang lain, bahkan kedua orang tua maupun mertuaku. Tentu ini masalah yang sangat rawan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, meski itu hanya dalam pikiranku sendiri kalau-kalau ada yang tahu apa yang terjadi.
Aku melanjutkan pekerjaanku. Memindahkan lauk berupa ikan asin yang kugoreng tadi ke atas piring yang diserahkan Dewi tadi. Ikan asin ini favoritnya Abah Kiai—panggilanku pada ayah mertuaku sendiri lalu mengambil piring porselen lain untuk tempat bendoyo terong kegemaran Abah Kiai sekaligus Gus Fatih.
“Neng, cah kangkungnya sudah matang,” lapor Dewi.
Aku segera mengangguk lalu mengambil mangkuk besar untuk wadah tumisan itu. Setelahnya aku memindahkannya sendiri ke mangkuk yang kubawa.
“Sudah kamu cicipi rasanya, De?” tanyaku.
Dewi mengangguk.
“Bagaimana? Enak tidak?” cemasku memegangi mangkuk cah kangkung di tanganku. Ini masakan tumis pertamaku.
Dewi diam lalu mengangguk lirih. “Lumayan,” katanya membuat mulutku sedikit terbuka.
Aku langsung mencari sendok dan mencicipinya sendiri. Dan benar katanya, ‘lumayan’ karena bagiku rasanya biasa saja. Kalau dibandingkan masakannya, ini tidak ada apa-apanya.
“Tidak usah kecewa, Neng. Kiai, Bu Nyai, dan suami Neng pasti menghabiskannya.” Dewi tertawa. Aku meliriknya sehingga ia diam. “Lagi pula ini kan tumis kangkung pertama Neng Zulfa, keluarga ndalem pasti menghargainya.” Dewi merapatkan kedua giginya sembari menyengir kuda.
Aku menghela napas lalu meletakkan mangkuk yang ada di tanganku ke meja. Cah kangkung ini memang tumisan pertamaku. Dewi yang mengajariku. Kalau boleh jujur aku tidak pandai memasak. Menyentuh pekerjaan dapur saja sangat jarang karena sedari kecil aku sudah mondok. Masa MI-ku dulu aku nyantri di Lamongan, pengasuhnya teman Abah. Lalu selepasnya aku nyantri di pesantren keluarga suamiku ini sampai akhirnya menikah.
Kalaupun dulu liburan dan pulang ke Kediri, para santri putri yang jadi anak ndalem yang memasak, membantu Mbok Halimah. Kesempatanku hanya membikin wedang seperti teh, kopi, dan menggoreng-goreng makanan. Masakan sederhana yang bisa kubuat lainnya pun hanya nasi goreng, tidak ada yang lain.
Tidak tahu bagaimana nasibku kalau tidak ada Dewi. Aku pasti akan sangat malu di depan Gus Fatih dan mertuaku. Untung Dewi mau mengajariku. Aku jadi tidak perlu sungkan pada Ibu yang sedari awal tahu bagaimana kemampuan memasakku. Oleh karena itu, Ibu berniat mau mengajariku, tetapi aku tidak mau. Sekali lagi, sungkan, itulah yang menjadi alasanku.
“De, apa kita buat lagi, ya?” kataku pada Dewi yang tampak sibuk. Dia baru saja mengangkat bali endok yang jadi menu utama pagi ini dari kompor dan memindahkannya ke mangkuk. Jangan tanya! Tentu Dewi dan anak ndalem lainnya yang membuatnya. Aku tidak bisa. Ralat! Bukan tidak, ‘belum’ lebih tepatnya. Aku sudah berniat akan belajar memasak sampai bisa, setidaknya makanan yang biasa disantap keluarga suamiku. Siapa tahu aku bisa merebut hati Gus Fatih kalau dia memang tidak mencintaiku.
Ya Allah ... Gus Fatihku. Apa benar dia tidak mencintaiku?
“Tidak, Neng. Tidak usah. Cah kangkung buatan njenengan enak kok.” Dewi menepuk lenganku. Aku mengangkat kepalaku.
“Ya Allah! Jangan-jangan ini, ya, yang buat Neng sering melamun?!” pekik Dewi menatapku.
Aku membulatkan mata lalu segera menggelengkan kepala. Refleks, tetapi memang bukan itu penyebabnya. Dewi tidak tahu saja.
“Halah, terus apa coba? Sadar ndak kalau Neng Zulfa sampai punya kantung mata selain tambah pucat juga?” Dewi berkata.
Aku menundukkan kepala. Jadi sebenarnya Dewi melihatnya. Itu berarti santri lainnya pasti juga. Aku menoleh ke tempat bupet kaca penyimpanan piring. Benar. Ternyata wajahku yang kacau terlihat jelas dengan dua buah kantung mata di bawah kelopak, bahkan lingkaran hitam mengitarinya. Ya Allah! Padahal aku sudah berusaha menghilangkannya dengan kompresan es batu. Aku bahkan sampai memakai foundation sebelum bedakan tadi.
Aku menggelengkan kepala. "Memangnya begitu?" kataku dengan nada kubuat tidak percaya.
Bukannya menjawab, Dewi tersenyum lebar. Ia mendekatkan wajahnya padaku. “Karena Gus Fatih, ya?” bisiknya tepat di indra pendengarku.
Aku membeliak menatapnya. Bagaimana bisa Dewi mengetahuinya? Bukannya aku sudah berusaha tampil semringah di depan semua? Kenapa Dewi bisa mengatakan itu?
“Tidak, De,” bantahku cepat. Perasaanku sungguh sudah ketar-ketir sekarang melihat ekspresi wajahnya yang ‘anehnya’ malah terlihat seperti sedang menggoda.
Ada apa sebenarnya?
“Tiap hari Gus Fatih minta jatah, ya?” ucap Dewi tak dapat kupercaya.
Set!
Puluhan mata penghuni dapur melihat kami. Terlihat jelas ekspresi syok dan tawa tertahan mereka. Aku menghela napas lalu segera memelototi Dewi. Yang kupelototi lalu segera mengucapkan ‘maaf’ dengan lirih. Setelahnya samar-samar kudengar ia mengucapkan istigfar berkali-kali sambil menunduk.
Aku segera tersenyum pada semua santri yang ada di dapur dan meminta mereka melanjutkan kegiatannya. Mbok Aminah juga. Sama seperti Mbok Halimah yang mengabdi di keluargaku, Mbok Aminah juga mengabdi lama di ndalem keluarga suamiku. Beliau tersenyum canggung padaku lalu mencubit Wiwit, santri putri ndalem yang merupakan cucunya, kebetulan Wiwit sedang bekerja di sampingnya.
Sekali lagi, aku menghela napas lega. Hampir saja! Kukira Dewi tahu alasannya.
***
“Ini kamu, Nduk, yang membuatnya?” Abah Kiai melihatku setelah mencicipi sambal klotok buatanku. Ya, aku lupa. Sebenarnya aku bisa membuat sambal juga. Segala jenis, insyaallah aku bisa. Sudah terbiasa soalnya.
Aku tersenyum sembari mengangguk. “Nggeh, Bah. Silakan dimakan. Maaf kalau Abah tidak selera gara-gara sambelannya Zulfa.”
Aku menyelesaikan tugasku lalu duduk di kursi yang ada di samping Gus Fatih setelah sebelumnya mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Kalau Ibu selalu mengambil sendiri. Pernah kutawarkan sekali tetapi langsung tidak ‘dikersai’ Ibu, sedangkan Abah Kiai selalu Ibu yang melayani.
“Katanya Mbok Aminah, cah kangkung ini kamu yang buat, Nduk. Benar?” Ibu menyendok nasi dan cah kangkung buatanku. Aku mengangguk.
“Bismillah ... Ibu makan, ya?” Ibu memakannya. Aku diam menunggu pendapatnya. Entah kenapa seisi ruang makan diam saat kutengok, Gus Fatih juga. Semua seperti menunggu apa yang akan dikatakan Ibu.
“Enak ...,” kata Ibu mangut-mangut melegakan hatiku.
“Alhamdulillah ...,” ucapku.
Setelahnya kulihat Abah Kiai juga menyantapnya. Beliau terlihat puas juga. Refleks aku menoleh pada Gus Fatih ingin tahu bagaimana dengannya. Sayangnya dia hanya diam menatap piringnya. Sontak aku langsung menundukkan kepala. Menatap makanan yang tersaji di piringku sendiri. Nafsu makanku rasanya tiba-tiba lenyap karena sikapnya.
“Lho, Fa! Kok ndak kamu makan?” Suara Ibu membuatku mengangkat kepalaku.
“Nggeh, Bu. Ini mau Zulfa makan,” kataku tersenyum lalu segera menyendok makananku.
Bu Nyai adalah ibu terbaik setelah Umi. Sekarang aku sudah tidak mengakui itu. Kenyataannya beliau sama baiknya dengan Umi, ibu kandungku.
Aku bersyukur memilikinya. Aku tidak yakin ada ibu mertua sebaik Ibu di luar sana yang memperlakukanku seperti ini. Seperti kata Dewi, cah kangkungku rasanya biasa. ‘Lumayan’ malahan, tetapi Ibu mengatakan kalau rasanya enak. Padahal kalau dirasa-rasakan rasanya sedikit asin karena mulai dingin. Makanan berkuah kalau dalam keadaan panas rasa keasinannya yang semula sedang biasanya berubah menjadi asin kalau mulai dingin, alasannnya lidah kita kurang bisa merasainya dengan baik ketika panas
“Ayo, Ngger, dimakan masakan istrimu! Kasihan Zulfa yang sudah susah payah memasaknya. Dimakan sama bendoyo terong penyet sambal klotok tambah mantap lho rasanya.” Abah Kiai berkata. Beliau menambahkan bendoyo terong penyet lagi ke piring putranya.
Aku dibuat tersenyum karenanya. Abah Kiai tidak kalah baiknya dari Bu Nyai. Mereka mertua yang sama baiknya seperti orang tua kandung sendiri.
“Nggeh, Bah.” Suara berat Gus Fatih membuatku menolehnya.
Kulihat ia menyendok makanan di piringnya lalu mengunyahnya perlahan. Mulutku sedikit terbuka saat melihat bola matanya berkaca-kaca.
Ada apa? Apa Gus Fatih tidak menyukainya?
“Jangan diteruskan Mas kalau Mas tidak suka. Mas makan bali endoknya saja.” Aku berinisiatif mengambil piringnya. Berniat menyingkirkan cah kangkung dan masakanku lainnya.
“Jangan!” Tanganku tiba-tiba dicekalnya. Membuatku menatapnya. Kami sangat dekat sampai aku bisa melihat dengan jelas wajah tampannya, menelisik kejora matanya, alis dan bulu matanya yang lebat, hidung bangirnya dan bibir kemerahan dengan sedikit garis hitam di tepiannya.
Ya Allah .... Jantungku mau meledak jika terus begini, jadi langsung kutarik tanganku. Lalu aku memperbaiki posisi dudukku.
“Hem ... hem ....” Dehaman Abah Kiai menyadarkanku.
Aku langsung melihat ke arah Abah Kiai dan Ibu yang ternyata tajam menatapku dan Gus Fatih. Aku langsung menundukkan kepala dan menyendok nasiku.
“Zulfa, Zulfa. Kamu ini. Makanan apa, sih, yang tidak disukai Masmu ini? Apalagi makanan seenak ini.” Ibu menunjuk-nunjuk makanan buatanku di meja. “Dulu sebelum Masmu Fatih ke Mesir sewaktu masih mondok di Paculgowang, semua makanan habis sama dia. Dimakan semua,” cerita Ibu menarik atensiku padanya, begitu sebentar lalu lama ke arah Gus Fatih. Ia tampak tak percaya dan tak terima Ibu menceritakan masa kecilnya.
“Ibu ini! Itu kan dulu. Kok malah diungkit-ungkit lagi di depan mantu.” Suara Gus Fatih terdengar pelan, seperti menggerutu.
Aku jadi penasaran seperti apa suamiku ini dulu. Kapan-kapan meminta Ibu menceritakan lebih banyak lagi tentangnya pasti seru. Kalau aku mau jujur, aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Sikap dan kepribadiannya saja masih misteri buatku.
Dia bahkan belum mau benar-benar tidur denganku. Apalagi bercerita tentang pribadinya yang lain. Mustahil sekali rasanya kalau dipikir-pikir.
“Iya, iya. Ibu minta maaf. Ya sudah, cepat dimakan!” Ibu tersenyum dengan wajah semringah.
“Iya.” Gus Fatih mengangguk.
“Boleh kan kumakan?” Aku terlonjak lagi. Gus Fatih menatapku lagi dan dengan segera kuangguki. Kulihat ia memakan makanannya dalam diam. Sudut bibirnya terangkat seperti membentuk senyuman.
Hah, aku pasti sedang mengkhayal!
Aku tidak sampai lama memperhatikannya karena sadar ada Ibu dan Abah Kiai di depanku. Jadi kuputuskan menyantap makananku. Meski semua masakanku yang kumakan hanya cah kangkung sedikit tanpa kuah yang menurutku sedikit asin dan bali endok. Kali ini bali endok itu menjadi favoritku, enak, yang buat bukan aku jadi tidak diragukan lagi itu.
Sekitar sepuluh menit kemudian semua sudah selesai makan. Kini Abah Kiai dan Gus Fatih asyik menyesap kopi hitam mereka. Masih di meja makan. Waktu menunjukkan jam 06.30 WIB. Baru saja seorang santri putra yang kuketahui mengabdi di ndalem mengantarkannya. Aku dan Ibu memilih menikmati potongan semangka dan melon di piring yang juga dibawa oleh santri itu. Sesekali kami menyelinginya dengan meminum air.
Tidak lama, Abah Kiai dan Ibu kemudian bercerita bagaimana perjuangan mereka mempertahankan pesantren ini sepeninggal Mbah Kiai Jabbar, romo dari Abah Kiai di masa-masa awal beliau mengemban pengasuhan pondok.
Abah Kiai masih sangat muda saat itu, seusia Gus Fatih sekarang katanya. Banyak terjadi pro dan kontra di antara para santri dan punggawa ndalem yang sebelumnya. Lebih banyak dari mereka yang meragukan kemampuan Abah Kiai, tetapi Ibu sebagai istri selalu menyemangati dan mendampingi beliau sampai semua terkendali dan pesantren ini tetap bertahan sampai sekarang.
Aku menyimak dalam diam. Otakku berusaha merekamnya sebaik mungkin. Cerita ini tidak boleh hilang karena merupakan sejarah keluarga, tentu harus dijaga.
Usai cerita salah satu ‘sejarah keluarga’ itu, Ibu lanjut bercerita tentang masa kecil Gus Fatih. Tentu saja aku lebih antusias lagi mendengarnya. Dari awal aku memang sudah menanti ceritanya.
Kulirik Gus Fatih, ia masih diam dengan cangkir kopi di tangannya. Sesekali ia menatap kurang suka tetapi tetap tak bersuara saat Ibu menceritakan masa kecilnya yang bisa dibilang sangat ndablek.
Aku bahkan dibuat tertawa mendengarnya. Ya, terlebih saat Ibu bercerita kalau Gus Fatih pernah membakar sendiri rambutnya saat kecil yang katanya panjang. Untung waktu itu ada Mbah Nyai Atikah yang melihatnya. Beliau Ibu dari Abah Kiai. Melihat rambut cucunya yang terbakar Mbah Nyai langsung menyiramnya dengan air bekas cucian di ember yang kebetulan beliau bawa. Lucu saja mendengarnya.
“Kamu tahu, Nduk. Masmu ini waktu kecil sangat gendut, ngalem pula. Ibu sampai capek menggendongnya kalau dia rewel ndak bisa tidur sendiri, padahal usianya sudah enam tahun.”
“Nggeh, Bu?” kataku tak percaya. Sekali aku melirik Gus Fatih lalu tertawa kecil di balik telapak tanganku lagi. Abah Kiai bahkan sudah tertawa sejak tadi.
Pasti lucu melihat masa kecil Gus Fatih yang katanya gendut itu bertingkah seperti itu. Lain kali aku harus membuka album foto lama keluarga ini untuk melihatnya. Aku penasaran bagaimana rupanya.
“Iya, Nduk. Sebelnya lagi Masmu itu selalu mengompoli tempat tidur Ibu dan Abahmu ini.” Ibu melanjutkan cerita.
Aku tertawa.
Seketika kemudian aku langsung diam saat Gus Fatih menatap tak suka. Aku sedang meliriknya dan mendapati ia melihatku cukup lama.
Gus Fatih menyeruput pelan kopinya.
Ibu menghentikan cerita lalu ikut menyeruput teh miliknya yang sudah hangat karena tidak diminum dari tadi. Aku mengikutinya.
“Abah perhatikan kamu selalu pucat, Nduk, beberapa hari ini. Kamu sakit?” tanya Abah Kiai tiba-tiba. Beliau saling bersitatap dengan Ibu sebelumnya.
“Iya, Nduk. Kamu kenapa?” Ibu menyahutinya. Mata teduh milik Ibu menatapku penuh selidik.
Aku melirik Gus Fatih. Ia masih menyesap minumannya.
Huh, memangnya apa pedulinya? Padahal aku seperti ini secara tidak langsung juga karena dia!
“Tidak, Bu, Bah. Zulfa baik-baik saja.” Aku segara menjawab setelahnya.
Aneh! Ibu dan Abah Kiai malah saling pandang sembari tersenyum.
“Sudah ke dokter?” Ibu kembali melempar pertanyaan.
Aku menggeleng. Kenyataanya aku memang tidak sakit apa-apa. Sakit hati dan kecewa mungkin iya.
“Kalau begitu kamu harus pergi periksa, ya, Nduk. Sepertinya bakal ada kabar baik. Ibu sudah ndak sabar ngemong cucu.”
“Huk ... huk ....” Gus Fatih terbatuk bersamaan dengan kedua mataku yang membola tak percaya.
Cucu? Bagaimana bisa?! Menyentuhku saja Gus Fatih tidak pernah melakukannya.
Hatiku rasanya teriris mengingat sikapnya. Ingin menangis saja sekarang, tetapi berhasil kutahan dan kusembunyikan. Entah sampai kapan.
***