Bab 3 - Cuma Mimpi

2134 Words
Zulfa Zahra El-Faza Lamat-lamat kulihat bibir Gus Fatih membaca basmalah, kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan kedua tangannya, kudukku meremang merasakan sentuhannya. “Allahumma inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha (Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya),” bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti beberapa menit setelah ijab qabul kami berminggu-minggu lalu, saat ia menghampiriku di bilik kamarku yang ada di Kediri, kemudian menggandengku ke pelaminan. Aku kembali menahan napas merasakan udara sejuk berembus dari mulut Gus Fatih di ubun-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling berpandangan lalu Gus Fatih menciumi seluruh wajahku, tangannya masih memegangi kepalaku. “Uhibbuki fillah zaujati, insyaallah,” katanya kemudian mendekap tubuhku dalam pelukannya, erat. Srek …. Sebuah suara berhasil menyentakku. Duduk. Kudapati diriku habis berbaring di atas ranjang. Kutoleh sisi kanan. Kosong. Tidak ada Gus Fatih di sana. Bahkan seprainya masih terlihat rapi dan tidak kusut atau lecek sama sekali. Mungkin hanya mimipi. Ya, cuma mimpi! Aku membuang napas lalu menyalakan lampu meja bagian sisiku. Mengerjap, kudapati Gus Fatih menatapku. Kepalanya menoleh dengan tubuh menghadap rak sandal-sepatu plastik di dekat pintu, sebelah kakinya masih menjulur menyentuhnya. Sekarang aku tahu dari mana asal suara tadi. Gus Fatih pasti tak sengaja menyeret rak yang penuh sandal dan sepatu itu. “Maaf,” lirihnya. “Kamu jadi terbangun.” Gus Fatih memutar badannya. Aku mengangguk lalu melirik jam di dinding. Jam setengah dua belas malam. Gus Fatih pasti baru pulang dari rumah makan melihat pakaian yang ia kenakan masih sama dengan yang tadi siang sebelum pergi. Kaus hitam dengan celana dan jaket levis biru belel. Aku bangkit. Menuangkan air ke gelas yang ada di meja kamar lalu berjalan ke arahnya, menyerahkan gelas itu. Tanpa ia minta aku masuk ke kamar mandi, menyiapkan air panas untuk keperluannya mandi. Gus Fatih sudah menghabiskan minumnya begitu aku kembali. Setelah aku menyiapkan handuk dan baju ganti, aku langsung berbaring lagi. Jangan tanya kenapa aku tak menyiapkan makan malam. Gus Fatih pasti sudah makan di luar. Seperti biasa, ia pasti makan malam di rumah makannya yang ada di daerah Wonosalam. Aku, Ibu, dan Abah Kiai sudah biasa makan ‘sendiri’ tiap tiga hari sekali begitu dia pergi—sebenarnya Gus Fatih yang lebih pantas disebut makan sendiri. Namun, aku punya alasan kenapa makan malamku bersama Ibu dan Abah Kiai yang kusebut ‘sendiri’. Alasannya tidak ada dirinya di sisiku—bisa jadi memang tidak akan ada, dalam arti yang lainnya. “Belum bisa tidur lagi?” Gus Fatih baru keluar dari kamar mandi. Bagian bawah tubuhnya masih terbalut handuk dengan tubuh telanjang d**a. Air masih terlihat mengucur dari kepala ke ruang di dahi putihnya. Menelan ludah aku langsung memejamkan mata, tidak menyahut atau menganggukinya. “Maaf, ya, hari ini pulangku lebih terlambat dari biasa, banyak urusan tadi.” Suara berat Gus Fatih mengalun lagi di telingaku. Kulirik, ia sedang mengenakan baju. Meski belum terjadi itu di antara kami, ia sudah biasa seperti ini. Malah aku yang merasa risi sendiri saat melihatnya, mungkin. Dan sebenarnya aku juga. Toh, dia suamiku. Siapa tahu dia malah tertarik padaku saat melihatku, tetapi tidak. Sekali lagi. Hanya nihil. Ya. Mungkin sikapku ini agresif, tetapi aku ini memang istrinya, kan?! Apa salahnya? Aku tidak bisa disebut melampaui batas karena ini. Tidak sama sekali. Ceklek …. Mataku terbuka berkat suara itu. Sedikit mengangkat kepala, kulihat Gus Fatih memasuki perpustakaan kecilnya lagi seperti biasa. Dia memasuki ruangan yang ada di samping kamar kami itu yang sebenarnya masih dalam satu ruangan. Gus Fatih tidak pernah absen. Aku bahkan tidak ingat dia pernah berbaring di sampingku, kecuali setelah salat malam. Yang kusimpulkan dia pasti tidur juga sebentar di sana, baru keluar ambil wudu. Apalagi, salat Tahajud kan hanya diperbolehkan terlaksana jika sudah terlelap, meski sebentar saja. Waktu tidurnya pun berarti hanya sebentar. Entah bagaimana ia selalu tampak segar setiap harinya. Tidak sepertiku. Jika aku menuruti suuzan, maka firasatku mengatakan Gus Fatih sedang mempermainkanku. Dia tidak serius dengan pernikahan ini. Kata-katanya kala itu hanya isapan jempol. Entah apa motifnya. Menurutku Gus Fatih tidak memiliki niat menikah denganku. Dia tidak mencintaiku. Gus Fatih tidak menganggapku. Aku mengubah posisi tidur. Mencari posisi ternyaman. Tidak berpengaruh. Aku masih kesulitan terlelap lagi. Bahkan memejamkan mata. Tidak bisa. Aku menyorot pintu yang menelan Gus Fatih di dalamnya sebelum menghela napas. Apa aku yang tidak bisa mengertinya? Mungkin Gus Fatih punya alasan mengapa. Dia selalu baik-baik padaku, kecuali pada satu hal itu. Tuduhanku saja yang, mungkin, terlalu jahat mengatakan dia mempermainkanku. Bisa saja dia memang tidak mencintaiku. Namun, tetap saja, itu berarti dia telah berbuat jahat padaku. Seharusnya dia tidak menikahiku, kan? Ini sama saja menyakitiku, lebih sakit lagi dari saat kami mendapat takziran dan berusaha saling melupakan. Tidak. Bukan saling. Aku saja mungkin. Dan itu tidak berhasil. Jika dalam hidup manusia diperbolehkan takabur, maka biar kukatakan. Jauh sebelum aku mengenal Gus Fatih, sebenarnya sudah banyak yang menanyakanku. Mereka, dari yang masih gus bahkan sudah kiai, sudah berniat mau menikahiku. Aku masih di bangku aliyah kala itu. Banyak pinangan yang datang. Keluarga mereka mengatakan akan menunggu asal aku mau menerima pinangan itu. Namun tidak, semua kutolak, aku memang tidak berencana menikah muda, sebelum bertemu Gus Fatih tentunya. Gus Fatih. Biarlah aku menjatuhkan harga diriku. Aku akan melakukan apa pun supaya ia melihatku, mencintaiku. *** Ceklek …. Suara pintu terkuak. Fatih baru keluar dari perpustakaan kecilnya yang juga jadi ruang kerja dan belajarnya. Setelahnya netra hitamnya membulat sempurna melihat Zulfa yang duduk di tepi ranjang. Rambut panjangnya tergerai dan senyum ranum mekar di wajahnya, matanya sendu seperti biasanya. Dalam kamar yang gelap, Fatih bisa melihat istrinya itu sedang menatapnya. Sorot terluka campur rindu terpancar dari matanya jika Fatih bisa melihatnya. “Zulfa ... kamu ....” Fatih menghentikan kalimatnya. Tatapan terkejutnya masih pada wajah pucat Zulfa yang entah bagaimana tetap cantik terkena pancaran sinar temaram lampu meja. Istrinya itu memang terlihat semakin pucat saban hari, sakit mungkin, tetapi tetap cantik. Bu Nyai Fatimah—ibunya Fatih sudah menanyakan keadaannya, tetapi Zulfa selalu mengatakan dia baik. “Mas baru selesai, ya?” Zulfa mengambil kitab tafsir yang tadinya dipegang Fatih. Ia yang sebelumnya berdiri di depan Fatih kemudian beranjak untuk meletakkan kitab itu kembali ke rak buku tempatnya yang ada di dinding kamar, setelahnya Zulfa kembali berdiri di hadapan laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu. “Ada yang mau kukatakan, Mas,” ucapnya. Fatih masih terdiam di lekukan wajah dan mata Zulfa. “Apa?” Fatih kemudian menyahutinya. Merasakan Zulfa yang terus melihatnya tanpa berkedip, Fatih memalingkan muka. Ia terbatuk sebelum menghirup udara lalu membuangnya kasar. Zulfa tersenyum miris sebelum menundukkan kepala, menyebabkan beberapa helai rambutnya jatuh ke depan. Ia kembali memasang senyum terbaiknya sebelum mendongak. “Aku izin pulang ke Kediri, Mas,” ucapnya lirih dengan sedikit penekanan di setiap katanya. “Pulang?” Fatih mengerutkan kening. Tatapannya kembali ke iris mata Zulfa. “Iya.” Zulfa menganggukkan kepala. “Ke-kenapa tiba-tiba?” tanya Fatih tidak bisa menutupi nada cemas dan terkejutnya. Dalam hati ia bertanya-tanya kenapa Zulfa tiba-tiba mau pulang. Apakah terjadi sesuatu? Zulfa mengembangkan senyum. Ia sama sekali tidak ingin melibatkan orang tua, tetapi ia harus melakukannya untuk tahu yang sebenarnya. Apakah Fatih memang menginginkannya sebagai istri atau tidak. Mungkin pulang ke Kedirilah cara terbaik untuknya, saat ini. Sekalian menenangkan diri selain mencari jalan keluar dan kepastian. “Kangen Abah-Umi, Mas.” Zulfa berdalih. Tidak sepenuhnya bohong. Alasan itu memang pantas mengingat hampir sebulan setengah Zulfa tidak bertemu abah dan uminya. Komunikasi hanya berjalan lewat seluler, itu pun Zulfa harus menfilter kata-katanya agar Abah dan Umi tidak sampai tahu yang sebenarnya bagaimana keadaan rumah-tangganya bersama Fatih, suami yang belum pernah utuh memperlakukannya sebagai istri. Abah dan Umi hanya tahu Zulfa bahagia setelah menikahkannya. “Benar?” Fatih mendekatkan wajahnya. Saat ini Zulfa bisa merasakan napas hangat Fatih yang menerpa wajahnya. “Iya, Mas.” Zulfa kembali menunjukkan senyumnya. Matanya masih berpagutan dengan mata Fatih. “Ya sudahlah, Mas. Wudu gih sana! Mas Fatih mau tahajudan, kan? Biar perlengkapannya kusiapkan.” Zulfa memundurkan langkah. Mengambil ikat rambut di meja rias lalu mencencang rambutnya. “Kalau nanti Mas Fatih udahan wudunya, gantian sama aku. Mas mau kan jadi imam tahajudanku?” Zulfa berjalan ke arah pintu, tangannya kini menekan tombol on lampu utama sehingga cahaya meneraingi seisi ruangan yang tidak lain adalah kamarnya dan Fatih. “Udah. Gih, sana!” Zulfa mengibaskan tangan ke depan sambil tersenyum. Setulus yang bisa ia tunjukkan. “Iya.” Fatih mengangguk. Tanpa sepengetahuan Fatih, Zulfa langsung luruh ke lantai begitu Fatih hilang di balik pintu kamar mandi. Cairan matanya yang sudah ia tahan dari tadi berlinangan. Mungkin karena sudah berpengalaman menangis gadis itu jadi bisa menahannya meski belum bisa mengendalikannya. Dadanya sesak setiap melihat perhatian Fatih yang ditunjukkan padanya seperti tadi. *** “Sekalian salat sunah hajat, ya, Mas.” Zulfa sudah selesai memakai mukenanya. Ia sudah mengambil posisi di belakang Fatih yang kini menolehnya, Fatih melihatnya sebentar sebelum menganggukkan kepala. Setelah melafalkan niat, keduanya melakukan takbiratulihram bergantian. Zulfa menahan air mata harunya di belakang. Bahagia, setidaknya dia bisa mencicipinya sedikit sekarang setelah satu setengah bulan pernikahan. Ini salah satu yang ia impikan, salat berjemaah dengan Fatih sebagai imam. Tidak ingin air matanya keluar semakin banyak, Zulfa memejamkan mata. Memilih hanyut pada suara merdu Fatih yang melantunkan ayat suci al-Qur'an. Hatinya berusaha meresapi setiap makna yang terkandung di dalamnya. Besok-besok dia tidak akan merasakannya jika Fatih akhirnya memilih melepasnya. Bisa jadi ini jemaah pertama dan terakhir mereka. “Allahu akbar.” Air mata akhirnya menerobos paksa mata terpejam Zulfa. Ia berusaha menahan rasa perih yang mendera hatinya. "Sami'allahu liman khamidah." Zulfa mempererat pejaman matanya. "Allahu akbar." Begitu sujud air mata keluar begitu derasnya. Kali ini Zulfa menahan suara isaknya, dan itu sudah menjadi keahliannya. Di setiap gerakan salat selanjutnya, Zulfa berusaha menguatkan hati. Jika dia memang akhirnya tidak bisa bersama Fatih, ia harus mengikhlaskannya. Mungkin masa berjodoh mereka memang tidak sampai selama dari selamanya. Zulfa harus bisa menerimanya. Di sujud terakhir dan doanya, Zulfa meminta. Jika Allah berkenan menakdirkan mereka tetap bersama dalam ikatan pernikahan seperti ini maka perkuat hubungan mereka, tumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang yang tak bisa pudar karena-Nya di antaranya dan Fatih—entah bagaimana Allah mewujudkannya. Dan jika perpisahan lebih baik untuk mereka. Maka pisahkan dirinya dan Fatih dengan cara yang baik sebagaimana mereka terikat dalam pernikahan. Zulfa pun meminta agar setelahnya Allah membuat hatinya mau menerima perpisahan itu dengan lapang d**a. Ya, demi kebaikan kiranya. Zulfa juga sudah memutuskan melupakan tekadnya sebelumnya untuk memperjuangkan haknya sebagai istri pada Fatih. Tadinya ia siap menjatuhkan harga dirinya sejatuh-jatuhnya asal Fatih mau melihatnya. Ia akan melakukannya sampai Fatih menerimanya karena itu ia sengaja bangun dan duduk di ranjang menunggu Fatih keluar. Namun, begitu Fatih membuang muka darinya sebelum Zulfa mengutarakan maksudnya, hilang sudah kekuatan dan kepercayaan dirinya. Bahkan rasa-rasanya ketabahannya yang sebelumnya ia yakini akan bertahan sampai akhir pun ikut surut. Fatihlah alasannya. Alasan Zulfa menyerah pada kecewa dan rasa sakitnya. “Mas,” lirih Zulfa begitu salat mereka usai. Ia memandang Fatih lama begitu laki-laki tampan itu menoleh kepadanya. Sebelumnya Zulfa sudah berhasil menghapus jejak air matanya. Mungkin hidung bangirnya yang memerah kini yang tersisa. Selebihnya wajahnya tetap memancarkan kecantikannya seperti biasa. Fatih kemudian dibuat terdiam begitu Zulfa mendekat dan menciumi tangannya. Ia terpana. Saat itu sisa cairan hangat terasa di punggung tangannya, hanya setetes, Zulfa sudah kembali memegang kendali atas butiran hangat itu. Fatih tersenyum. “Kamu benar-benar ingin pulang, ya?” Tangan kirinya kini beralih ke kepala Zulfa, membuat si empunya menghentikan gerakan saat merasakan tangan itu membelai kepalanya. Zulfa mendongak dengan mata membola. “Baiklah, besok kuantarkan setelah izin Abah sama Ibu.” Fatih masih mengangkat senyum. Matanya bersitatap dengan manik Zulfa yang terpaku padanya. Sebenarnya itu berkat belaian di kepalanya yang kini menjadi usapan lembut di pipinya. Pikiran Zulfa yang tadi kalut dibuat melayang memikirkan sikap Fatih yang mendadak berubah seperti ini. “Istirahatlah!” Fatih mengecup kening Zulfa. Ia kemudian membantu Zulfa melepas mukena lalu menggandengnya ke tempat tidur. Begitu mereka sudah saling duduk, Fatih mengusap puncak kepala Zulfa, senyumnya kini sudah tidak ada lagi kecuali wajah datar dan tatapan tajam yang sulit diartikan. Zulfa memejamkan mata saat mendengar Fatih menghela napas. Ia membuka kelopaknya saat merasakan tangan laki-laki itu tidak lagi memegang kepalanya melainkan beralih pada pipinya. Harapan baru seketika bercokol di hatinya melihat bibir kemerahan Fatih mau bersuara. Zulfa menahan napasnya. “Tidurlah, Fa! Sekarang ini aku mau pergi menilik ke pondok putra. Sebentar lagi sudah mau Subuh juga soalnya.” Fatih menunjukkan senyumnya. Dan saat itu juga, Zulfa kehilangan harapannya. Terakhir. Mungkin ini yang terakhir kali untuknya. Bayangan orang tua dan mertua berputar di kepalanya. Dari Abah, Umi, Abah Kiai, dan berakhir pada Ibu Nyainya. Mereka semua menatapnya penuh tanya dan tatapan lain yang tak terbaca. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD